Penulis: Albert Farmus (Farhan Mustafid)
Akhir-akhir ini maraknya polarisasi diciptakan oleh para elit, dijadikannya sebuah panggung drama para aktor yang bermain intrik, intrik yang seksi atau intrik yang banal? Menurut Emha Ainun Nadjib atau yang sering disapa Cak Nun dalam bukunya berjudul “Iblis Nusantara Dajjal Dunia Krisis Kita Semua” halaman 94, mengatakan: “Monggo Kerso-lah!”. Amat sangat gampang membuat kerusuhan di negara ini. Mungkin segampang menyalakan pentol korek. Saya tidak akan membuktikannya dengan teori-teori, karena supaya anda percaya kepada yang saya katakan itu, saya memerlukan perkenan anda untuk melakukannya dengan resiko yang ada semua harus menanggungnya. Untuk kerusuhan yang bersifat lokal, mari kita datang ke suatu tempat, dan kasih saya beberapa menit supaya bisa saya proses apa yang anda inginkan. Untuk skala yang lebih luas, kasih saya beberapa jam, atau apabila mau lebih global lagi, beberapa hari saya perlukan.
apabila kerusuhan asal kerusuhan, tentu akan anda anggap kurang bermutu. Maka mungkin anda memerlukan kerusuhan yang lebih tematik dan substansial, dan itu akan memiliki durasi waktu sendiri. Kerusuhan kecil lokal yang saya sebut tadi, juga bisa anda rangkai dengan kategori kerusuhan tematik, juga dengan metode yang tidak terlalu rumit. Selama ini kita tidak pernah yakin dengan people power karena berbagai argumentasi sosio-kultural. Juga gagasan ke depan bangsa kita tidak karib dengan jenis perubahan revolusioner, karena alasan yang sama, atau karena yang hendak kita jangkau melalui perubahan itu sesungguhnya adalah sesuatu yang luhur, yang kemungkinan besar akan dibatalkan oleh „pasak‟-nya jauh lebih kecil. Jadi lupakanlah revolusi untuk sementara -waktu. Tetapi apabila masalahnya adalah bagaimana menyutradai suatu khaos yang riuh rendah dan gegap gempita, yang mengalir membanjir ke berbagai tempat—secukupnya saja, sekedar untuk menyodorkan kepada anda bahan untuk melegitimasi teori ini yang semata dunia akan memandangnya sebagai „revolution like‟, sebenarnya tidak sukar juga.
Namun demikian saya nyatakan kepada anda. Bahwa haqqul yaqin maupun ainul yaqin- selama hidup belum pernah saya lakukan jenis keisengan semacam itu. Juga belum pernah terbesit di benak saya untuk melakukan niatan untuk melakukannya. Apalagi nafsu untuk itu. Nafsu yang seringkali kita sangka sebagai semangat atau militansi. Tidak diperlukan tingkat kependekaran apa pun untuk sanggup menciptakan kerusuhan. Yang diperlukan sebagai suku cadang dasar dan awal cukuplah keserakahan, keculasan, dan kelicikan. Untuk menggerakkan seribu orang atau sepuluh ribu massa, hanya diperlukan sepersepuluh kesanggupan daya serap, daya lempar dan daya—dibanding menahan laju amuk sepuluh orang. Anda cukup bergeremang beberapa menit membisiki beberapa mahasiswa, agar sejam kemudian terjadi demo kepada rektor atau dekan.
Anda cukup memerlukan beberapa hembusan dan satu dua pekikan, untuk menyalakan api dari sekam yang terpendam di dalam dada sekian ratus atau sekian ribu orang. Tapi apabila anda berhadapan dengan ribuan massa yang suhu psikologis-nya tinggi, lantas anda berdiam diri saja sambil memandangi mereka tanpa berkedip sehingga mereka terpana dan tidak berani melakukan gerakan apapun—pundak anda akan digamit oleh tangan lembut Sunan Bonang, KASAD-nya organisasi Walisongo.
Kesaktian bukanlah dibuktikan oleh kemampuan menggerakkan, melainkan lebih oleh kesanggupan untuk menahan. Ilmu sejati itu memanifestasikan dirinya melalui kecanggihan menyalakan api, melainkan oleh ketenangan untuk menggenggam nyala api itu sehingga bersuhu dingin di tanganmu. Keutamaan karamah bukan dinyatakan melalui keterampilan untuk menghimpun dan memobilisasikan massa, melainkan dengan “menjebak dan mereka masuk ke dalam situasi muth-mainnah, yang memungkinkan mereka mengorientasikan dalam bimbingan Allah ke arah kemenangan yang sehat, bukan keunggulan verbal-formal. Anda tidak perlu mempelajari ilmu sihir, (kewibawaan), ndulit (menjilat; menyintuh), mafia, intel, orasi dan hasutan serta mobilisasi. Yang anda perlukan hanyalah kekerdilan politik untuk menyakinkan diri, bahwa kepentingan golongan kita di dalam persaingan suara dan otoritas sejarah—lebih penting dibanding harga sehatnya kehidupan, dibanding nilai kemanusiaan, dibanding sikap jujur terhadap jargon-jargon kebangsaan demokrasi, persatuan dan kesatuan seluruh bangsa, dan lain sebagainnya.
