Penulis: Miftahul Choir
Pada 12 Mei lalu, saya berkunjung ke Universitas Muhammadiyah Jakarta untuk menghadiri debat antara mahasiswa dan perwakilan Partai Buruh terkait pergerakan politik partai tersebut yang dianggap mendukung Ganjar Pranowo sebagai presiden. Tidak lama setelah saya tiba di lokasi diskusi, terdapat protest dari mahasiswa, dengan menggunakan megaphone nya berseru “mahasiswa tidak seharusnya berpragmatis politik” – saya tidak ingat persisnya, tapi maknanya tidak jauh dari itu. Diskusi pun kemudian dibatalkan karena penyelenggara dianggap tidak memiliki izin dan saya mendengar juga dan juga saya mendengar desas-desus ada pihak yang tidak senang dengan masuknya atribut partai ke kampus.
Dua hari setelah kejadian tersebut, saya mendengar kabar bahwa di Move Forward Party (MFP), partai yang didominasi pemuda dan kelompok progresif memenangkan pemilihan umum di Thailand dan membuka peluang berakhirnya kudeta militer di negara tersebut. Partai tersebut dipimpin oleh Pita Limjaroenrat, 42, seorang lulusan Harvard University dan anak dari Pongsak Limjaroenat, penasihat Menteri Pertanian era Perdana Menteri Thaksin Shinawatra dan CEO perusahaan pertanian Agrifood. Selain itu, Pita juga memiliki paman bernama Pongsak Limjaroenat yang merupakan Menteri Dalam Negera juga pada masa pemerintahan Thaksin.
Partai MFP memperoleh suara sebesar 36,2% atau kursi di parlemen sebanyak 152, mengalahkan Pheu Thai yang dipimpin oleh Paetongtarn Shinawatra, anak dari Thasksin, serta partai United Thai yang dipimpin oleh Perdana Menteri junta militer saat ini Prayut Chan-O-Cha. Untuk mengamankan posisi perdana Menteri, MFP harus membentuk koalisi dan meraih dukungan dari 375 anggota parlemen.
Tentu saja tidak adil untuk membandingkan situasi antara Indonesia dan Thailand, tetapi kemenangan MFP menunjukan betapa kontrasnya posisi politik pemuda di Indonesia dan Thailand. Jelang pemilu di Thailand, saya melihat pemuda menggunakan atribut atau warna partai di kehidupan sehari-hari serta merepost kampanye-kampanye MFP di media sosial mereka. Bahkan, dua aktivis Thailand yang baru saja dibebaskan dari penjara setelah menghabiskan lebih dari 34 hari, Bam dan Tawan turut mengunjungi dan berorasi di beberapa kampanye MFP.
Untuk memahami memahami mengapa pemuda dan aktivis pro-demokrasi di Thailand secara terbuka mendukung satu partai politik tertentu, saya berbicara dengan salah satu aktivis pro-demokrasi di Thailand, Sophon ‘Get’ Surariddhidhamrong. Get baru saja lulus dari Universitas Ratchamdari, Bangkok dan aktif di organisasi Mokeluang, organisasi yang dia bentuk untuk mempromosikan kesejahteraan dan hak asasi manusia di Thailand. Get baru saja dibebaskan dari tahanan pada Maret lalu akibat melanggar pembebasan bersyaratnya dengaan bergabung dengan demonstrasi menolak APEC 2022.
Melawan dari Dalam Sistem
Sama seperti di Indonesia, Get menyebutkan bahwa masih banyak aktivis pro-demokrasi atau warga Thailand pada umumnya tidak memercayai pemilu. Menurut banyak orang, pemilu kali ini tidak ada bedanya dengan pemilu-pemilu tahun sebelumnya yang berujung pada kudeta militer – Thailand telah mengalami 12 kudeta militer, jumlah terbanyak di dunia. Terakhir kali Thailand mengadakan pemilu demokratis di tahun 2014, Pheu Thai yang dipimpin oleh Yingluck Shinawatra, adik dari Thaksin berhasil memenangi pemilu dan menjabat sebagai perdana Menteri sebelum akhirnya di kudeta oleh militer satu tahun setelahnya. Hal yang sama juga terjadi pada Thaksin itu sendiri yang dikudeta pada tahun 2006 setelah tahun sebelumnya memenangi pemilu.
Namun, momentum yang penting saat ini adalah pemilu akhirnya tiba. Pemerintah junta militer telah menjanjikan melangsungkan pemilu sejak tahun 2019 dan seharusnya perdana Menteri Thailand tidak menjabat lebih dari delapan tahun. Sehingga, ini bisa menjadi momentum untuk memasukan orang-orang pro-demokrasi ke parlemen sebagai pelengkap perlawan diluar parlemen.
