Penulis: Sarah Azmi
Pertokoan Fase VII
Bangunan pertokoan Fase VII hanyalah salah satu bangunan dari sejumlah kompleks pertokoan di Pasar Raya Padang terletak di Kota Padang sebagai ibu kota Provinsi Sumatera Barat. Pertokoan Fase VII adalah bagian dari komplek pertokoan Fase I, II,III, IV, V, VI, dan pertokoan Fase VII, yang terletak di Jalan Pasar Raya Kota Padang. Sebelumnya, pada lokasi ini terdapat pasar yang hanya berupa blok-blok yang terbuat dari kayu.
Pembangunan pertokoaan Fase I s/d Fase VII dilaksanakan pada masa pemerintahan Wali Kota Padang Zainuddin Sutan Pangeran melalui 2 tahap. Pada tahun 1963 dilaksanakan pembangunan pertokoan Fase I, Fase II dan pertokoan Fase III. Selanjutnya tahun 1971 dilaksanakan pembangunan Pertokoan Fase IV s/d pertokoan Fase VII. Yang menarik dari sistem pembangunan pertokoan adalah mengenai pembiayaan. Pembiayaan pembangunan ditanggung oleh para pedagang. Pemerintah Kota Padang hanya memfasilitasi pedagang untuk mendapatkan kredit bank.
Pertokoan Fase VII menjadi strategis karena letaknya berada pada persimpangan jalan utama yaitu jalan Muhammad Yamin, Jalan Bundo Kandung, Jalan Holi Goo, dan Jalan Pasar Raya. Pada keempat ruas jalan terdapat kantor pemerintahan dan pertokoan yang ramai dikunjungi. Pada jalan Muhammad Yamin misalnya terdapat Pertokoan jalan Muhammad Yamin-Perkantoran Balai Kota Padang-POLRESTA PADANG. Pada jalan Hologoo terdapat Pertokoan Atom Center-Pertokoan Jln Holigoo. Begitu juga dengan jalan Bundo Kandung dan Jalan Pasar Raya Padang. Pada kiri kanan Jalan Pasar Raya terdapat deretan pertokoan KOPAS dan bangunan pertokoan Fase VI. Di samping pertokoan, jalan Muhammad Yamin, Jalan Holigo, dan jalan Bundo Kandung adalah jalur keluar masuk angkutan kota ke Pasar Raya Padang.
Di samping pertokoan Fase I s/d Fase VII terdapat beberapa Pasar. Pertama, Pasar Raya Timur terdiri dari Pasar Raya Timur I (Pasar Inpre I), Pasar Raya Timur II (Pasar Inpres II) , Pasar Raya Timur III (Pasar Inprres III), dan Pasar Raya Timur (IV) atau lazim disebut Pasar Inpres IV. Pasca Gempa 2009 keempat pertokoan ini telah direkonstruksi dan dinamakan Pasar Blok I, Blok II, Blok III, dan Blok IV. Kedua Pasar Raya Barat, terdiri dari pertokoan Blok A, Pertokoan Blok Perabot, dan Pertokoan Blok Raja Wali. Ketiga, kawasan Pasar Raya Barat.
Dari segi kepemilikan, sebagian besar Pasar Raya Padang berdiri di tanah HPL Pemko Padang dengan batas sebelah utara dengan pertokoan Pasar Baru dan Bioskop Raya, sebelah selatan dengan Kantor Balai Kota dan pertokoan M. Yamin, sebelah Barat dengan Kampung Baru dan Kampung Jawa Dalam, dan sebelah Timur dengan Kampung Benteng dan pertokoan Adabiah.
Rekonstruksi Pertokoan Fase VII
Senyum lelah Ibu Armis menyambut kedatanganku, sebelumnya ia menyatakan bersedia untuk meliput proses rekonstruksi Pertokoan Fase VII Pasar Raya Padang. Tak lama kemudian, ia mempersilakan aku menduduki lapak yang terletak di samping lapaknya, sambil menyalami tanganku dengan erat. Lapak tersebut terletak di pelataran pertokoan bangunan Fase VI yang sebelumnya berdampingan dengan bangunan pertokoan Fase VII yang kini sudah dirobohkan.