Di dunia politik tidak ada informasi yang transparan. Dalam banyak hal, kejujuran atau keterbukaan hampir tidak bisa dibedakan dengan kebodohan dan keterpelesetan. Puncak ilmu berpolitik adalah menusuk punggung dan menjegal kaki orang dari belakang. Jurus utama orang berpolitik adalah lempar batu sembunyi tangan. Tidak terbukanya informasi politik membuat rembesan rumor; rambahan isu dan membanjirnya sangkaan-sangkaan, tidak bisa dibendung. Itu semua adalah „kentut‟ zaman, suatu jenis outlet psikologis yang diperlukan secara alamiah oleh suatu masyarakat untuk mempertahankan keseimbangan berpikir mereka di dalam budaya informasi yang penuh keremangan.
Sedangkan menurut Ikhsan Darmawan dalam bukunya “Mengenal Ilmu Politik” Dalam khazanah ilmu politik, selain konsep pemerintah juga ada konsep rezim. Rezim adalah sebuah sistem atau gaya dari sebuah pemerintah. Rezim juga dapat diartikan sebagai sebuah sistem aturan untuk melakukan sesuatu. Interpretasi mengenai kata politik tidak hanya adalah Negara- kota. Hal ini dikarenakan kata “politik” itu sendiri pada dasarnya tidak bermakna tunggal. Setidaknya ada empat interpretasi dari kata politik, yakni, seni mengelola pemerintah, kekuasaan, konflik, dan proses pembuatan kebijakan. Dikarenakan politik berbicara mengenai kekuasaan, dan kekuasaan adalah sumber daya yang bersifat terbatas, sedangkan yang menginginkan kekuasaan jumlahnya tidak terbatas maka politik tidak lepas dari yang namanya “konflik”.
Konflik (conflict) secara sederhana dapat diartikan sebagai sebuah ketidaksetujuan. Akan tetapi, definisi di atas nampaknya terlalu sederhana Menurut Miller, Konflik berasal dari bahasa Latin yang artinya ialah “untuk bertentangan atau terikat dalam pertarungan”. Di dalam studi tentang konflik ada beberapa istilah tentang konflik, seperti manajemen konflik, resolusi konflik, dan transformasi konflik. Manajemen Konflik ialah proses pengelolaan konflik yang dapat berupa tindakan- tindakan untuk mereorientasikan isu dalam konflik, pendefinisian ulang pembagian antara pihak-pihak yang berkonflik, dan atau pemunculan ulang isu-isu Polarisasi dan bukti di masa lampau. Resolusi konflik ialah segala macam pendekatan yang bertujuan untuk menyelesaikan konflik melalui solusi permasalahan yang bersifat konstruktif.
Sedangkan, transformasi konflik adalah konsekuensi dari tindakan yang dilakukan oleh pihak internal dan eksternal dari pihak yang berkonflik. Apabila gas mengisi balon penuh, karet akan meledak. Apabila arus air deras, bendungan akan jebol. Apabila mata bisul matang, ia meletus keluar nanah meleleh. Apabila anginya memenuhi perut, ia akan meletup, atau “duduk‟ di sebuah ruang dalam perut bergelar “angin duduk‟. Tuan pemilik perut itu dianjurkan untuk menelan arang alias Carbon agar oksigen diserap. Produknya mungkin carbon-dioksida. Apabila terdapat oknum tertentu mungkin hasilnya carbon-mono-oksida atau justru carbontri-oksida. Apabila kain putih ditaburi, ditempeli, atau bahkan dirasuki kotoran, maka ia akan kotor. Dan apabila pakaian kotor mengotori barang yang lain, jangan dituding atau salahkan si kain, melainkan jengkellah kepada kotoran dan marahlah kepada yang memberi kotoran.
Ada Sunnatullah. Ada tradisi hukum atau rumus penciptaan makhluk oleh Tuhan. Termasuk juga sunnah-Nya adalah gagasan penciptaan neraka yang mega-panas, sangat menyiksa, maha dahsyat—namun bukan kejam. Sekali-kali jangan pernah salahkan Tuhan dengan argumentasi kenapa sang Rahman dan Rahim kok menciptakan kekejaman dan menyiksa hamba-Nya yang katanya dikasihi dan disayangi. Pada hakekatnya mereka bukan implementasi kekejaman Tuhan. Tuhan tidak memiliki fasilitas sifat kejam atau bengis. Apa yang ia lakukan dengan metode dan fasilitas neraka bukanlah tindak mengejami manusia, melainkan cara untuk menyelahhmatkan, dengan proses pembersihan.