Seperti sebagian besar warga Thailand, Get menyebutkan bahwa dirinya “Tidak sepenuhnya mendukung proses pemilu”. Namun menurutnya, perlawan didalam parlemen dibutuhkan karena demonstrasi secara terus menerus tidak mampu memberikan hasil terhadap perbaikan demokrasi di Thailand bahkan justru membuat banyak aktivis di penjara atau dihilangkan secara paksa. Berdasarkan data Thai Lawyers for Human Rights, pada tahun 2022 lalu terdapat 1,188 orang yang didakwa Pasal 112 atau pasal penghinaan kerajaan. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, Get juga merupakah salah satu aktivis yang ditahan hanya karena berpartisipasi pada demonstrasi hari buruh.
Berdasarkan pembacaan tersebut, Get beranggapan bahwa pragmatisme adalah kunci. Demokrasi di Thailand tidak akan diraih dengan protes jalanan, tetapi perlu memasukan orang-orang progresif kedalam parlemen dan merubah kebijakan, aturan, dan regulasi. Perlu adanya perubahan sistem dari dalam.
Namun, Get juga menyadari bahwa politisi tetaplah politisi. Dalam artian, tentu saja akan ada kemungkinan partai-partai yang telah menjanjikan berbagai hal tersebut akan berhianat atau melakukan hal yang bertolak belakang dari prinsip mereka. Aktivis pro-demokrasi Thailand juga mengalami banyak pengalaman dibohongi oleh politisi dengan janji-janji menghapus Pasal 112 Thailand dan mereformasi monarki.
Mengapa Move Forward Party?
Move Forward Party merupakan penerus dari Future Forward Party yang dibubarkan oleh pemerintah pada tahun 2020 lalu karena dianggap mengalami permasalahan finansial. Pita Limanjaroet adalah anak dari pejabat Thailand yang sejak kecil tinggal di Selandia Baru dan mengenyam Pendidikan di Amerika Serikat. Pita juga merupakan CEO Agrifood, industri pertanian yang dibentuk oleh ayahnya serta sempat menjabat sebagai eksekutif direktur Grab.
Jika dilihat secara sekilas dari latar belakangnya, Pita berasal dari kelas menengah atas, seorang teknokrat yang tidak mampu menyentuh persoalan akar rumput Thailand. Get sendiri menyebutkan bahwa MFP dan Pita tidak memiliki kebijakan yang kuat untuk warga non-Bangkok atau kota besar lainnya. Lantas, apa yang membuatnya tetap memenangkan pemilu?
Ibaratnya dalam konteks Indonesia, apakah kita berani memilih Nadiem Makarim sebagai kepala pemerintahan, terutama setelah melihat bagaimana kebijakannya tidak menyelesaikan persoalan struktural pendidikan.
Melalui jawaban Get, dapat disimpulkan tiga dari sekian alasan mengapa MFP menjadi pilihan. Pertama, MFP dan aktivis sama-sama memiliki identitas sebagai kaum teropresi dan korban dari represifitas pemerintah Thailand. Hal ini dibutkikan dengan adanya anggota MFP yang pernah menjadi korban Pasal 112 seperti anggota parlemen Rangsiman Rome yang pernah ditahan pada tahun 2017 ketika aktif di New Democracy Movement dan Thanathorn Juangroongruangkit, pimpinan Future Forward Party.
Simpati publik kepada MFP juga meningkat seiring dengan predesornya, Future Forward Party yang dibubarkan secara paksa oleh pemerintah Thailand. Future Forward Party sebelumnya adalah partai oposisi terbesar kedua di parlemen setelah Pheu Thai dan kerap mengkritisi kebijakan pemerintah. Aktivis pro-demokrasi menganggap fenomena tersebut sebagai titik dari menguatnya cengkraman militer dan monarki di politik.
Kedua, dari sisi performa di parlemen dan kebijakan, aktivis pro-demokrasi menganggap MFP adalah partai yang berani melawan junta militer dan monarki serta mempertanyakan berbagai kebijakan. Performa positif ini ditunjukan dengan MFP yang kerap menanyakan anggaran pertahanan dan tentara Thailand yang terus meningkatn, anggaran kerajaan, bahkan soal perlunya menghapus Pasal 112. Ketika aktivis pro-demokrasi Thailand ditangkap, anggota MFP ikut bernogisasi dengan kepolisian untuk membebaskan tahanan dan turut serta demonstrasi dan orasi di jalanan menyerukan penghapusan Pasal 112.