Sambil memandang sekeliling, aku mencoba memancing Ibu Armis “bagus ya lokasi pemindahannya Bu?”
“Lumayan Sarah, mudah-mudahan saya dapat tetap di sini sampai ditempatkan pada bangunan baru pasca pembangunan pertokoan Fase VII. Itupun kalau benar bahwa akan ditempatkan Dinas Perdagangan”, ucap Bu Armis dengan helaan nafas sambil memandangi lokasi bangunan Fase VII yang kini sudah dipagar seng sekeliling.
“Kok Ibu bicara begitu?”, aku menatap matanya yang kini terlihat kosong.
“Terlalu berat masalah yang saya alami selama berjualan Ra. Kalau Sarah ingin tahu lebih banyak, Sarah bisa menanyakan kepada kuasa hukum saya PBHI Sumbar”. Ujar Bu Armis.
“Ibu sudah pernah mengadukan kepada Dinas perdagangan?
“Sudah. Bahkan kepada kepolisian. Namun hasilnya selalu saja mengecewakan. Sarah berpuasa?” Ibu Armis mencoba mengalihkan pembicraan.
“Puasa Bu. “, jawabku pendek. “Ibu harus sabar. Setidaknya sampai saat ini Ibu masih direlokasi Dinas Perdagangan sebagai pedagang terdampak Rekonstruksi Fase VII”.
“Mudah-mudahan, Ibu mohon didoakan”, ucap Ibu Armis sambil membenahi dagangannya setelah memandangi sekeliling yang sepi pengunjung. Pedagang lain terlihat mulai membenahi dagangan utuk menutup lapak mereka.
“Ibu juga mau menutup lapak? Silakan Bu. Kalau Ibu tidak berkeberatan, lain kali Sarah akan kembali menemui Ibu”.
“Belum. Hanya mau merapikan supaya kalau nanti tutup, akan mudah menyusunnya. Teruslah di sini”.
“Terima kasih Bu, Sarah juga ingin belanja untuk perbukaan. Terima kasih telah menerima Sarah dan maaf mengganggu Ibu. Lain kali Sarah akan menemui Ibu lagi untuk mendapatkan informasi terkait rekonstruksi pertokoan Fase VII”
“Silahkan, Sarah. Ibu akan sangat senang memberi informasi yang Sara butuhkan”. Setelah berpamitan Aku pun meninggalkan Ibu Armis. Sapaan kiri kanan pedagang menawarkan dagangannya mengiringi langkahku meninggalkan pelataran pertokoan Fase VI yang sepi pengunjung. Keluhan Ibu Armis tidak hanya membangkitkan penasaranku tentang apa yang ia alami, tetapi kekhawatiran kalau-kalau rekonstruksi pertokoan Fase VII justru akan mengancam PKL sekitar untuk mendapatkan hak mereka mencari penghidupan.
Kembali Mengunjungi Ibu Armis
Di tengah puasa dan cuaca terik, suara Ibu Armis masih terdengar nyaring menawarkan setiap pengunjung pasar yang melewati lapak nya. Ada yang hanya berlalu atau singgah untuk sekedar melihat-lihat dagangannya. Sekarang, tubuhku sejangkal lebih dekat di hadapan Ibu Armis. Aku menarik telapak tangan kananya, dan memberi salam. Kami pun duduk didepan lapak jualan dengan dua bangku berukuran sedang. Ibu Armis, perempuan 54 tahun ini tidak pernah bercita-cita sebagai pedagang kaki lima. Namun nahas, empat belas tahun lalu Sumbar dilanda gempa berskala 7,8. Memaksa ia harus menerima PHK sebagai karyawan sebuah toko di Pasar Raya Padang. Dengan bekal modal dari tempat bekerja sebelumnya, Ibu Armis memilih untuk melanjutkan berjualan pada lokasi eks penampungan pedagang korban gempa yang dibangun pada lahan perparkiran di Jalan Pasar Raya.
