Sejak penetapan rektor Unud sebagai tersangka dugaan korupsi Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI), mahasiswa memberi respons reaktif atas kasus tersebut. Konsolidasi yang dihadiri oleh ratusan mahasiswa dari seluruh fakultas, bermuara menjadi “Sidang Rakyat” di Gedung Rektorat Universitas Udayana yang dihadiri oleh ratusan mahasiswa dari 13 Fakultas (15/3).
Dalam aksi tersebut, Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. Ir. I Nyoman Gde Antara, M.Eng.IPU tidak hadir, sehingga massa aksi hanya dipertemukan oleh Wakil Rektor Universitas Udayana. Meski massa aksi menyampaikan tuntutannya kepada Wakil Rektor, sikap WR terhadap massa aksi yang hanya memberi “rekapan anggaran” seolah-olah bersikap transparan, tidak menjawab persoalan utama yang menjadi tuntutan utama siding rakyat ini: Reformasi Udayana dan penghapusan sistem SPI.
Luapan kemarahan dan tuntutan Reformasi Udayana ini adalah ledakan-ledakan perubahan yang sebenarnya berangkat dari banyaknya persoalan yang selama ini tidak pernah diselesaikan oleh pihak kampus secara adil dan demokratis. Kasus korupsi rektor hanyalah katalis yang melahirkan reaksi atas rentetan masalah yang lebih besar, yang sebenarnya terjadi di kampus Unud sejak lama.
SENGKARUT PERSOALAN KOMERSIALISASI PENDIDIKAN DI UNIVERSITAS UDAYANA
Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) pertama kali diimplementasikan pada tahun2018, yang sejak awal memperoleh penolakan yang keras oleh gerakan mahasiswa. Alasan klasik yang kerap disampaikan oleh pihak rektorat adalah “kurangnya anggaran” untuk mengembangkan kampus, meskipun klaim ini tidak pernah bisa diverifikasi karena tertutupnya transparansi anggaran oleh pihak rektorat.
Rektor selalu berkelit ketika diminta untuk membuka laporan anggaran yang menjadi hak publik, bahwa laporan anggaran sudah diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), sehingga laporan ini tidak boleh dimiliki mahasiswa karena khawatir “disalahgunakan”. Tuduhan “penyalahgunaan” laporan keuangan kampus ini sendiri tak berdasar, pasalnya transparansi anggaran sejak awal adalah bagian dari hak publik yang memang sudah selayaknya diberikan dalam pengelolaan anggaran yang akuntabel.
Skema SPI ini sebenarnya adalah bagian dari rencana besar untuk menjadikan Unud sebagai Perguruan Tinggi Berbadan Hukum (PTN – BH) yang menyaratkan kampus untuk memperoleh pemasukan mandiri di luar subsidi dari negara. Dalam moda PTN – BH, kampus diberikan hak otonom untuk mengelola keuangannya, sehingga kampus pun disyaratkan untuk membangun bisnisnya sendiri.
Itu sebabnya, rantai komersialisasi pendidikan tidak berhenti hanya di SPI: bukan hanya mahasiswa jalur mandiri disyaratkan untuk membayar sumbangan, di tahun 2022 kemarin, seluruh mahasiswa baru juga diwajibkan untuk membayar uang sewa student dormitory selama 2 semester (Rp8.400.000 Rp42.000.000,-/tahun), yang mulanya menjadi bagian dari “bisnis properti kampus”, namun kini menjadi proyek mangkrak, tanpa kejelasan sampai sekarang.
Naiknya nominal SPI dan porsi anggaran yang harus dibayar oleh mahasiswa di luar UKT ini tidak seimbang dengan kualitas fasilitas yang diberikan ke mahasiswa. Bahkan ketika kampus melakukan sentralisasi perkuliahan ke Jimbaran, fasilitas yang ada belum memadai untuk proses belajar mengajar.
Dugaan korupsi yang dilakukan oleh Rektor Unud hanyalah “riak kecil” dari akar masalah yang lebih besar di kampus: persoalan komersialisasi pendidikan, dan pengelolaan anggaran yang tidak akuntabel. Kampus mengebiri hak demokratis mahasiswa untuk terlibat dalam proses pembentukan kebijakan kampus, yang pada akhirnya merugikan mahasiswa itu sendiri.
TUNTUTAN PENUTUP: REFORMASI PENGELOLAAN UNIVERSITAS UDAYANA
Rentetan persoalan di atas adalah gejala dari tidak demokratisnya pengelolaan institusi kampus dalam pembuatan kebijakannya. Idealnya, mahasiswa tidak boleh hanya dilihat sebagai konsumen yang membayar “kewajibannya” ke kampus, namun secara timbal balik, juga adalah pihak yang berhak mengetahui pengelolaan alokasi anggaran kampus.
Tidak transparannya pengelolaan SPI dan membengkaknya porsi anggaran yang harus dibayarkan oleh mahasiswa di luar UKT, adalah bukti bahwa Unud hanya akan menjadi kampus komersil yang menjual imaji “kelas dunia” (World Class University) yang nantinya memperoleh legitimasi dari status Badan Hukum.
Berangkat dari persoalan ini, kami menyatakan tuntutan tegas:
1. Cabut Sistem SPI, dan kembalikan dana SPI yang dikorupsi demi memaksimalkan pengadaan fasilitas penunjang perkuliahan dan optimalisasi untuk pembangunan;
2. Tolak status PTN – BH bagi Unud yang akan memberi ruang lebih besar bagi kampus untuk mengkomersilkan pendidikan;
3. Reformasi Udayana: turunkan rektor korup, dan berikan hak demokratis bagi mahasiswa untuk mengawasi pengelolaan keuangan kampus;
4. Berikan dan benahi fasilitas kampus yang tidak memadai untuk proses belajar mengajar.
Editor: Syahdan