Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) merayakan peringatan ulang tahun yang ke-25 di Taman Aspirasi depan Istana Presiden, Jakarta (20/4). Sejak didirikan pada 20 Maret 1998 hingga kini KontraS terus konsisten menyuarakan demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM) dan membersamai entitas gerakan masyarakat sipil lainnya. Dalam rangka memperingati HUT ke-25 , KontraS memberikan catatan permasalahan HAM yang didasarkan pada pengalaman advokasi dan hasil risetnya pada periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Dalam rilis KontraS ada empat poin catatan yang diangkat. Poin pertama menjelaskan bahwa ada 16 kasus Pelanggaran HAM Berat yang disidangkan hanya empat kasus yaitu kasus Timur-Timur, Tanjung Priok, Abepura dan Paniai. Pada keempat kasus tersebut para seluruh terdakwa pada akhirnya divonis tidak bersalah atau bebas. Dalam hal ini KontraS menilai bahwa Jaksa Agug tidak serius dalam melakukan penuntutan dan menghadirkan alat bukti dalam persidangan Pelanggaran HAM Berat dan proses peradilan hanya formalitas belaka. Kemudian catatan poin pertama tersebut KontraS menyinggung Prabowo Subianto dan Wiranto terduga pelaku pelanggatan HAM justru diangkat menduduki jabatan strategis dan Eurico Guterres bekas terdakwa pelanggaaran HAM Berat Timur-Timur justru diberi Bintang Jasa oleh Presiden, begitu juga Untung Budhiharto juga diangkat menjadi Panglima Komando Daerah Militer Jakarta Raya.
Catatan poin kedua, KontraS melihat bahwa UU No. 11 Tahun 2008 yang diubah menjadi UU No. 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menjadi alat negara untuk membungkam dan memenjarakan ekspresi khususnya para pembela HAM. Kemudian, UU No.1 Tahun 2023 Tentang KUHP yang memuat pasal-pasal problematis dan anti demokrasi. Begitu juga UU Cipta Kerja dan Perpu Cipta Kerja yang memberikan karpet merah bagi investor dan tidak berpihak kepada pemenuhan hak kelas pekerja.
Catatan poin ketiga, KontraS mencatat bagaimana impunitas masih langgeng pada berbagai lini penegakkan hukum. Salah satunya adalah peristiwa dibebaskannya anggota polisi yang terlibat pada kasus tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 135 supporter Arema FC. Begitu juga poin empat di mana peristiwa Pelanggaran HAM Berat yang terjadi di Abepura dan Paniai bahwa para pelakunya pun divonis bebas semakin menjelaskan wajah impunitas yang ditunjukkan secara gamblang dan nyata. Kemudian, KontraS mencatat ada 60.000 warga diduga telah mengungsi dan masih bertahan di pengungsian akibat konflik bersenjata di Papua. KontraS menilai pemerintah justru memperpanjang operasi bersenjata seperti operasi Nemangkawi dan Operasi Damai Cartenz dan menambah personel ke Papua ketimbang melakukan pendekatan dialog.
Dalam aksinya, KontraS dan masyarakat sipil yang tergabung membuat kotak surat raksasa yang tertulis Kotak Surat Untuk Keadilan. Kotak Surat tersebut merupakan simbol meneruskan pesan kadilan yang mana cita-cita keadilan tersebut dari reformasi hingga kini belum tercapai.
Fathia kordinator Kontras mengatakan di era reformasi ini masih dilimitasi atau dibatasi kebebasan ekspresinya. Fathia juga mengatakan bagaimana Keppres No. 17 Tahun 2022, Keppres No.4 Tahun 2024 dan Inpres No. 2 Tahun 2023 yang dikeluarkan pemerintah merupakan pemberian karpet merah kepada pelaku-pelaku pelanggaran HAM. Sementara itu Fathia selaku koordinator KontraS dan Haris Azhar Mantan Koordinator Kontras ditersangkakan menggunakan UU ITE yang dilaporkan oleh Mentri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marinves), Luhut Binsar Pandjaitan. Laporan ke pembela HAM ini dianggap mereporduksi pola rezim orde baru di mana bagi mereka yang bersuara mengkritik kekuasaan dan membela korban langsung dibungkam, dikriminalisasi bahkan bisa "dihilangkan".
Suciwati dalam orasinya menceritakan bagaimana alm.Munir mendirikan KontraS untuk head to head dengan para penjahat, para pelanggar HAM yang membunuh dan menculik para aktivis yang bergerak melawan penindasan. Suciwati menyinggung bagaimana para terduga pelaku pembunuhan Munir ditempatkan di posisi strategis di pemerintahan, sekaligus ia mempertanyakan pihak-pihak yang terduga ditempatkan poisisinya sebagai tim penyelesaian pelanggaran HAM.
Dalam rilisnya, KontraS mengingatkan pemerintah atas kewajibannya untuk pertama, menjamin penghormatan, dan pemenuhan HAM secara utuh. Kedua, menyelesaikan pelanggaran HAM melalui penyelesaian yang berkeadilan bagi korban dan menjamin ketidakberulangan peristiwa di masa mendatang. Ketiga, melakukan reformasi institusi keamanan secara serius. Keempat, agar pemerintah menghentikan jalan-jalan militerisme, dan menjadikan HAM sebagai salah satu unsur yang penting dalam pengambilan kebijakan.