Bersamaan selesainya rekonstruksi yang ditindaklanjuti dengan penempatan kembali pedagang korban gempa pada bangunan baru, eks lokasi penampungan dikembalikan menjadi lahan parkir. Malangnya, untuk dapat menempati tempat tersebut, Ibu Armis harus membayar sejumlah uang kepada pengelola parkir yang biasa dipanggil Ucok. Saat itu, baginya yang terpenting adalah kembali mencari sesuap nasi dan untuk biaya sekolah anak.
Penempatan lokasi berjualan tidak berjalan mulus. Pada tahun 2018, tanpa seizinnya, lokasi yang sedang ditempati Ibu Armis ditempati pula oleh Ena dan mengusir dirinya dengan alasan lokasi tersebut telah dibeli Ena kepada istri Ucok.
“Ibuk sedih sekali waktu tempat jualan kami dijual lagi oleh sipemilik, padahal kan tempat itu masih jadi hak pakai kami. Ibuk sudah mencoba berbicara baik-baik, tetapi mereka malah memusuhi ibuk. Karena keadaanya sudah tidak bagus, ibuk berencana pindah saja dan meminta uang sewaan itu dikembalikan, tapi yang lebih sakit lagi mereka tidak mau kembalikan uang yang sudah terlanjur kami bayar lunas” Akibat pertengkaran atas jual beli tempat dagangan yang sedang ditempati Ibu Armis, para pembeli pun enggan datang karena merasa tak nyaman sebab setiap hari pasti ada saja pertengkaran yang dialaminya. Agar Ibu Armis pergi meninggalkan tempat tersebut.
Terik panas ikut menyimak kisah kelam tentang sewa tempat berjualannya. Ia bercerita sembari ditemani oleh pasar yang lengang pengunjung, sebab sejak Covid melanda, ekonomi pun sedang dalam masa pemulihan. Dari hasil berjualan barang harian, seperti celana dalam, singlet, handuk dan pakaian anak, ia hanya mendapatkan omset sebesar Rp. 250.000,00 perhari, belum lagi harus mengeluarkan uang jasa pengakut barang dan gaji karyawannya. Yang lebih sedihnya, Ibuk Armis tak jual beli karena sepi, karena semua orang lebih suka menghemat untuk kebutuhan makan. Namun Ibu Armis tak pernah putus asa untuk menggelar dagangannya. Ia harus memutar otak untuk pembeli beras, lauk pauk, dan menyicil hutang guna modal jualan.
Sebelum Berjualan di Pelataran Fase VII
Menceritakan kisahnya sebelum berjualan di lorong pertokoan Fase VII, bahwa menanggapi kasus yang ia alami, Dinas Perdagangan Kota Padang melalui SK-4 telah mengambil kebijakan dengan membagi dua lokasi antara Ibu Armis dan Ena, namun tidak diterima Ena. Sikap Ena sangat diduga mendapat dukungan dari oknum yang mengaku sebagai pengurus salah satu organisasi PKL Kota Padang. Di samping upaya penyelesaian melalui Dinas Perdagangan Kota Padang, sesuai saran SK-4, Ibu Armis mengadukan tindakan Ida Sinurat (Istri Ucok) kepada POLRESTA Padang dengan surat laporan No STTL 2486/K/XII/2017 SPKT-UNIT I 14 Desember 2017 dengan terlapor Ida Sinurat, namun sampai saat ini belum ditindaklanjuti sebagaimana mestinya.
Keberuntungan atas kesabaran Ibu Armis membuahkan hasil. Untuk menghindari pertengkaran dengan Ena ia dapat kembali menyambung hidup, dengan menumpang pada lapak kakaknya. Tentu saja penempatan tersebut tidak gratis. Ia harus membayar kepada pedagang yang sebelumnya menempati lokasi tersebut. Walaupun sudah bisa berjualan kembali, Ibu Armis terus memperjuangkan haknya untuk kembali mendapatkan lokasi berjualan sesuai penempatan Dinas Perdagangan Kota Padang, yang belum membuahkan hasil.
