Penulis: Amry Al Mursalaat (Mahasiswa Pascasarjana Universitas Paramadina)
Siapa yang bisa menahan tawa melihat tiga anak muda melakukan sindiran satir sarkas di depan gedung Mahkamah Konstitusi soal Putusan kontroversi batas usia capres dan cawapres yang penuh intrik dinasti politik. Pun siapa juga sih yang tidak bisa menahan tawa melihat video-video parodi lain soal kondisi politik di lini masa. Siapa pula yang menyangka di tahun 2026 pembuatan konten kritik kreatif semacam ini bisa kena pasal pidana sesuai Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) terbaru. Banyak dari kita yang lupa jika KUHP termutakhir, yang disahkan Desember lalu, masih menyimpan banyak kontroversi pasal-pasal karet.
Ada beberapa pasal mengkhawatirkan bagi anak-anak muda kreatif. Pasal 240 KUHP berbunyi “Setiap orang yang di muka umum melakukan penghinaan terhadap pemerintah yang sah yang berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.“
Rasa-rasanya makin benar jika memakai satir negara Wakanda dan Konoha jika ingin menyindir persoalan negara dan pejabatnya. Pasal 535 ayat 1 KUHP yang tidak kalah membuat dagdigdug konten kreator yang sering meluapkan unek-unek mereka lewat cara-cara kreatif. Pasal itu tertulis jika ada yang menyindir pemerintah, sanksinya hukuman penjara setahun enam bulan, atau denda berat. Bagi para kreator yang disasar dengan pasal ini akan berkeringat dingin dan bikin lebih hati-hati mengeluarkan unek-unek.
Coba bayangkan ketika asyik menyuarakan kegelisahan soal ketidakadilan atau kelakuan 'ngawur' pemerintah, di saat yang sama juga dibayang-bayangi rasa khawatir kena pidana. Bahkan bit-bit keresahan yang acap dibawakan oleh para komika, sudah mulai diatur agar tidak ‘masuk jurang’. Alih-alih ingin ikut berpartisipasi menyelesaikan satu masalah, justru sebaliknya menyebabkan munculnya masalah baru. Berawal dari haha-hihi, berakhirnya di jeruji.
Apa yang dilakukan pemerintah dengan mengaktifkan kembali pasal-pasal ini jelas sebuah kemunduran dalam kebebasan demokrasi. Tidak ada yang salah dari mengkritik kebijakan yang dibuat oleh sosok yang dipilih oleh rakyatnya sendiri secara langsung dalam perhelatan besar di tiap periode Pemilu. Pemerintah malah memilih fokus pada percepatan pembuatan KUHP yang lebih kolonial dari KUHP buatan Kolonial itu sendiri.
Lucunya, Indonesia tidak lebih baik dari Zimbabwe yang sebelumnya juga menerapkan Pasal 96 undang-undang hukum pidana Zimbabwe yang mempidana orang-orang yang dituding menghina Presiden Robert Mugabe. Namun, pada tahun 2016 mereka memutuskan menghapus pasal-pasal anti demokrasi ini karena dianggap melemahkan kontrol masyarakat terhadap pemerintahnya.Bagi siapa yang sering menjadikan negara ini sebagai candaan dan lelucon, pada kenyataanya Indonesia tidak lebih baik dari Zimbabwe.
Pemaknaan kata Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) perlu dipertanyakan kembali sebab pada kenyataanya negara monarkilah yang kerap menerapkan pasal-pasal tersebut. Thailand menggunakan pasal lèse-majesté dalam meredam kritik karena mereka mengatur pasal soal penghinaan raja, ratu atau kaisar. Sedangkan kekuasaan kita telah mengatur segala bentuk penghinaan pada lembaga secara detail. Sebenarnya, kritik masyarakat sendiri adalah sesuatu yang wajar, Pemerintah sendiri dipilih oleh dan untuk masyarakat. Apabila ada keluhan harusnya jadi perbaikan bukan pembungkaman hanya karena terlalu takut approval rating turun.
Pada tahun 2026, aturan ini akanberlaku. Konten-konten kritik kreatif yang lucu dan buat kita tertawa dan berpikir keras soal masalah negara tiba-tiba hilang dari lini masa. Masalahnya apalagi kalo bukan rasa takut dipidana pasal-pasal kontroversi di KUHP terbaru. Bahkan KUHP yang baru belum aktif, pemerintah sudah mulai menggunakan pasal-pasal (yang patut dipertanyakan) untuk membungkam kritik.
Ada yang lebih besar daripada pembatasan kebebasan berpendapat, yang ujung-ujungnya luput dari perhatian. Ambil contohnya kasus Budi Pego, isu penolakannya terhadap aktivitas tambang di Banyuwangi tidak mendapatkan perhatian sebanyak kasus pemenjaraannya. Jika kita disibukkan mempidanakan kebebasan berekspresi dan berpendapat isu-isu yang lebih fundamental seperti lingkungan, kesejahteraan, dan kekerasan seksual ketika disuarakan justru semakin mudah dipidanakan dan melupakan persoalan substansinya.
Sayangnya jam pasir menuju dijalankan KUHP telah dimulai. Persoalan rebut ruang tafsir di KUHP baru ini tidak cukup dengan berdiam dan pasrah. Kini sadar dan mulai melakukan sesuatu, langkah yang lebih baik ketimbang harus di-yaudah-ga-sih-kan yang pada akhrnya akan menelan pil pahit seperti skandal MK untuk meloloskan anak presiden sebagai Cawapres dengan cara curang dan melanggar etik.
Hal senada juga disampaikan oleh Bivitri dalam siniarnya bersama KBR beberapa waktu lalu, untuk terus menerus memperbincangkan KUHP Baru ini. Langkah kecil hari ini bisa bikin gelombang gerakan besar di masa depan. Kita harus lantang teriak “Tidak ada kata terlambat!”, mulailah dari aktivitas rebahanmu mengoptimalkan jari untuk menyuarakan kembali soal KUHP yang bermasalahan ini untuk mencegah siapapun yang pada nantinya bisa tiba-tiba dipenjara.
Editor: Syahdan