Penulis: Arman Ramadhan, Mahasiswa IISIP Jakarta
Dalam dunia pergerakan mahasiswa, Soe Hok Gie merupakan nama yang sangat populer. Sosoknya begitu digandrungi dan dijadikan idola oleh mahasiswa-mahasiswa dan para aktivis kampus. Gie merupakan gambaran atau representasi anak muda yang idealis, berani, jujur, dan marah saat melihat ketidakdilan. Semasa hidupnya, Gie melawan tentang kondisi yang dianggapnya tidak tepat melalui tulisan-tulisannya. Banyak tulisan-tulisannya yang dimuat di berbagai surat kabar nasional.
Sebagian besar tulisannya menyangkut persoalan politik negerinya. Keterampilan menulis Gie tampaknya diwariskan dari sang ayah, Soe Lie Piet. Pada masanya, Soe Lie Piet merupakan penulis Tionghoa yang produktif. Bukti dari produktivitasnya itu dapat dilihat dari 15 karya novelnya dan tulisan lainnya dalam bentuk cerpen, essai, dan catatan perjalanan. Dan, ternyata kemampuan dalam mengolah kata itu menurun kepada sang anak, Gie.
Kelihaian Gie dalam menulis juga ditopang oleh wawasannya yang begitu luas. Hal ini dikarenakan Gie sejak masa kecil sudah terbiasa dengan buku-buku bacaan. Berbagai macam buku dilahapnya. Alhasil, bacaan-bacaannya itu membentuk alam pikir Gie.
Di samping itu, Gie juga merupakan tokoh penting dalam dunia gerakan mahasiswa tahun 1966, khususnya dalam pelengseran Bung Karno. Tidak hanya itu, dia adalah otak dari aksi demonstrasi atau Long March yang dilakukan oleh mahasiswa saat melakukan tuntutan mengenai penurunan harga BBM hingga tarif angkutan umum yang mengalami kenaikan. Pada saat situasi politik nasional bergejolak, Gie membangun jaringan dengan sejumlah tentara yang juga muak dengan kekuasaan Orde Lama.
Menurut pandangan Gie, kekuasaan Orde Lama yang begitu kuat tidak bisa dilawan atau dijatuhkan hanya dengan mengandalkan gerakan moral. Oleh karena itu, gerakan moral tersebut harus diikuti oleh gerakan politik pula. Atas dasar itu, Gie bekerja sama dengan sejumlah tentara dan juga tokoh politik guna menjatuhkan kekuasaan Orde Lama. Akan tetapi, jika kekuasaan yang baru terbentuk dan sama buruknya dengan Orde Lama maka mahasiswa harus kembali melakukan kritik serta koreksi terhadap kekuasaan.
Walaupun, Gie sangat tertarik dan terlibat dalam beberapa peristiwa penting yang memengaruhi jalannya dinamika politik dalam negeri, ada kalanya dia jenuh dan muak dengan kegaduhan yang terjadi di lingkaran kekuasaan. Kadang untuk mengatasi hal itu, Gie pergi ke gunung dan kadang sekadar singgah di tempat kesukaannya, yakni Lembah Mandalawangi. Bahkan, Gie sempat membuat puisi dengan judul “Mandalawangi-Pangrango”.
Ada satu hal yang menarik dari sosok Gie, yaitu dia selalu menempatkan kemanusiaan di atas segalanya, termasuk politik. Mungkin, bagi sebagian orang, Gie ini adalah seorang yang penuh dengan kontradiksi. Di satu waktu, ia bisa mengkritik habis-habisan lawannya. Namun, di satu sisi yang lain, Gie juga akan membela lawannya, bila lawannya itu diperlakukan secara tidak adil atau tidak manusiawi. Pada zaman sekarang, hal itu akan sangat sulit dijumpai. Apalagi, kalau sudah masuk dalam ranah politik. Bagi beberapa orang, dia rela mengesampingkan akal sehatnya atau objektivitasnya, demi membela sosok yang dianggapnya benar dan tidak pernah salah.