Pada tahun 2022 pedagang Ibu Armi diberitahu Dinas Perdagangan Kota Padang tentang rencana rekonstruksi Fase VII melalui dana APBN. Di samping untuk pedagang toko, rekonstruksi juga diperuntukkan bagi PKL. Terkait rencana tersebut, Dinas Perdagangan Kota Padang menyarankan Ibu Armis bersabar menempati lokasi berjualan kakaknya sampai rekonstruksi bangunan Fase VII selesai. Apa lagi Ibu Armis juga sudah terdaftar sebagai pedagang terdampak rekonstruksi bangunan Fase VII. Tawaran tersebut diterima Ibu Armis. Sebab, hanya dengan itu ia bisa tetap melanjutkan keberlangsungan periuk dapur.
Pada tanggal 3 Maret 2023 Ibu Armis menerima surat edaran Dinas Perdagangan Kota Padang. Surat tersebut intinya menyampaikan bahwa dalam rangka rekonstruksi bangunan Fase VII, PKL diminta untuk pindah ke lantai II bangunan blok III. Perintah tersebut ditolak Ibu Armis bersama-sama dengan PKL lainnya karena lokasi pemindahan dinilai tidak layak. Dengan didampingi PBHI Sumbar, IKAPPI Sumbar, Ketua KUKMI Sumbar dan Pengurus Ikatan PKL eks Perparkiran Mata Hari, Ibu Armis mendatangi UPTD Pasar Raya Padang dan bertemu KABIDPRAS Dinas Perdagangan serta berkirim surat kepada Wali Kota Padang meminta pembatalan pemindahan dan hanya melakukan penggeseran. Permintaan tersebut dipenuhi setelah perwakilan pedagang dipertemukan Dinas Perdagangn Kota Padang dengan pihak pemenang tender pembongkaran. Rencana Dinas Perdagangan Kota Padang yang sebelumnya melakukan pemindahan disepakati hanya melaksanakan penggeseran.
Sesuai kesepakatan, pada tanggal 5 Maret 2023 Trantib Dinas Perdagang mulai melaksanakan pemagaran sekaligus membantu pembongkaran dan pemindahan fasilitas berdagang PKL. Alangkah terkejutnya Ibu Armis ketika pembagian relokasi bukan dilakukan Dinas Perdagangan, melainkan oleh Oknum yang diduga pengurus organisasi PKL. Keberadaan KABID Prasarana Dinas Perdagangan Kota di lokasi hanyalah mengawal tindakan oknum organisasi PKL membagikan lokasi yang akan ditempati PKL. Lebih tragis, oleh oknum organisasi PKL tersebut, relokasi hanya dilakukan untuk oknum-oknum yang menyewakan lokasi dan bukan untuk pedagang existing sebagaimana yang dinyatakan Dinas Perdagangan.
Terhadap kondisi tersebut, Ibu Armis dan PKL existing lainnya dengan didamping PBHI Sumbar melakukan protes kepada KABID Prasarana dan Kepala UPTD Pasar Raya Padang dengan memperlihatkan foto kopi izin berjualan pihak yang menyewakan lokasi sudah berakhir pada tahun 2008. Menaggapi protes tersebut, keesokan harinya kepala UPTD turun langsung membagikan lokasi penempatan pedagang existing.
Penempatan tersebut ternyata belum bisa membuat Ibu Armis dan beberapa PKL berjualan dengan tenang. Ibu Armis menceritakan bahwa ia berkali-kali ditemui oknum-oknum yang mengaku pengurus organisasi PKL agar mendaftar menjadi anggota dan membayar iyuran organisasi sejumlah RP. 3.000 /hari. Permintaan tesebut ia tolak. Terakhir, Ibu Armis dan pedagang yang tidak mendaftarkan diri terus ditagih uang sejumlah Rp.3.000/hari sekalipun tidak menjadi anggota organisasi PKL dengan alasan bahwa organisasi tersebut telah mengurusi penempatan pedagang.
Cuaca yang tadi terik sudah ditutupi awan gelap. Terlihat akan turun hujan. Lorong pelataran pertokoan Fase VI sudah menjadi gang mati. Tak satu pun pengunjung melewatinya, kecuali buruh angkat dan pedagang yang berkemas menyimpan dagangan mereka.
“Begitulah nak, perjuangan mencari nafkah. Ibuk sudah melewati banyak persoalan, tapi bersyukur bisa melaluinya hingga bertahan lebih kurang 11 tahun di Pasar ini”
Ia menepuk pelan punggungku sembari menarik napas.
