“Ekosistem perlawanan untuk pembebasan Palestina dari keterindasan yang struktural dan sistematis itu sebenarnya inklusif, baik secara identitas apalagi ideologi”, Ujar Uri Gordon, sahabat sekaligus guru ilmu sosial bagi saya yang masih awam perihal geopolitik timur tengah di ruang club house lima hari sebelum meledaknya konflik Israel vs Palestina.
Uri bukanlah seorang muslim apalagi ber-etnis arab. meskipun dia berjenggot, tidak makan babi, fasih berbahasa arab, dan terkadang memakai celana cingkrang yang menjalankan sunnah itu dirinya tetaplah seorang Yahudi, bahkan keluarganya pendukung dan pengurus dari partai Likud yang terkenal kuat dengan gagasan ekstrim kanan.
Akan tetapi, sejak berkenalan dengan pemikiran-pemikiran kiri, dirinya memilih jalan berbeda dalam soal ideologi, pemikiran, maupun tindakan. Baginya entitas Israel yang sering mendaku mewakili kepentingan umat Yahudi itu berkontradiksi dengan ajaran Yahudi sendiri, karena berperan besar melalukan penindasan struktural dan sistematis terhadap warga Palestina bahkan kelompok Yahudi yang berbeda pandangan.
Dirinya juga memandang Israel hanyalah perpanjangan kebiadaban kekuataan Imprealis dan Kolonialis di wilayah Timur tengah dengan menggunakan generasi muda Yahudi untuk terjun ke medan laga saling membunuh atas nama nasionalisme.
Jauh sebelum dirobohkannya pagar pembatas Israel di Jalur Gaza oleh gerilyawan Hamas dan front perjuangan lainnya pada 7 oktober lalu, sejak tahun 2003 hingga kini Uri bersama rekan-rekan anarkisnya yang di Indonesia selalu dijadikan kambing hitam dalam frasa maupun perilaku yang bersinonim dengan kekerasan dan ketidakaturan itu mendirikan kelompok bernama “Against the wall”.
Kelompok Against The Wall merupakan gerakan anarkis, kultur pengorganisasiannya bersifat non-otoriatirian artinya tidak memilki struktur pemimpin dan yang di pimpin hal ini tentu memperkecil dikotomi junior-senior yang berujung intervensi selepas purna dan mencetak oknum senior “ Halo adek” serta menghindarkan gerakan menjadi the next event organizer (EO). Metode perjuangan yang digunakan bersifat non kompromis dengan aksi langsung, agitasi kesadaran kelas merupakan keutamaan propaganda yang mereka jalankan, dan selalu menguatkan solidaritas perjuangan dengan masyarakat Palestina dan Israel yang memiliki kesadaran yang sama.
Sejak 2003 hingga sekarang, kelompok ini sangat aktif mengorganisir demonstrasi sembari merusak Checkpoint dan pagar pembatas yang dibuat oleh otoritas Israel di tepi barat dan jalur Gaza. Gerakan ini pula mendapat dukungan dari sel-sel front kiri di kalangan rakyat Palestina. Bagi Israel, eksitensi gerakan yang sebagian besar anggotanya merupakan orang Yahudi sendiri dianggap sebagai musuh dalam selimut.
Label pengkhianat melekat dengan mereka, bahkan otoritas Israel tidak segan-segan untuk melakukan aksi kekerasan terhadap kelompok ini meskipun mereka merupakan warga negara mereka sendiri. Pada tahun 2006, Limor Goldstein salah satu aktivis kelompok ini ditembak di mata kanannya oleh pihak keamanaan Israel saat mencoba merobohkan pagar pembatas di wilayah Bil’in “Dibutuhkan waktu dua jam lebih untuk mengevakusi Limor, karena pihak keamanan Israel menghalangi-halangi ambulan” Kata Uri.
