Pada umumnya industri ekstraktivisme adalah suatu negara yang mengandalkan sektor pertambangan seperti nikel, batubara, timah dan lain-lain dan ekspor sebagai pendorong pembangunan dan perekonomiannya. Dinamika konsep ekstrativisme tidak hanya memberikan akses kepada pengusaha untuk mengeksploitasi alam tetapi juga untuk melakukan renegosiasi penerbitan regulasi pendirian industri pengolahan sumber daya alam. Kebijakan untuk mendirikan smelter sendiri bagi pelaku usaha pertambangan menjadi kontroversi dalam banyak kasus (Adam, 2014; Contesa & Rahmatunnisa, 2018). Menariknya ekstraktif era kini berupaya untuk menyamarkan wujud aslinya dengan dibalut label ekonomi hijau maupun transisi energi, padahal sebenarnya industri ekstratktif tak lebih dari upaya para kapitalis untuk mengakumulasi modal dengan cepat lewat mengeruk kekayaan alam. Ekstraktivisme pun jadi masalah hampir di seluruh belahan dunia termasuk Indonesia.
Sampai saat ini Indonesia masih menjadikan sektor ekstraktif menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia. Salah satu penyebabnya adalah karena tingginya permintaan dan harga pasar dunia atas komoditi dari industri ekstraktif ini seperti nikel yang digunakan sebagai bahan dasar untuk kendaraan listrik. Ya bisa dibilang bangsa kita adalah bangsa yang fomo. Walaupun demikian sektor ekstratif menimbulkan banyak polemik dan permasalahan mulai dari lingkungan, kesehatan, sosial, ekonomi, dan politik.
Pada saat Orde Lama, pengelolaan sumberdaya alam dilakukan secara amat terbatas dikarenakan kurangnya modal dan teknologi, obsesi pengelolaan secara mandiri juga mengakibatkan tidak optimalnya pemanfaatan sumberdaya alam. Di awal Orde Baru atau rezim Soeharto, industri ekstraktif mulai dikembangkan. Presiden Suharto saat itu bekerja dengan arahan tim ekonomi dan teknologi yang kuat mendapat dukungan dari negara-negara Barat yang berorientasi kapitalis dengan memberikan modal dan teknologi untuk menjalankan industri ini. Akibatnya pengundulan hutan atau deforestasi mulai terjadi secara masif dari rezim Soeharto.
Industri Ekstraktif memicu Kebijakan yang Pro terhadap Pengusaha
Akibat tingginya harga dan permintaan pasar dunia terhadap produk dari industri ekstraktif, membuat pemerintah membikin kebijakan yang mempermudah untuk terjadinya kegiatan pertambangan di Indonesia. Mulai dari mempermudah izin investor masuk ke Indonesia dengan sebegitu longgarnya syarat yang didapat, mengeluarkan izin usaha tambang dengan mudah tanpa memerhatikan analisis dampak lingkungan dan regulasi yang ketat, rendahnya hukuman yang diberikan kepada invesotr ketika melanggar, diperlemahnya organisasi non-government yang mengawasi kebijakan pemerintah, memberi subsidi terhadap kendaraan listrik, dll. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mencatat ada beberapa kebijakan pemerintah yang dapat merusak lingkungan baik itu menguntungkan atau mempermudah investor untuk deforestasi hingga izin usaha pertambangan yang dibuat di rezim Jokowi di antaranya yaitu UU No. 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batu Bara, UU No 3 tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara, Perpres 98 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon, UU No. 6 Tahun 2023 Tentang Cipta Kerja, Peraturan Menteri LHK tentang penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food Estate, dan masih banyak lagi. Hal ini menunjukkan bahwasannya pemerintah lebih perduli nilai tukar tambah dan oligarki ketimbang dengan ekologi dan rakyatnya.
