Penulis: Fauzi
Kini perkuliahan sudah usai, beberapa mahasiswa langsung menuju tempat peristirahatan untuk kemudian melanjutkan pelajarannya atau juga mengerjakan 1-2 tugas baik penugasan kuliah atau dari tempat kerja. Bukan hal yang asing jika ada mahasiswa yang mengambil satu-dua pekerjaan di luar kegiatan belajar mereka. Mengingat saat ini keadaan ekonomi sedang buruk, kenaikan harga pangan dimana-mana, serta dicabutnya subsidi oleh dewan-dewan yang bergelar "Gotong Royong".
Namun bagi saya dan teman-teman, kami kembali ke ruang kuliah kampus Rawamangun. Bukan untuk ikut kelas malam, atau pelajaran tambahan. Tapi ya bisa dikatakan pelajaran tambahan juga, kami yang bergabung di klub debat menyisihkan barang waktu 2-3 jam setelah perkuliahan untuk berdiskusi bertukar pikiran akan beberapa hal yang kami rasa layak untuk didiskusikan.
Seperti biasa pentolan klub debat, Soe memimpin diskusi kali ini. Segera setelah seluruh anggota memasuki ruangan, kami menyusun bangku berbentuk setengah lingkaran dengan satu bangku diposisikan berada ditengah. Sehingga semua anggota dapat melihat si pemimpin yang tak lain ialah Soe, dan ia dapat melihat semua anggota hingga dapatlah kami bertukar pikiran secara langsung.
Bahasan kami kali ini berkutat tentang film yang ditayangkan di awal minggu di aula kampus. Jika tak salah ingatan ini, film tersebut berjudul The Fifth Horseman Is Fear.
Tiba-tiba teringat celetukan salah satu teman kami selepas pemutaran film, "Bung, oit! Ndak ngerti aku tuh sama filmnya. Kan di judulnya penunggang kuda (horseman), koboi toh. Kok ndak ada tembak-tembakannya loh?" Tentu pertanyaan tersebut bukan menemui jawaban. Lantang, Soe, dan lainnya merespon dengan tawa. Bahkan Sinyo tak kalah kurang ajarnya menyahut, "Makanya kalau menonton kaki elu dilurusin, jangan ditekuk. Peredaran darah elu jadinya engga lancar."
"Loh apa hubungannya ndo, makin ra' ngerti akunya?"
"Kan otak elu di dengkul." sontak jawaban pamungkas Sinyo memecah tawa lebih-lebih lagi di aula kampus sore itu.
Dalam film yang berdurasi 100 menit itu menceritakan dilema Dr. Braun, seorang dokter yang dilarang untuk membuka praktik. Dalam kesehariannya ia mendapat tugas menjaga gudang oleh pasukan NAZI kala pendudukan Jerman atas Cekoslovakia. Suatu hari datanglah padanya seorang pejuang kemerdekaan padanya untuk meminta bantuan untuk melakukan pengobatan atas luka yang ia derita.
Di sanalah terjadi pergolakan batin sang tokoh utama. Sebagai seorang dokter tentu ia berkewajiban untuk mengobati siapa saja yang terluka. Namun ditilik dari kondisinya yang sekarang, ia hanya seorang penjaga gudang. Dan menolong pejuang, atau lebih tepatnya pemberontak pendudukan Jerman adalah sebuah bentuk pengkhianatan dan dapat dijatuhi hukuman berat dengan dalil membantu pemberontakan.
"Saya bukan seorang dokter, saya hanyalah seorang penjaga gudang dan oleh karena itu bukanlah kewajiban saya untuk menolongnya," katanya.
Segala keputusan yang nantinya ia ambil tentu akan sangat berpengaruh padanya. Jika ia membantu sang pejuang maka keselamatan dirinya akan terancam, jika ia tak membantu maka ia sudah melanggar prinsip seorang dokter yang sudah ia pegang selama bertahun-tahun. Setelah melewati konflik batin yang panjang, ia pun memutuskan 'tuk menolong sang pejuang.