Kesalahan manusia, kemakaran dan kekurangajarannya dibersihkan dengan api neraka, pada durasi dan takaran yang sesuai dengan kadar dan kualitas kesalahannya itu. Orang mengotori harus membersihkan. Orang hutang harus membayar. Orang mencelakakan harus menyelamatkan. Keseimbangan, timbangan, titik tengah hitungan— atau dalam istilah fatihah disebut ad-din—adalah wacana dasar etika pergaulan antara Tuhan dengan semua yang diciptakan oleh-Nya. Terdapat muatan transaksional, negosiasional, atau sejumlah perkecualian yang berupa pembebasan berdasarkan inisiatif kasih sayang dari pihak Tuhan apabila bisul matang tidak meletus, berarti Tuhan melanggar diri-Nya sendiri. Apabila sakit perut penuh anginya tidak buang angin, Tuhan makar terhadap sunnah-Nya sendiri. apabila bendungan tahan terhadap desakan air secara fisika melebihi kapasitasnya, berarti Tuhan tidak memenuhi janji-Nya ketika wadha‟al mizan (Qs. Ar-Rahman: 5), meletakkan keseimbangan, tatkala Ia menghamparkan bumi dan meninggikan langit, rafa‟as- samawati (Qs. Ar-Ra‟d:2).
Kecuali dalam konteks perkecualian dan pengecualiaan yang menjadi hak veto Tuhan sendiri atas segala sesuatu yang Ia sendiri ciptakan sehingga wajib bagi-Nya untuk menggenggam hak mutlak itu—maka tidak ada sesuatu kekuatan pun yang Ia perkenankan mengganggu-gugat penjagaan-Nya atau ya‟uduhu hifdhuhuma (Qs. Al-Baqarah: 255). Soal waktu, apakah si bandit ditegur sesaat sebelum mengerjakan kriminalitasnya, ataukah dihardik langsung begitu selesai merampok, atau diingatkan sebulan atau setahun kemudian, dibiarkan sampai lebih seperempat abad, atau di-ujo (dibiarkan, dimanjakan) hingga ke akhirat kelak, dan untuk fenomena terakhir ini sungguh-sungguh ucapkanlah na’udzu billahi mindzalik (kami berlindung dari yang demikian).
Persoalan lain adalah bahwa dengan risiko tertentu jerawat bisa dipercepat peletusannya dengan melakukan facial di salon. Bisul bisa dipelototkan lebih dini. Bendungan bisa dibocorkan oleh tangan manusia, bahkan hujan pun bisa dibikin dan curahnya bisa ditentukan lokasinya. Pada kondisi tertentu dan situasi kepentingan politik tertentu bahkan batuk gunung dan dan laharnya bisa diarahkan ke wilayah tertentu dengan merespons metabolisme cuaca. Kriminalitas peradaban yang bernama proses penindasan struktural, yang memproduk ketidakadilan sosial, kesenjangan ekonomi, keterbelakangan politik, megalomania stadiun tinggi di atas dan schizophrenia global di level bawah serta kebengongan yang indah di strata menengah, yang keseluruhannya terbungkus dalam situasi kesumpegan sosio-psikologis yang berlaku makro dan berskala nasional.
Bila karakter-karakter manusianya yang sudah ter-installed sedemikian rupa dengan anasir hipokrisi yang semakin transparan. Kekejaman yang membayang-bayang atau potensi kriminalitas global semakin menemukan bentuknya, bisa juga sistemnya, atau barangkali bocoran-bocoran di tembok-temboknya yang semakin bisa ditambal oleh modifikasi dan innovasi apapun. Ilmu-ilmu sosial akan semakin bingung dan setiap butir kearifan akan semakin menemukan kemandulannya. Atau barangkali kita sudah sangat kebal, sehingga tidak sanggup lagi merasakan kadar rasa sakit yang hanya semacam itu. Para pembela hukum si korban rekayasa juga tidak akan memiliki tenaga untuk mengaktualisasikan idealism sampai ke tingkat gugatan struktural terhadap bangunan global kekuasaan di balik rekayasa itu.
Oleh karena itu, ada baiknya move on dari narasi polarisasi yang hanya imajinasi prasangka. Dan kita semua bisa fokus ke kontestasi gagasan, kebijakan, dan program. Mereka yang tetap ngotot berpolarisasi artinya mereka tidak memiliki ide dan gagasan dan tidak siap berkontestasi secara rasional. Mereka juga bertugas mengubah hasrat politik menjadi seolah rasionalitas, akan tetapi polarisasi itu akan ada dengan sendirinya, orang akan berkelompok sesuai dengan habitatnya, yang memperuncingnya para oportunis bukti bahwa selama ini polarisasi adalah bikinan politisi buat barang jualan. Bukti bahwa polarisasi itu memang dirawat, dibesarkan, dan dipelihara oleh segelintir elit. Saya khawatir polarisasi ini ada karena sebagian orang dan kelompok “menikmatinya‟. Bagaimana pun, kita bisa melawan polarisasi ini dengan cara rasional bukan emosional, salah satunya dengan mengabaikannya.
Editor: Syahdan