Masalah Pertama: Lingkungan
Salah satu akibat dari berkembangnya sektor ekstraktif adalah pengundulan hutan atau deforestasi mulai dari polusi yang dihasilkan saat pembakaran hutan dan juga dampak ketika tidak ada hutan. Hilangnya vegetasi hutan pada kegiatan pembersihan lahan tambang (land clearing) menimbulkan dampak pada penurunan kemampuan kawasan hutan untuk menyerap karbon, dan adanya karbon yang terlepas ke atmosfer. Sehingga dapat terjadi pemanasan global, yang disebabkan oleh peningkatan emisi gas rumah kaca, menyebabkan perubahan suhu, pola curah hujan, dan cuaca ekstrem yang signifikan. Wahana Hidup Lingkungan Indonesia (WALHI) mengungkapkan bahwasannya jejak kejahatan ekologis atau pemberantasan hutan dimulai dari rezim soeharto hingga sekarang. Menurut data dari WALHI, kawasan hutan yang telah dirusak di rezim Soeharto adalah sekitar 6.192.101 hektar dengan 493 izin di sektor industri sawit, batu bara dsb. Rezim BJ. Habibie sekitar 3.951.871 hektar dengan 125 izin, rezim Abburrahman Wahid sekitar 2.272.947 hektar dengan 71 izin, rezim Megawati sekitar 2.703.646 hektar dengan 45 izin, rezim Susilo Bambang Yudhoyono sekitar 21.991.676 hektar dengan 1.257 izin dan rezim Jokowi sekitar 1.481.335 hektar dengan 190 izin. Ini menunjukkan bahwasannya tidak ada satupun pemimpin di Indonesia yang peduli dan serius untuk menangani isu lingkungan. Isu lingkungan hanya dijadikan alat untuk kampanye saja.
Sistem ekologi adalah hubungan antara lingkungan dengan mahkluk hidup salah satunya manusia, sedangkan ekonomi adalah nilai tukar dari suatu barang. Ekologi tidak bisa dibenturkan dengan ekonomi. Analogi sederhananya begini, suatu rumah adalah ekologi, jika dibenturkan dengan ekonomi maka akan terjadi nilai tukar seperti berapa harga atap rumah ini, berapa harga genteng ini, berapa harga lantai rumah ini dll. Sehingga lama kelamaan rumah itu sudah tidak ada nilai fungsinya lagi. Sama seperti alam dan lingkungan kita yang di mana itu merupakan tempat tinggal manusia, jika dibenturkan dengan nilai tukar beli maka lama kelamaaan tempat tinggal manusia akan tergerus dan habis. Di sisi lain jika indikator kesejahteraan manusia adalah dengan mempunyai kendaraan pribadi yang banyak, rumah mewah dengan pemakaian listrik yang tinggi, makan makanan meal meat yang dimana itu menghasilkan emisi karbon sekitar 18%, maka bisa dikatakan tingkat kesejahteraan manusia berbanding terbalik dengan kesejahteraan bumi.
Selanjutnya, industri ekstraktif pasti merusak lingkungan sekitar, tidak ada namanya win-win solution yang di mana mengembangkan potensi di sektor ekstraktif tanpa merusak lingkungan. Perkembangan di sektor pertambangan membuat kerusakan lingkungan di daerah sekitar. Yang paling terkena dampaknya adalah pertanian dan perkebunan warga sekitar. Hasil samping dari industri pertambangan membuat pohon, tanaman dan sungai menjadi rusak sehingga pertanian dan perkebunan yang tadinya dapat memanen dengan jumlah yang besar, ketika muncul pertambangan maka hasil panennya akan turun serta sungai yang tadinya dapat memberikan nilai kehidupan sekarang sudah tidak ada artinya lagi. Namun pemerintah selalu mengatakan bahwasannya hilirisasi atau perkembangan potensi di sektor ekstraktif akan meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia, apakah benar demikian?
Masalah Kedua: Kesehatan
Manusia adalah miniatur alam semesta, jika kita lihat pola di alam hampir mirip dengan pola yang ada di tubuh manusia. Biota yang ada di dalam tanah dengan biota yang ada di perut manusia hampir sama. Aliran darah manusia sama dengaan akar-akar di pohon. Jadi memandang alam seperti memandang diri sendiri, jika kita menyakiti alam sama saja kayak kita menyakiti diri sendiri.
Permasalahan kesehatan tidak bisa dipisahkan dengan permasalahan lingkungan. Banyak sekali dampak kesehatan yang dihasilkan dari industri ekstraktif, mulai dari deforestasi yang menyebabkan terjadinya krisis iklim dan hasil samping dari indsutri ini seperti pencemaran air sungai dan udara bersih. Jika dilihat dampak dari krisis iklim saja, itu saja sudah ada banyak sekali permasalahan kesehatan yang muncul. Menurut Peraturan Kemenkes No 35/2012 tentang Pedoman Identifikasi Faktor Risiko Kesehatan akibat Perubahan Iklim, setidaknya ada empat kelompok prioritas penyakit akibat dampak negatif dari perubahan iklim, yang terdiri dari
- Penyakit tular vector
Salah satu penyakit tular vector adalah malaria. Penyakit seperti HIV, ebola dan malaria berasal dari hutan. Jika terjadi deforestasi maka virus ini akan menyebar ke kota. Sebenarnya penyakit malaria tidak berbahaya bagi orang yang tinggal di hutan, orang hutan sudah menganggap penyakit malaria seperti penyakit batuk atau pilek biasa karena tingkat resistensi yang tinggi terhadap penyakit ini. Namun jika virus ini terkena oleh orang kota maka akan timbul penyakit serius.
