Penulis: Albert Farmus dan Diki Akmal Mark
Dalam salah satu essay Baudrillard ini dia menggambarkan bagaimana "massa" hanya merupakan kekosongan sosial belaka. Massa diciptakan oleh simulasi. Kita bisa lihat sendiri bagaimana kenyataannya sekarang, dimana kepedulian massa makin jarang ditemui kecuali hanya sekedar dalam media sosial. Bertemu dan bercakap sudah menjadi interaksi yang jarang dilakukan. Kita bisa duduk bersama namun tetap fokus kita pada gadget masing-masing.
Cara pandang Baudrillard untuk menyikapi media juga keren, di mana dia melihat bukan media yang mempengaruhi massa, melainkan massa yang membuat media menciptakan berita tertentu. Contohnya mungkin belakangan banyak berita- berita yang dirasa "sampah", namun hal itu menurut Baudrillard bukanlah keinginan media tersebut, tapi dari bagaimana tingkat konsumen pada "berita sampah" tadi. Selama berita-berita tersebut masih banyak peminatnya, maka media akan terus memproduksinya.
"Sosial" tidak ada lagi, mereka hanyalah produk simulacra yang dilebih-lebihkan. Transparansi hubungan sosial dipamerkan, ditandai, dikonsumsi lumrah di mana-mana.
Paolo Freire dalam bukunya tentang "pendidikan kaum tertindas". Pernah membaca Paolo Freire? Pedagog pendidikan itu mengeritik dengan keras sistem pendidikan yang cenderung mereproduksi ideologi dari kuasa kelas dominan. Reproduksi itu sebenarnya bertujuan untuk mempertahankan sekaligus melegitimasi hegemoni kuasa. Pendidikan dalam kacamata Freire bermakna membebaskan, membahagiakan, atau bila meminjam Maslow bolehlah dikatakan bahwa tujuan pendidikan ialah menciptakan daya aktualisasi diri sejati.
Aktualisasi diri itu berakar pada karakter egaliter, semua pencari ilmu (philo- sophos) itu berada dalam satu garis linear, tidak ada yang lebih tinggi, tidak ada yang lebih rendah; yang ada hanya siapa yang belajar lebih dulu, dan siapa yang kemudian. Dalam cara yang sama, indoktrinasi, menganggap mahasiswa sebagai gelas kosong, yang siap diisi dengan "air ilmu", merupakan logical fallacy yang merusak ruang pendidikan.
Ruang pendidikan itu bernuansa kebebasan berpikir, kritisisme, ketakpuasaan ilmiah, bahwa segala sesuatu itu harus dipertanyakan secara ilmiah, dan karenanya disebut iklim akademis.
Iklim akademis inilah yang menjadi roh dari pendidikan karena dari sanalah jiwa-jiwa menemukan aktualisasi diri tertinggi, kelana-kelana rasio akan berjumpa dengan pemahaman bahwa semakin seseorang mengetahui, semakin dia mengerti bahwa dia belum memahami apapun.
Bisa dikatakan bahwa satu-satunya pengetahuan ialah mengetahui bahwa kita tidak mengetahui apa-apa. Spektrum universal begitu luas untuk dipahami, dan karena itu iklim akademis mutlak dibudayakan, menjadi sebuah habitus, yang darinya sifat sosial manusia yang sederajat itu dipertaruhkan.
Ada dua pertanyaan yang saling berhadapan saat menyaksikan mahasiswa-mahasiswi di kampus. Pertama, ada fakta bahwa mahasiswa-mahasiswi di kampus tertentu seringkali tidak memiliki kemampuan berbicara banyak, tidak juga mampu mengkritisi sesuatu, dan celakanya membiarkan apa yang salah terjadi. baik secara doktrin, faktual, maupun secara data yang dibiarkan begitu saja, lalu diakui sebagai simulacra of truth, seolah-olah benar. Untuk semua mahasiswa dari manapun kampusnya, apapun universitasnya, saya mengajak anda berefleksi. Apakah iklim kebebasan akademik itu sudah ada dalam kampus anda? Ataukah pada umumnya sering dilakukan adalah diam, membeo, ikut arus asal dosen senang sehingga mendapatkan nilai A?
Kedua, ada kecenderungan bahwas mahasiswa-mahasiswi di kampus tertentu, banyak bicara, kritis, “memberontak terhadap kemapanan”, namun sayang sekali minim literasi. Kelompok semacam ini lebih memanfaatkan echo chambers untuk tenar, dianggap exist, pro demokrasi dll. Secara langsung, jenis mahasiswa-mahasiswi ini menumbuhkan bibit egalilter, namun pada saat yang sama menebarkan aroma kebodohan lantaran tidak banyak membaca. Hal tersebut kemudian diperparah dengan tindakan berkelindan di balik pergerakan politik. Tri Dharma Pendidikan (pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat) diimplementasikan di dunia pendidikan agar sistem pendidikan yang diciptakan itu melahirkan manusia-manusia yang merdeka mulai dari alam pikiran.
Bila ditarik ke ranah filosofis, meminjam Foucault, kebenaran itu sejatinya menyebar sifatnya, tidak lagi tunggal, apalagi dikuasi kelompok tertentu dalam stuktur masyarakat. In casu, kebenaran tidak hanya milik pengajar, melainkan juga milik pembelajar. Tafsir tunggal itu tidak lagi berlaku dalam ruang post truth, asalkan berbasis data yang akuntabel, saintifik, dan kelogisan nalar. Semua perlu didekontruksi, begitu Jacques Derrida berujar. Dekonstruksi itu diadakan agar hidup itu tak melulu simulasi, sebagaimana pemikiran Jean Baudrillard, sosiolog Prancis yang bernas itu. Jadi, makhluk
pembelajar bernama manusia itu harus bertugas mengubah situasi unconscious incompetence menjadi conscious competence. Bagaimana mungkin perubahan itu bisa terjadi bila, pertama, noktah ketakutan terhadap dosen masih menjadi alasan klasik yang terus dipopulerkan, dan kedua, rendahnya literasi yang berujung pembodohan publik, asal berbicara fa-fi-fu, wa-we-wo yang penting terkenal? Bahkan para psikolog pendidikan pun akan terkesima dengan benih kebodohan yang ditaburkan, direproduksi, dan menjadi budi-daya di ruang yang beriklim akademis.
Siapa yang salah? Apa yang salah? Anasir metodologi pendidikan yang dibumbui dengan psychological paradigm rasanya seperti sebuah utopia karena pendidikan nyatanya tidak membebaskan. Adakah realitas yang asli? Kalau diikuti pemikiran Baudrillard, saya curiga di dunia ini yang ada hanyalah semacam hoax tentang hoax yang lain berdasarkan hoax sebelumnya. Di dalam dunia postmo, realitas sudah mati dan yang tersisa hanyalah persepsi menurut Guys Louis Debord. Post modern berangkat dari asumsi bahwa tidak ada kebenaran realitas objektif sehingga realitas adalah bentukan (constructed) Era Postmo adalah era di mana berbagai perspektif media baru cenderung mengaburkan perbedaan tajam antara realitas dan fantasi, pertanyaannya apa yang “asli” itu?
Menggunakan pendekatan postmo, sudah tidak ada itu yang asli dan tidak asli. Realitas Modernis akan keluar, saling bertemu dan seterusnya. Begitulah yang tampak di media baik itu gambar, tulisan dan suara menjadi sebuah realitas. Nilai itu berharga; harga belum tentu bernilai. Tapi dalam postmo harga adalah nilai, mengingat perkataan Baudrillard, “kebenaran adalah apa yang ditertawakan”.
Editor: Syahdan