“Berjualan itu harus sabar dan berlapang dada, biar berkah”
Kata penutup Ibu Armis terus menjadi kawan pulangku menuju rumah untuk siap-siap berbuka puasa.
***
Cuaca tampak tak bersahabat, namun lapak para pedagang kaki lima tak surut membentangkan dagangannya. Aku kembali berkunjung ke salah satu PKL di Pasar Raya, tepat di jalan Permindo, jalan yang pernah menjadi tempat perlawanan demi mencari sesuap nasi para pedagang, yang hampir setiap waktu dipadati mobil Satpol PP Kota Padang. Namun untungnya solusi ditemukan setelah Pemko menetapkan regulasi waktu, di mana para pedagang Permindo boleh berjualan tepat pukul 14.00. Hari ini bertemu salah satu PKL Perempuan, ia berjualan Jam tangan, ketika berkunjung ada dua orang yang menawar dagangan miliknya, namun seperti yang terlihat, tak berlangsung lama si Ibu ternyata baru saja pacah talua. Panggil saja beliau dengan sebutan Ibu Pejuang, sedari umur 15 tahun ia sudah berdagang membantu orang tuanya, yang dulu bertempat di gang KUKMI, setelah enam belas tahun berlalu ia memutuskan pindah ke Jln Permindo dikarenakan gang KUKMI tak lagi menjanjikan untuk bisa mencukupi pembeli beras. Hari ini, (01/04/2023) sudah enam belas tahun pula ia berjualan di Jalan Permindo. Tempat yang sudah ditetapkan oleh Dinas Perdagangan, ia masih bertahan meski sehari cuma membawa pulang dua lembar uang kertas senilai Rp.200.000,00 Itu pun ia harus membayar tukang angkat barang sebesar Rp. 25.000,00 dan gaji karyawannya perhari Rp. 50.000,00 jadi ia hanya membawa pulang uang sebanyak Rp. 125.000,00 untuk menyambung hidup.
Tak hanya persoalan sepi pembeli, Ibu Pejuang kerap didatangai oleh seorang oknum Organisasi PKL, mereka memaksa untuk membayar iyuran 3000 perhari. Tetapi karena Ibu Pejuang tidak bergabung kedalam organisasi, ia enggan membayar.
“Saya bukan anggota dari Organisasi KB PKL, yang menempatkan lokasi jualan saya itu orang Dinas Perdagangan. Jadi jangan paksa saya untuk wajib membayar iyuran 3000/hari. Tidak ada hak KB PKL untuk memaksa saya membayar. Belum berdiri organisasi ini, saya sudah diizinkan berjualan oleh Dinas”
Ia menolak bergabung karena tak adanya transparasi soal iyuran yang dikumpulkan oleh Organisasi PKL tersebut, penolakan ini pun berujung kepada ancaman. Oknum Organisasi PKL ini kemudian memberi tanda silang (26/03/2023) bewarna merah bertanda tidak diperbolehkan berjualan karena si Ibuk tidak membayar ADRT sesuai keinginan Organisasi PKL. Namun ancaman dan gangguan atas iyuran yang kerap memaksa ia ikut membayar, tak membuat ia takut, karena Organisasi tidak bersifat memaksa, dan Ibuk Pejuang belum melaporkan kejadian ini kepada Dinas Perdagangan
“Selagi ibuk masih bisa berjualan, ya biarkan saja mereka. Jika mereka datang dan mengacam, ya kita lawan lagi” tuturnya.
Ketua Organisasi KB PKL Pasar Raya Padang
Usai menemui dua orang Pedagang Kaki Lima (01/04/2023), untuk mengkonfirmasi terkait keresahan mereka dengan adanya pemaksaan iyuran serta relokasi, sesuai dengan keluhan PKL ketika liputan berlangsung, Aku berkunjung ke Kantor Hukum Organisasi Keluarga Besar Pedagang Kaki Lima Kota Padang (KBPKL) untuk menemui ketua KB PKL. Organisasi yang ada di salah satu Kota Padang tepatnya berada pada jantung pusat. KBPKL Kota Padang berdiri tidak lain dengan tujuan agar dapat saling membantu para pedagang kaki lima di Pasar Raya Padang dalam hal ekonomi.