Cacat permanen kemudian dialami oleh Limor hingga kemudian pada tahun 2009 pihak pemerintah membayar kompensasi sebesar 3.25 juta Shekel kepadanya. Namun menurut salah seorang aktivis Anarchist The Wall kepada saya, pemberian kompensasi ini bukanlah kemenangan tetapi tindakan yang mempertegas posisi Israel sebagai penindas bahkan kepada warganya sendiri. Tentu Limor masih beruntung menerima kompensasi yang tidak akan pernah dirasakan oleh banyak warga Palestina yang terbunuh, terusir, cacat permanen, maupun trauma akibat konflik berkepanjangan.
Sependek pengamatan saya, hanya kelompok Yahudi Orthodox saja yang selalu disorot di Indonesia sebagai kelompok dari kalanngan Yahudi yang melawan Israel. Berbeda dari kelompok orthodox yang mendasarkan pembelaan pada pemahaman agama, kelompok kiri mendasarkan pembelaan pada persoalan perang kelas dan rasa muak dengan neo-imprealisme dan kolonialisme yang dibentuk oleh kapitalisme. Dalam konteks perang yang terjadi saat ini dan nanti, mengkaji pendirian dari perjuangan rakyat Yahudi sendiri yang melawan penindasan Israel khususnya yang terafiliasi dengan kelompok kiri adalah sesuatu yang cukup menarik untuk disorot perihal bagaimana pandangan kelompok Yahudi yang berafiliasi dengan gerakan Anarkis dalam konflik Palestina dan Israel.
Tidak menyetujui solusi dua negara
Pada dasarnya semua front kiri dari kalangan Yahudi sepakat pada persoalan penindasan berkepanjangan di tanah yang mereka tinggali harus diakhiri dengan cara-cara yang adil dan taktis sehingga tidak terjebak ke dalam neo-kolonialisme dan neo-imprealisme.
Namun perbedaan mendasar antara kelompok anarkis Yahudi dan front kiri Yahudi yang lain adalah pada persoalan eksistensi negara. Bgi kelompok anarkis, eksistensi negara itu memuakkan, baik itu sebagai Israel maupun Palestina apalagi solusi dua negara, bagi mereka sangat tidak diperlukan karena hanya memperpanjang penindasan dalam bentuk lain.
Kelompok ini sebenarnya merilis buku yang berjudul Anarchists Against the Wall: aksi langsung dan solidaritas dengan front perjuangan palestina pada tahun 2013, di dalam buku yang ditulis oleh Uri Gordon dan Ohal Grietzer disebutkan pada tulisan Two States for Two Peoples—Two States Too Many jika “Negara Israel dan Otoritas Palestina mencapai kesepakatan “perdamaian”, hal tersebut tidak akan terwujud karena keinginan Israel akan “keamanan” bagi warga negaranya dan keinginan Palestina akan “kemerdekaan.” Hal ini—hanya sekadar— akan menjadi bagian dari konfigurasi kepentingan-kepentingan lain, karena konsep-konsep tersebut asing dalam cara berpikir mereka”.
Bagi mereka membentuk perjuangan yang solid dengan kekuatan lain di seluruh dunia melawan kapitalisme global merupakan hal yang harus diutamakan. Mereka berpendapat selama kapitalisme masih ada selama itu pula setiap perbaikan yang hendak dicapai akan bersifat parsial dan selalu berada dalam ancaman permanen.
Oleh karena itu bagi kelompok Yahudi yang anarkis, seruan untuk perubahan revolusioner dengan menghapus penindasan dan eksploitasi kelas tanpa chauvinisme (nasionalisme sempit) dan nalar kemanusiaan yang melampuai paksaan otoritas lebih diutamakan ketimbang memperkuat entitas negara yang hanya membuka ruang penindasan dari kalangan elit terhadap masyarakat di level bawah.