Ketiga, blunder dari Pheu Party yang membuat MFP lebih memenangi pemilu Thailand. Sebelumnya, proyeksi menujukan Pheu Party lebih unggul disbanding MFP akibat sosok sebagai anak Thaksin dan jangkauan ke wilayah pinggiran Thailand lebih jauh dibandingkan MFP. Selain itu, anggota Pheu Party juga banyak yang merupakan aktivis generasi 6 Oktober 1976 – peristiwa pembantaian mahasiswa oleh pemerintah Thailand.
Namun, beberapa hari sebelum pemilu pihak Pheu Party menyatakan mereka siap bernegosiasi dengan militer. Menurut aktivis pro-demokrasi Thailand, apabila ada pihak yang bersedia berkompromi dengan militer, maka pihak tersebut tidak pantas untuk didukung. Kontras dengan Pheu Thai, MFP secara tegas menolak berneogisasi dengan militer dan aktivis pro-demokrasi menganggap hal tersebut sudah cukup untuk menunjukan keseriusan MFP dalam mengubah tatanan politik Thailand. Dalam isu Pasal 112, Pheu Thai menganggap permasalahan ada pada implementasi dan menolak untuk menghapus pasal tersebut secara keseluruhan.
Pilihan Lain
Terdapat 67 partai politik yang turut serta dalam pemilu di Thailand. MFP dan Pheu Party bukan satu-satunya partai progresif yang memiliki agenda untuk memajukan demokrasi di Thailand. Terdapat pula partai The Commoner, yang didirikan oleh kaum miskin di Isaan, Kawasan termiskin di Thailand yang diketuai oleh Kornakok Khamta, seorang mantan aktivis pro-demokrasi yang juga sempat ditahan. Juga terdapat partai sosialis-demokrat yang juga menentang monarki.
Namun, suara aktivis pro-demokrasi terpusat di MFP atau Pheu Thai dikarenakan kedua partai ini memiliki peluang paling besar untuk memenangkan pemilu. Kekuatan mereka dapat mampu memenangkan pemilu dapat dilihat dari jumlah anggota parlemen, popularitas, serta program-program yang ditawarkan. Sebagai perbandingan, The Commoner tidak memiliki kursi sama sekali di parlemen dan pada pemilu 2023 hanya meraih 0,2% dari total suara.
Narasi boikot pemilu juga digaungkan oleh kalangan aktivis tertentu yang menanggap pemilu hanyalah alat untuk memperpanjang kekuasasan dan didominasi oleh elit politik. Namun, narasi ini tidak begitu besar dibanding pengikut MFP.
Membuat partai sendiri, misalnya sebuah partai mahasiswa, merupakan pilihan yang memungkinkan secara aturan partai politik di Thailand. Tidak seperti di Indonesia, membuat partai politik tidak berongkos mahal atau dengan aturan yang memberatkan sehingga banyak partai-partai kecil bermunculan. Namun, Get menganggap membuat partai mahasiswa belum menjadi pilihan saat ini karena akan membutuhkan biaya dan energi yang besar dan disaat yang sama aktivis mendapat serangan secara fisik dari pemerintah.
Setelah pemilu
Meskipun aktivis pro-demokrasi memberikan dukungan terhadap MFP, Get menyatakan dirinya dan kelompoknya tidak akan memercayai MFP sepenuhnya. Baginya, MFP layak dipilih hanya karena ketiga alasan yang disebutkan diatas dan sangat memungkinkan MFP menghianati janji-janjinya.
Sehingga, yang justru Get dan teman-temannya lakukan adalah mendorong masyarakat untuk terus mempertanyakan Pita dan tidak memercayai sepenuhnya. Hal tersebut bukan berarti Get tidak mendukung Pita, namun sebagai tekanan bahwa MFP dimenangkan oleh rakyat dan harus membawa agenda rakyat di parlemen. Aktivis pro-demokrasi harus terus melihat kesalahan-kesalahan yang ada di MFP, menginspeksi, mengajukan pertanyaan dan apabila MFP melenceng dari jalur, Get menyatakan aktivis pro-demokrasi siap memprotes dan melakukan demonstrasi melawan MFP. Menurutnya, itu adalah partisipasi demokrasi yang sesungguhnya – demokrasi adalah ketidakpercayaan yang diinstitutionalisasi.
Pada pemilu ini, Get mengakui juga tidak ada suara kolektif mahasiswa akan memilih siapa di pemilu ini. Perdebatan tentu saja bermunculan namun itu tidak menghentikan masing-masing aktivis pro-demokrasi untuk mengutarakan dukungannya secara terbuka.
Refleksi untuk Indonesia
Pengalaman aktivis pro-demokrasi Thailand dalam melihat pemilu tentu tidak dapat dibandingkan dengan situasi di Indonesia. Namun, tetap ada beberapa pelajaran yang dapat dipetik dan pertanyaan refleksi yang dapat kita ajukan kepada diri kita masing-masing.