2. Penyakit tular air dan makanan
Pengendulan hutan atau deforestasi juga dapat menyebakan terjadinya pencemaran air. Keruhnya air sungai membuat warga yang di sekitarnya terkena diare. Diare adalah gangguan pencernaan yang membuat pengidap sering buang air besar biasanya lebih dari tiga kali sehari dengan kontur yang encer. Penyakit ini berhubungan dengan sanitasi dari air dan makanan. Warga yang menggunakan air dengan sanitasi yang buruk untuk mandi, mencuci, dan buang air besar merupakan penyebab utama dari penyakit diare.
3. Penyakit tular udara
Perubahan iklim mengakitbatkan terjadinya penurunan kualitas udara. Gelombang panas dan polusi udara yang masuk ke dalam tubuh dapat menyebabkan beberapa gangguang pernafasan seperti Infeksi Akut Salauran Pernafasan atau ISPA dan pneumania.
4. Ganggunan kesehatan jiwa
Perubahan iklim juga dapat mengganggu kesehatan rohani atau jiwa. Perubahan cuaca yang ekstrem membuat ekonomi masyarakat tidak stabil apalagi masyarakat yang bekerja di sektor pertanian atau perkebunan. Menurut The Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) kenaikan rata-rata suhu 1°C/ bulan meningkatkan tingkat kematian, terhadap kesehatan mental sebanyak 2,2%. Hal ini diperkuat dengan penelitian yang dibuat oleh Universitas Muhammadiyah Jakarta, Sebanyak 70,9% mahasiswa merespon perubahan iklim dengan kecemasan, sedangkan 56,3% mengalami ketegangan terhadap cuaca ekstrim.
Belum lagi dampak terhadap kesehatan yang ditimbulkan oleh aktivitas pertambangan. Menurut Restu Juniah dkk (2012) industri yang dilakukan di sektor pertambangan juga menimbulkan dampak pencemaran terhadap udara, air dan tanah. Hasil penelitian menunjukkan bahwasannya masyarakat di sekitar daerah pertambangan batu bara mengalami beberapa gangguan kesehatan diantaranya yaitu gatal-gatal, diare, mual, pusing, batuk-batuk atau ISPA, pilek dan sesak nafas atau ASMA. Sumber dampak yang menyebabkan timbulnya gangguan kesehatan masyarakat adalah kegiatan produksi batubara dan tingkat produksi batubara. Hal ini diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Lisnawati dkk. (2023) menunjukkan bahwasannya terdapat berbagai masalah kesehatan yang dialami oleh masyarakat Bao-Bao Kecamatan Sampara yang diakibatkan oleh pertambangan pasir, diantaranya yaitu ISPA, dermatitis, dan diare. Hal ini menunjukkan bahwasannya terdapat hubungan antara kegiatan pertambangan dengan kesehatan masyarakat sekitar.
Kebohongan Pertama: Kesejahteraan Rakyat Indonesia
Indonesia adalah salah satu negara tropis dan agraria terbesar yang ada di dunia. Negara tropis sudah ditakdirkan untuk mengembangkan potensinya di sektor pertanian dan perkebunan. Sedangkan kegiatan ekstraktif sangat kontradiksi dengan industri pertanian dan perkebunan yang mana kegiatan ekstraktif dapat merusakan pertanian dan perkebunan. Permasalahannya begini, Indonesia dari dulu sudah mempunyai tanah dan lahan yang subur, akibatnya nenek moyang kita lebih suka dan lebih paham terhadap kegiatan bercocok tanam. Jika sektor pertanian dan perkebunan kita rusak, maka akan memutus mata pencarian utama rakyat Indonesia. Lantas apakah benar hilirisasi dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia?
Jika dilihat dari perusahaan industri nikel yang ada di Indonesia, hampir seluruhnya berasal dari luar negri. Mulai dari Tsinghan Group yang berasal dari China, Delong Group yang berasal dari China, Harita Group yang berasal dari China, Vale Indonesia yang berasal dari Brazil dan Antam yang berasal dari Indonesia. Hilirisasi nikel di Indonesia hanya untuk mengembangkan industrilisasi di China, hasil dari pertambangan di Indonesia kebanyakan dibawa atau diekspor ke China dengan harga yang murah. Jadi tidak heran jika hampir 90% hasil dari pertambangan dinikmati oleh pihak luar bukan oleh warga indonesia. Mulai dari pekerjanya, teknologinya, bank pinjamannya dan bunganya semuanya lari ke pihak luar. Jika dilihat maka warga Indonesia hanya menerima kerusakan alamnya saja tetapi tidak menikmati dari hasil kerusakan itu. Hal ini diperkuat dengan data BPS yang mengatakan bahwasannya tingkat kemiskinan di wilayah sektor pertambangan seperti nikel justru naik. Sehingga industri ini tidak berdampak pada kesejahteraan warga yang ada di sekitar industri pertambangan.
