RUU Penyiaran 2024 melahirkan kontroversial dari beberapa pasal dalam suatu draf yang telah dibuat. Sebab, pasal yang dirancang akan mengucilkan peranan Pers hingga dapat menggangu proses demokrasi. Tentunya, rancangan ini harus terus dikawal agar kebebasan Pers dapat terus menjadi sarana penting bagi khalayak luas. Bagaimana tidak, peranan Pers dapat terus menjadi dampak yang baik bagi masyarakat dalam menyebarkan informasi terhadap kondisi ataupun situasi negara. Pers dapat disebut sebagai pengawas bagi kalangan para petinggi negara terhadap kinerja yang dilakukannya. Hal ini terus terjalankan apabila kebebasan Pers tidak digangu gugat dan tetap terus berjalan sebagaimana mestinya.
Penulis menginginkan agar kebebasan Pers tidak diganggu gugat dan menjadi perhatian publik penting terhadap draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran. Kepedulian kita tidak boleh lepas dari proses jalannya demokrasi di negara kita. Tulisan ini memberikan pokok penting yang perlu menjadi sorotan dari beberapa pasal yang telah dirancang. Mengingat ancaman dalam mengkritik negara yang sudah pernah terjadi pada masa orde baru.
Sangat perlu menyoroti RUU Penyiaran pada pasal 8A Ayat (1) Huruf q yang berbunyi “menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang Penyiaran”. Kekuatan dari pasal tersebut dapat bertentangan pada UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers yang berkaitan dengan fungsi Dewan Pers. Artinya, adanya campur tangan dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam penyelesaiana sengketa jurnalistik. Sehingga menimbulkan kekhwatiran dari penulis terhadap independensi pers dan pengawasan dalam pelaksanaan Kode Etik Nomor 40 Tahun 1999 Jurnalistik (KEJ).
Padahal sudah tertuang dalam UU Tentang Pers pasal 15 ayat (2) huruf c yang sudah dijelaskan bahwasanya, Dewan Pers mempunyai hak untuk mengawasi dan menetapkan pelaksanaan KEJ. Sudah jelas, tidak ada lembaga yang dapat mengawasi ataupun berperan yang sama dalam mengawasi KEJ. Tentunya, hal ini sangat bertabrakan terhadap UU yang sudah ditentukan sebelumnya.
Tidak kalah menariknya, larangan penayangan jurnalisme yang bersifat investigasi tertulis dalam draf RUU Penyiaran pada pasal Pasal 50 B Ayat 2 Huruf c yang berbunyi “larangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi”. Hal bertabrakan dengan ketentuan pasal yang dapat mengancam kemerdekaan pers yang sudah diatur dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 pada Pasal 4 Ayat 2 yang berbunyi “Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran”.
Sedangkan pada draf RUU Penyiaran Pasal 50 B Ayat 2 Huruf K tertuliskan “penayangan Isi Siaran dan Konten Siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, pencemaran nama baik, penodaan agama, kekerasan, dan radikalisme-terorisme,”. Pasal ini bersifat subjektif dan dapat multitafsir dalam menyakutkan penghinaan dan pencemaran nama baik. Hal ini dapat sangat dipergunakan sebagat acuan dalam membungkam dan mengkriminalisasikan jurnalis/pers dalam bidang siaran.
Berbagai pasal dinilai akan menyebabkan kontroversial yang dapat berpengaruh bagi khalayak luas. Bagaimana tidak, penyusunan RUU Penyiaran bisa dibilang catat prosedur karena tidak adanya melibatkan masyarakat komunitas pers. Bahkan Dewan Pers menolak keras draf RUU Penyiaran tersebut. Karena akan menyebabkan tidak adanya independensi pers. Mungkin saja, Pers tidak dapat menunjukkan sikap profesionalnya yang merupakan efek dari RUU Penyiaran ini.
Oleh karena itu, penulis menginginkan agar draf RUU Penyiaran terus dikawal agar kebebasan Pers dapat terus dirasakan dari berbagai kalangan. Meskipun saat ini Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menunda tentang pembahasan RUU Penyiaran. Namun, kasus ini perlu terus dikawal dan diperhatikan guna khalayak luas mengetahi apa yang sebenarnya yang terjadi di negeri ini. Seharusnya hukum berjalan untuk mendapatkan kesejahteraan dan keadilan rakyat. Bukan sebaliknya membungkam kebesasan dalam berekspersi dan lain sebagainya.
Sistem negara yang sudah disahkan oleh UU masih saja dijadikan senjata untuk menjeroboskan Rakyat ke penjara dengan alasan pencemaran nama baik dan lainnya. Tidak terbanyangkan seandainya RUU Penyiaran disahkan. Maka akan adanya pembatasan dalam kebebasan pers, kontroversi, perubahan dalam penyiaran sampai kekhawatiran publik.
Maka dari itu, marilah kawal RUU Penyiaran ini agar diatur sesuai kebutuhan rakyat. Bukan diatur bagi mereka berdasarkan kehendak pengatur. Kewenangan sebijak dilaksanakan berdasarkan fungsinya sebagaimana mestinya, tidak sebaliknya.