Konflik terhenti ketika batas ditiadakan
Bagi kelompok ini, pembatas merupakan simbolisme dari penindasan struktural dan sistematis. Anarkis sebagai ideologi ekstrim kiri memang secara umum memandang konsep perbatasan, baik itu berupa bangunan fisik maupun kesepakatan bersama merupakan suatu ilusi dan bukti segresi umat manusia yang harus dienyahkan.
Menurut Uri dan Ohal, masih dalam buku yang sama berpandangan jika rute yang dipilih untuk membangun pembatas sebagian besar melewati wilayah Palestina sehingga menghancurkan ribuan hektar lahan pertanian, memisahkan anak-anak dari sekolah, orang sakit dari perawatan medis, dan orang-orang dari kerabat mereka.
Jalur pembatas yang berbelit-belit ini menciptakan ghetto—daerah kantong yang menghalangi hubungan normal masyarakat palestina yang tinggal desa- desa yang dilewati oleh pagar pembatas itu dengan dunia sekitar. Apalagi dalam konteks ekologis, ribuan pepohonan termasuk buah-buahan banyak ditebang untuk membersihkan jalan tersebut. Dari segi ekonomi, pembatas menghalangi rakyat palestina memperoleh rezeki. Dari segi sosial, memisahkan banyak keluarga. Pemerintah Israel sebenarnya menganggap rute tersebut hanya sebagai tindakan pengamanan, namun Mahkamah Agung Israel dan Mahkamah Internasional telah menyatakan bahwa rute tersebut ilegal dan sangat membahayakan kehidupan penduduk.
Menolak wajib militer
Di Israel, setiap warga negaranya yang sudah memasuki usia 18 tahun keatas wajib mengikuti wajib militer. Berbeda dari wajib militer di negara lainnya yang jarang berkonfrontasi secara militer dengan pihak lawan, di Israel eskalasi konflik selalu ada setiap saat. Akibatnya banyak generasi muda Israel sendiri yang tewas, cacat permanen, dan menderita trauma akibat konflik ini. Tidak sedikit juga yang kemudian menjadi penjahat perang, ketika diperintahkan untuk menembak warga Palestina yang melawan.
Atas nama nasionalisme dan agama menjadi frasa yang di angkat untuk menyuntik semangat mereka ke medan perang. Bagi kelompok anarkis Yahudi, hal ini amat memuakkan saat ada segolongan elit memerintahkan rakyatnya sendiri mati di medan laga sementara mereka akan terus menerus di tampuk kekuasaan dengan memainkan ketakutan yang mereka ciptakan sendiri.
Uri dan kelompoknya sangat menolak untuk terlibat wajib militer, ada banyak Yahudi berhaluan anarkis yang akhirnya ditahan akibat menolak perintah negara. Namun kembali pada ajaran anarkisme, seringkali masalah itu bukan datang dari ketidakpatuhan namun terlalu patuh. Ada praksis bernama pembangkangan sipil atau civil disobedience yang selalu mereka terapkan untuk berhadapan dengan entitas negara.
Untuk mengetahui lebih jauh tentang gerakan ini, dokumenter berjudul di chanel youtube Anar Vid menjelaskan bagaiamana perlawanan mereka. Kelompok ini menggunakan websiter anarchist library sebagai sumber informasi tentang Anarchists Against the Wall melalui tulisan. Sebenarnya ada banyak lagi sel anarkis di Palestina dan Israel dengan caranya sendiri-sendiri seperti yang saat ini popular adalah fauda gerakan yang hadir di tengah masyarakat Arab itu adalah gerakan anarkis yang terdiri dari anarko Israel dan Palestina, yang turut meramaikan agitasi dan insureksi terhadap Zionisme. Dari sini, Indonesia sepatutnya mengambil pelajaran jika perjuangan Palestina harus dinaikkan lagi level kesadarannya bukan semata-mata perihal konflik antar-agama melainkan perlawanan terhadap sistem yang menindas.
Editor: Syahdan
1 Comment
Apakah terdapat upaya untuk mencari kesamaan atau titik temu dalam upaya mengakhiri penindasan? Regards Telkom University