Provinsi | Kenaikan penduduk miskin | Kenaikan sektor pertambangan |
Maluku utara | 0, 09% | 46,27% |
Sulawesi Tengah | 0,11% | 17,35% |
Sulawesi Tenggara | 0,16% | 9,91% |
Sualwesi Selatan | 0, 04% | 15, 06% |
Maluku | 0,19% | 1,13% |
Jika dilihat dari laju pertumbuhan ekonomi di wilayah pertambangan pada tahun 2022, Sulawesi mencatat laju pertumbuhan 0,23 persen, sedangkan Maluku dan Papua 1,44 persen. Padahal, saat itu ekonomi Indonesia secara nasional justru terperosok dan tumbuh minus 2,07 persen. Namun anehnya pertumbuhan laju ekonomi ini diiringi dengan bertambahnya jumlah kemiskinan. Seperti yang terjadi di Provinsi Papua, pada tahun 2022, ketika laju pertumbuhan Papua 1,5 kali lipat dari capaian nasional, satu dari empat warganya masih hidup dalam kemiskinan. Merujuk data Badan Pusat Statistik Papua, angka kemiskinannya mencapai 26,80 persen, hampir tiga kali lipat dari kemiskinan nasional. Selain itu di Pulau Sulawesi tepatnya di Sulawesi Tengah, kendati laju pertumbuhannya pada tahun lalu mencapai 15,17 persen, tetapi angka kemiskinannya mencapai 12,30 persen. Lebih tinggi dari rata-rata nasional yang sebesar 9,57 persen. Padahal idealnya kenaikan kinerja ekonomi akan berdampak pada indikator kualitas perekonomian seperti menyusutnya jumlah pengangguran dan kemiskinan. Maka timbulah pertanyaan besar, bagaimana bisa kemiskinan sangat merajalela di tanah yang kaya akan sumber daya alam? Sebab di wilayah inilah yang terkenal degnan sumber daya alam yang melimpah terutama yang tersimpan di perut bumi seperti nikel, emas dll. Ternyata justru kekayaan alam itulah yang membuat kemiskinan merajalela, bukan karena sumber daya alamnya tetapi karena terlena dengan kekayaan yang ada.
Hal ini juga diperkuat data dari Kompas yang menegaskan bahwasannya perekonomian di Papua dan Sulawesi sangat bergantung pada sektor pertambangan. Merujuk data BPS 2022, sektor pertambangan dan penggalian di Provinsi papua nilainya mencapai Rp 74,2 triliun dari produk domestik regional bruto atau PDRB yang sebesar Rp 172,9 triliun. Artinya hampir setengahnya perekonomian di Papua ditopang oleh sektor pertambangan. Namun lapangan pekerjaan di sektor pertambangan amatlah sedikit. Dari total 1,9 Juta pekerja di Papua hanya 13.771 orang atau 0,7% tenaga kerja yang terlibat di sektor pertambangan. Jika dihitung kasar, nilai ekonomi yang diperoleh tiap pekerja tambang mencapai Rp 5,39 miliar per tahun atau sekitar Rp 449,1 juta sebulan dengan asumsi seluruh nilai tambah yang dihasilkan dibagi rata kepada selurut pekerja di sektor pertambagan. Jika dibandingkan dengan sektor pertanian di Papua, tenaga kerja di sektor ini sekitar 1,38 juta orang dari 1,9 juta orang. Sedangkan sektor pertanian hanya berkontribusi sekitar Rp 17,1 triliun atau 10 persen dari PDRB Papua. Artinya jika dihitung dengan perhitungan yang sama, maka nilai ekonomi yang diperoleh tenaga kerja pertanian hanya sekitar Rp 12,4 juta setahun atau Rp 1 juta per bulan untuk satu orang pekerja pertanian di Papua. Hal ini juga sama seperti di Pulau Sulawesi. Ironisnya, data di atas menunjukkan bahwa kekayaan alam perut bumi yang dimiliki oleh Papua dan Sulawesi hanya dinikmati oleh beberapa orang saja.