Dan benar saja, beberapa hari kemudian datanglah pihak kepolisian yang mendapatkan laporan dari tetangganya akan peristiwa itu. Saat ditanya mengapa ia melakukan hal tersebut ia menjawab, "A man is as think, you can't change it" (Seorang manusia adalah seperti yang dipikirkannya, kau tak dapat mengubahnya.). Ia memilih berpegang teguh pada pendiriannya sebagai dokter, juga pada kemanusiaan.
Kembali ke aktivitas klub debat, berbagai pandangan ditawarkan masing-masing mahasiswa. Sebagian besar bersepakan dan memberi persetujuan atas tindakan sang tokoh utama, sebagian lainnya tidak. Pemikiran saling bersahut-sahutan, ada seorang yang mengaitkan dengan kondisi Indonesia kala paruh akhir abad silam. Kala seorang asisten residen Lebak, Eduard menjatuhkan pilihannya pada kemanusiaan kala memprotes adanya penindasan pribumi lewat sistem tanam paksa.
Padahal dalam posisinya sebagai ambtenaar (pegawai pemerintah) , ia memiliki tugas untuk melaksanakan segala tugas dari atasan. Tapi yang ia lakukan justru berkebalikannya, sampai dikemudian hari ia tak bisa mentolerir realita penindasan dan mundur dari jabatannya. Dan seperti yang sudah sejarah catat, ia menuliskan segala realita dihadapannya lewat karangan yang berjudul "Max Havelaar" dengan nama pena Multatuli.
"Persoalan yang dilontarkan pada kita oleh film ini adalah persoalan kemanusiaan. Dan sebagai manusia kita dihadapkan oleh pemilihan-pemilihan yang meragukan. Sebelum melakukan sesuatu kita harus menanyakan pada diri kita sendiri: "Siapakah saya?" Dan jawaban kita menentukan pilihan-pilihan kita." kini Soe mulai angkat bicara soal pendapatnya terkait film tersebut.
"Sang dokter tadi juga harus menjawab pertanyaan besar ini. Jika ia menyatakan hanya seorang penjaga gudang (profesi resminya) maka soalnya selesai. Demikian pula halnya dengan tetangganya yang melaporkan pada polisi. Jika ia memutuskan ia hanyalah warga yang harus patuh pada polisi maka tindakannya adalah benar. Tetapi jika ia menyatakan bahwa dirinya adalah manusia Cekoslovakia yang harus membantu perjuangan bangsanya, soalnya sangat berubah. Kitalah yang menentukan diri kita dalam menentukan pilihan-pilihan." lanjutnya
Suasana ruang kelas yang sedari tadi riuh oleh berbagai pendapat kini hening. Hanya terdapat suara Soe yang berbincang menyampaikan pemikirannya pada rekannya. Dan inilah yang membuat banyak dari kami begitu menghormati dirinya. Pemikiran yang cerdas dan lugas disampaikan dengan gaya bicara yang santun dan bersahaja. Pintar tanpa menggurui, itulah yang membuat banyak dari kami (mungkin semua) begitu mendengarkan dirinya.
"Ya saya cuma bawahan kecil yang hanya menurut perintah atasan. Jika atasan saya bilang X maka saya harus patuh. Bisa saja sang tokoh utama berkata demikian seperti sang tetangga ketika ditanyakan mengapa ia melaporkan adanya pejuang kemerdekaan terluka di rumahnya kepada pihak kepolisian. Dengan demikian, maka sang tokoh utama kita tadi telah menentukan dirinya sebagai manusia kecil dan ia tak pernah berkembang menjadi MANUSIA dengan 'M' BESAR." tutup Soe yang juga menjadi penutup aktivitas klub debat malam itu.
*Kutipan perkataan tokoh Soe adalah potongan tulisan "Siapa Saya" Soe Hok Gie (Dokumentasi Arief Budiman)