Setelah memberikan pesan Ketua KBPKL,Idman, kami pun bertemu dilantai dua tepat dimana KB PKL itu berada. Terkait relokasi, Idman, Ketua KB PKL sepakat dengan kebijakan yang dilakukan oleh dinas perdagangan.
“Saya tahu, bahwa ada banyak orang yang tidak suka dengan keberadaan KB PKL, termasuk orang DPRD sendiri yang banyak memusuhi saya”
Namun ketika ditanyakan bagaimana perlindungan KBPKL terhadapan PKL yang menjadi korban relokasi, ia menjawab bahwa itu adalah tugas Dinas Perdagangan. Ketika ditanyakan tentang adanya pemaksaan terhadap PKL untuk wajib bergabung kedalam Organisasi KB PKL dan pemaksaan iyuran 3000/hari tersebut, ia enggan menjawab.
“Bapak ini sudah senior, ini. Bapak sudah tua di lapangan, jangan dipermainkanlah bapak ya” Idmanpun pun bergegas pergi dengan enggan menjawab terkait pemaksaan iyuran terhadap PKL yang tidak bergabung kedalam Organisasi KB PKL.
PBHI SUMBAR
Selesai berbuka aku mendatangi lokasi tempat tinggal (29/04/2023) salah seorang anggota PBHI Sumbar selaku kuasa hukum dan pendamping Ibu Armis dan kawan-kawan sebagai PKL. Ia biasa dipanggil Ibu An. Setelah meceritakan maksud kedatanganku, dan persoalan yang dialami Ibu Armis serta pedagang lainnya, Ibu An membenarkan apa yang dikeluhkan Ibu Armis. Menurut Ibu An, pedagang dengan didampingi PBHI Sumbar sudah menyampaikan apa yang dikeluhkan Ibu Armis dan kawan-kawan kepada Dinas Perdagangan.
“Secara lisan aduan kami sudah ditanggapi Dinas Perdagangan Kota Padang dan bahkan kepada SEKDAKO Padang dan berjanji akan menindaklanjutinya sesuai peraturan yang berlaku, namun faktanya PBHI tidak melihat adanya upaya nyata yang dilakukan. Dinas Perdagangan Kota Padang bahkan dengan tegas menyampaikan kepada pedagang bahwa tidak ada paksaan untuk bergabung kedalam sebuah organisasi, apalagi membayarkan uang kecuali retribusi kepada petugas.
DINAS PERDAGANGAN
Melalui telepon (30/03/2023), aku menghubungi KADIS Perdagangan Kota Padang Bapak Drs. Syahendra Barkah untuk mengkonfirmasi keluhan Ibu Armis dan kawan-kawan. Menanggapi konfirmasi tersebut, Kepala Dinas mengaku tidak mengetahui adanya pemungutan yang dikeluhkan Ibu Armis dan kawan-kawan. Begitupun ketika dikirimkan dua bukti berupa foto lapak pedagang yang mendapatkan dua tempat untuk satu orang, Kadis tidak menanggapi akan hal ini.
“Bahkan kami saja mengeluarkan kebijakan untuk tidak dulu memungut retribusi, Kami juga belum pernah dapat laporan tentang hal ini” tegasnya.
Namun mengenai relokasi, Kepala Dinas Perdagangan Kota Padang mengakui bahwa persoalan lokasi pemindahan pedagang, memang kurang memadai.
“Itu kami akui, karena memang ini hanya merupakan tempat sementara menjelang bangunan baru selesai dibangun. Namun kami tetap mengupayakan semaksimal mungkin untuk menjadikan tempat itu layak” akunya.
Kepala Dinas Perdagangan juga menjelaskan bahwa ia terus berkoordinasi dengan pengurus pedagang agar apa yang jadi keinginan pedagang akan semaksimal mungkin dilaksanakan sesuai kemampuan keuangan yang ada.
“Saya berharap Pedagang harus bersabar dahulu, nanti mereka juga akan mendapatkan sarana yang jauh lebih representatif ketika bangunan baru”. Telepon pun berakhir.