Kebohongan Kedua: Transisi Energi Yang Berkeadilan
Pada suatu Forum resmi, Presiden Jokowi mengatakan “kita ingin segera melakukan transisi besar-besaran, dari mobil yang berbahan bakar fossil dengan mobil listrik ramah lingkungan” (2022), Biro Pers, Media, dan Informasi Sekretarian Presiden. Maka dari itu pemerintah Jokowi memberikan kemudahan bagi pengguna kendaran listrik seperti bebas dari peraturan ganjil-genap, kredit mobil listrik boleh DP nol persen, diskon tarif listrik dari PLN untuk cas mobil listri di rumah dan bebas biaya BBNKB dan PKB. Namun di balik kemudahan yang diberikan kepada pengguna mobil listrik yang mungkin hanya dirasakan oleh warga Jakarta dan sekitarnya, ada warga yang berada di atas tanah yang mengandung nikel seperti warga Halmahera, Morowali, dan Wawoni yang menanggung kerusakan lingkungan dan mengalami perlakuan represif dari aparat akibat sengketa tanah yang tidak pernah dinarasikan oleh pemerintah kepada masyarakat atau diliput oleh media. Apakah ini yang dinamakan dengan transisi yang berkeadilan?
Selain itu pada faktanya, kerusakan yang ditimbulkan oleh industri nikel lebih mempunyai daya rusak yang tinggi dibandingkan dengan daya rusak batu bara. Menurut Iqbal Damanik (Ketua Kampanye Hutan GreanPeace) salah satu alasan kenapa daya rusak nikel lebih tinggi adalah karena wilayah nikel berada di wilayah kecil yang sulit terjangkau atau terekspos oleh media. Menurut Melky Nahar (Jaringan Advokasi Tambang) mengatakan jika publik menganggap kendaraan listrik dapat mengatasi permasalahan emisi karbon, saya kira anda sedang tersesat, karena anda menghitungnya hanya ketika kendaraan listrik itu beroperasional, anda tidak melihat realitasnya dan seluruh rantai prosesnya. Selain itu pada faktanya mobil listrik yang beroperasi di indonesia hanya sekitar 3% berasal dari nikel Indonesia. Lantas jika nikel yang dihasilkan bukan untuk transisi energi maka untuk kepentingan siapa ekspolarisasi nikel yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia?
DAFTAR PUSTAKA
Al Ayubi, S., & Raffiudin, R. (2023). Dominasi Oligarki Sumber Daya Alam: Studi Kasus Ketergantungan Indonesia Terhadap Industri Batu Bara Di Masa Pemerintahan Joko Widodo. JISIP (Jurnal Ilmu Sosial dan Pendidikan), 7(3), 2533-2546.
Ernyasih, E., Fajrini, F., Herdiansyah, D., Aulia, L., Andriyani, A., Lusida, N., & Fauziah, M. (2023). Analisis Perubahan Iklim dan Kesehatan Mental pada Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muhammadiyah Jakarta. ENVIRONMENTAL OCCUPATIONAL HEALTH AND SAFETY JOURNAL, 3(2), 95-102.
Juniah, R., Dalimi, R., Suparmoko, M., & Moersidik, S. S. (2013). Dampak Pertambangan Batubara Terhadap Kesehatan Masyarakat Sekitar Pertambangan Batubara (Kajian Jasa Lingkungan Sebagai Penyerap Karbon). Indonesian Journal of Health Ecology, 12(2), 80463.
Lisnawati, L., Nofitasari, A., Yusnayanti, C., & Masriwati, S. (2023). Dampak Pertambangan Pasir Terhadap Kesehatan Masyarakat Di Desa Bao-Bao Kecamatan Sampara. PROFESSIONAL HEALTH JOURNAL, 4(2), 358-364.
Nugraha, A., & Purwanto, S. A. (2020). Neo-Esktraktivisme Tambang Timah di Pulau Bangka. Indonesian Journal of Religion and Society, 2(1), 12-22.
Pebriadi, D., Fitriangga, A., & Putri, E. A. (2013). Hubungan Antara Penggunaan Air Sungai dan Kejadian Diare Pada Keluarga yang Bermukim di Sekitar Sungai Kapuas Kelurahan Siantan Hilir Pontianak. Naskah Publikasi Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura.
Syarifuddin, N. (2022). Pengaruh Industri Pertambangan Nikel Terhadap Kondisi Lingkungan Maritim di Kabupaten Morowali. Jurnal Riset & Teknologi Terapan Kemaritiman, 1(2), 19-23.
Nikel: Hilirisasi, Potensi, dan Kemiskinan Daerah Tambang yang Meningkat 2023 (katadata.co.id)
Badan Pusat Statistik (bps.go.id)
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 35 Tahun 2012 (peraturanpedia.id)