Pemuda Yang Dekat Dengan Alam dan Bacaan
Membicarakan sosok Gie rasanya kurang lengkap jika tidak berbicara mengenai pengalaman personalnya terhadap alam dan pembentukan intelektualitasnya melalui buku-buku bacaannya. Alam dan buku seakan telah menjelma menjadi bagian dari diri Gie itu sendiri. Selama masa hidupnya, Gie banyak mengambil langkah-langkah kongkrit yang berkaitan dengan kelestarian alam dan lingkungan. Dua di antaranya adalah membentuk organisasi internal pecinta alam (Mapala UI) dan juga sebagai inisiator gerakan menanam pohon di Rawamangun.
Namun, pembentukan organisasi pecinta alam itu tidak semata-mata karena kesukaan Gie terhadap alam atau gunung semata, melainkan juga sebagai organisasi tandingan atau “filter” terhadap organisasi eksternal yang terafiliasi langsung dengan partai politik. Pada masa itu, sekitar tahun 1960-an, organisasi eksternal di kampus-kampus dikendalikan oleh kepentingan dan ambisi partai politik. Akibatnya, kericuhan dan polarisasi menyelimuti kampus-kampus. Gie tidak setuju kampus dikotori oleh kepentingan parpol. Atas dasar itu, organisasi Mapala UI terbentuk.
Di samping itu, tujuan dari terbentuknya Mapala UI adalah berupaya untuk menanamkan dan menumbuhkan idealisme di kalangan para mahasiswa secara jujur dan dapat benar-benar mencintai alam, tanah air, rakyat, dan almamaternya. Gie dan kawan-kawannya sudah menaklukan beberapa gunung, di antaranya adalah Gunung Slamet dan Gunung Semeru, gunung terakhir yang ia daki sebelum menemukan akhir dari hidupnya. Dalam tulisan dan pandangannya, ia menyatakan dengan mendaki gunung kita dapat mencintai tanah air dan dekat dengan rakyat. Mencintai tanah air tidak bisa hanya dengan slogan-slogan kosong belaka.
Sementara itu, Gie juga merupakan salah satu inisiator dalam menanam pohon di kampus FS-UI di Rawamangun sebagai bentuk pelestarian dan pemeliharaan lingkungan. Kampus FS-UI ditanami dengan bibit pohon cemara dan pohon beringin. Alhasil, lingkungan kampus tersebut menjadi hijau, sejuk, dan asri. Apa yang dipikirkan dan dilakukan oleh Gie tentu merupakan langkah yang progresif pada masanya.
Selain memiliki ketertarikan terhadap alam, Gie juga memiliki ketertarikan terhadap buku-buku. Gie memiliki minat baca yang sangat tinggi. Tidak hanya itu, terkadang buku yang dia baca kembali didiskusikan dengan teman-temannya. Kesukaan Gie terhadap buku memang sudah ditanam sejak kecil. Gie membaca buku apapun yang ingin dia baca. Buku bacaannya meliputi tentang sastra, sejarah, politik, hingga hukum. Tidak heran dengan hobinya itu, Gie dikenal sebagai orang yang memiliki wawasan yang luas dan pengetahuan yang melimpah.
Begitu luasnya wawasan Gie, teman-temannya menjulukinya sebagai “ensiklopedia berjalan”. Bahkan, tidak jarang teman-teman kuliahnya meminta rekomendasi bacaan kepada Gie demi kebutuhan tugas kuliahnya. Sebagian besar temannya biasanya menanyakan buku-buku terkait sejarah. Tidak hanya itu, Gie sangat rajin berbagi pengetahuan yang dia miliki kepada teman-temannya.