Pertama, perlu dipahami bahwa peraturan partai politik di Thailand memungkinkan lahirnya partai-partai yang dibentuk oleh masyarakat atau kelompok tertentu, dibandingkan dengan konteks Indonesia dengan ongkos politik yang mahal sehingga partai politik hanya didominasi oleh kelompok pebisnis. Hal ini yang membuat 67 partai mampu bersaing di Thailand, termasuk MFP. Selayaknya partai politik di Asia Tenggara, perbedaan ideologi mungkin tidak terlalu tampak akan tetapi MFP menunjukan posisinya yang bersebrangan dengan monarki. Dari poin ini, dapat ditunjukan signifikansi dari peraturan partai politik yang sehat untuk munculnya partai politik yang progresif.
Kedua, tidak seperti Indonesia, Thailand tidak mengalami pengalaman Soeharto yang mendepolitisasi masyarakat Indonesia. Memang ada penghancuran terhadap Gerakan kiri pada dekade 70an di Thailand, namun secara skala dan dampak jauh lebih kecil dibanding Soeharto sehingga masyarakat progresif masih berkembang di perkotaan. Selain itu, pengalaman mengalami kudeta militer berkali-kali juga membuat warga semakin resah terhadap politik yang tidak stabil. Hal ini juga yang membuat banyak aktivis di Thailand mengorganisasikan kelompok mereka dan membuat partai politik.
Ketiga, penjelasan Get menunjukan bahwa adanya demarkasi jelas antara siapa yang harus dipilih dan siapa yang harus dilawan. Ada musuh Bersama. Dalam hal ini, musuh bersama aktivis pro-demokrasi adalah junta militer. Hal tersebut tidak dapat dinegosiasikan sehingga mereka menolak Pheu Thai yang mengajak berkolaborasi dengan militer. Memilih MFP menjadi pilihan mudah karena sikap mereka yang tegas terhadap militer walaupun dalam isu lain masih dapat dikompromikan.
Sementara itu, Gerakan sosial di Indonesia masih berkutat di pertarungan diskursus. Dalam kata lain, belum jelas siapa yang sebetulnya kita lawan, apa bukti bahwa kita adalah korban dari kekerasan pemerintah, dan bagaimana cara menunjukan bahwa kita adalah korban. Di Thailand, hal tersebut lebih mudah karena militer secara langsung terlihat mengambil alih pemerintah dan tiap lingkar pertemanan mungkin ada satu orang yang tengah ditahan di penjara. Meskipun di Indonesia juga terdapat aktivis yang direpresi, belum ada kesadaran kolektif bahwa kita adalah korban dari kekerasan pemerintah dan siapa sebetulnya oligarki yang harus dimintai pertanggungjawaban.
Keempat, MFP dipilih karena rekam jejak dalam menjalankan perannya sebagai oposisi pemerintah. Hal tersebut dapat dilihat dari posisi mereka terhadap berbagai aturan dan secara konsisten mempertanyakan kebijakan dan anggaran pemerintah. Hal ini tentu saja tidak bisa dikaitkan dengan konteks Indonesia yang partai oposisi tidak secara tegas menolak kebijakan dan kalua pun menolak, ada kecenderungan hal tersebut bagian dari politik patronase.
Terakhir, prioritas utama dari aktivis pro-demokrasi Thailand adalah untuk bertahan hidup. Get ditahan sebanyak dua kali dalam satu tahun kebelakang, begitu juga dengan teman-temannya yang mogok makan di tahanan dan membutuhkan jaminan untuk dibebaskan. Sehingga, dalam pemilu ini aktivis pro-demokrasi mencari partai mana yang dapat menjamin kebebasan sipil. Tentu saja ada kebijakan lain yang mereka tolak, namun selama tabiat partai tersebut terbuka pada prinsip kebebasan pendapat, maka dapat dipilih.
Jawaban dari Get juga menunjukan bahwa pemilu adalah salah satu dari sekian jalan untuk melawan otoritarianisme. Bagi aktivis militan dan radikal, pemilu justru tidak dijadikan target atau satu-satunya jalan, perlu dibarengi dengan perlawan non-parlemen. Implikasinya adalah pemilu dilihat dari kacamata yang lebih pragmatis dan bagaimana kemenangan suatu partai dapat berkontribusi pada strategi kelompok aktivis pro-demokrasi. Use anything – gunakan segala cara yang dapat digunakan untuk melawan kekerasan, meskipun itu tidak sepenuhnya menguntungkan posisi kita dan penuh resiko.
Editor: Syahdan