Terkadang, bila ada teman-temannya yang merasa kesulitan dalam memahami isi sebuah bacaan maka orang yang pertama dicari adalah Gie. Wawasan yang luas membuat Gie berada di beberapa tingkat di atas teman-teman sebayanya. Sebenarnya, ada satu impian Gie yang tidak terwujud, yaitu mendirikan klub buku. Ide Gie tersebut tidak pernah terwujud dikarenakan sepinya peminat dan beranggapan bahwa klub buku tersebut merupakan forum yang kaku dan sangat serius.
Gie dan Politik Kemanusiaan
Seperti yang dikatakan sebelumnya, Gie adalah salah satu tokoh yang memainkan peranan penting dalam menjatuhkan atau melengserkan kekuasaan Bung Karno. Dalam pandangannya, pemerintahan Orde Lama merupakan pemerintahan yang korup, otoriter, dan tidak menghormati nilai-nilai hak asasi manusia. Gie tidak hanya menjadi pengkritik keras Bung Karno, ia juga memiliki sikap dan pandangan yang bertentangan pula dengan PKI, parpol yang memiliki hubungan mesra dengan Bung Karno.
Namun, Gie bukanlah seorang pemuda yang memiliki pemikiran yang sempit dan fanatik terhadap suatu nilai. Gie merupakan seorang intelektual yang selalu mencoba dan berupaya untuk melihat suatu persoalan dengan jernih dan objektif. Setelah peristiwa G30S, terjadi pembantaian atau pembunuhan massal di berbagai wilayah, sebut saja seperti di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali. Dalam kejahatan terhadap kemanusiaan tersebut, banyak korban-korban yang tidakk bersalah ikut dihukum.
Ada banyak orang pula yang ditahan dan masuk penjara, tanpa melalui proses pengadilan. Belum lagi banyak kaum perempuan yang dicap sebagai bagian dari Gerwani dilecehkan dan diperkosa oleh oknum aparat penegak hukum. Rasa kemanusiaan Gie tergelitik melihat kekejian yang terjadi di negerinya. Dengan kepiawaiannya dalam menulis dan juga sikapnya yang kelewat berani, Gie segera menulis sebuah artikel mengenai pembantaian tersebut dan mengutuk serta mengecam keras tindakan-tindakan yang kelewat batas.
Gie menyatakan bahwa PKI memang salah dan biadab, tetapi bukan berarti kita harus melakukan dan mengikuti cara-cara yang biadab pula untuk menghukum mereka. Selain itu, sebagian dari mereka yang dibunuh dikarenakan tertipu atau termakan oleh janji-janji manis PKI.
Setelah terjadinya G30S, diberlakukan pula kebijakan mengenai “Surat Tidak Terlibat G30S” yang dikritik oleh Gie. Dalam pandangan Gie, surat itu hanya akan melanggengkan perbuatan diskriminatif. Surat tersebut diperlukan untuk masuk sekolah, pindah rumah, dan sebagainya. Gie mengecam dan mengkritik itu semua melalui tulisan-tulisannya yang termuat di media cetak nasional.
Perlu diketahui, Gie adalah orang pertama yang berani dan berbicara secara terus terang mengenai pembunuhan dan pembantaian massal itu. Akibat dari keberaniannya, pernah ada kejadian yang tidak mengenakan kepada Gie. Dalam suatu waktu, Gie diserempet oleh sebuah mobil dan pengemudinya melemparkan secarik kertas yang bertuliskan “Tjina + PKI = Mati”. Gie paham dan tahu bahwa surat itu pasti kiriman dari kelompok militer yang tidak senang dengan tulisannya.
Dari soal semacam ini, masyarakat Indonesia harus belajar dari sosok Gie, terlebih-lebih soal kemanusiaan. Bagaimana Gie menempatkan kemanusiaan di atas politk. Setiap orang boleh saja memiliki paham dan pilihan politiknya masing-masing. Setiap orang juga boleh untuk tidak setuju dengan pendapat dan sikap politik yang berbeda dengan yang diyakininya. Akan tetapi, jangan sampai hanya karena berbeda pilihan dan sikap membuat kita menjadi bermusuhan dan menginjak-injak nilai-nilai kemanusiaan.