BangsamahardikaBangsamahardika
    Facebook Twitter Instagram YouTube
    • Tentang Kami
    BangsamahardikaBangsamahardika
    • ISU

      Melawan Stigma dan Memperjuangkan Hak Asasi Manusia Penyandang Disabilitas Mental di Pekan Kesehatan Jiwa Sedunia

      October 18, 2023

      Noktah Hitam Kegagalan Ganjar Pranowo

      July 9, 2023

      Noktah Hitam Kegagalan Prabowo Subianto

      July 7, 2023

      Noktah Hitam Kegagalan Anies Baswedan

      July 5, 2023

      PP 26/2023: Ancaman Nyata Terhadap Keberlanjutan Ekosistem Pesisir, Laut dan Pulau Kecil

      June 27, 2023
    • POPULER

      Kerja Sama Negara-Negara Maju dalam Solusi Palsu di G7

      May 30, 2023

      Serikat Pekerja sebagai Sarana Perlawanan Kurir Terhadap Sistem Eksploitatif

      April 25, 2023

      Urgensi Bergabung Serikat Buruh di Jogja: Melawan Ketidakadilan dan Memperjuangkan Upah Layak

      March 22, 2023

      Praktek Eksploitatif Magang di Indonesia

      March 22, 2023

      Pembangunan dan Ketimpangan Hukum Bagi Kaum Papa

      March 6, 2023
    • POLITIKA
      1. PUAN MAHARDIKA
      2. ISU
      3. POLITIKA
      Featured
      POLITIKA

      Pemilu 2024 Antara Taktik dan Tujuan Akhir Pilihan Kita

      By RedaksiNovember 27, 2023017 Mins Read
      Recent

      Pemilu 2024 Antara Taktik dan Tujuan Akhir Pilihan Kita

      November 27, 2023

      Against The Wall: Kelompok Anarkis Yahudi di Israel Pro Palestina

      November 2, 2023

      Merebut Kembali Kedaulatan yang Terampas

      September 29, 2023
    • KULTUR
      1. PROSA
      2. PUISI
      3. ESSAY
      Featured
      KULTUR

      Di Mana Letak “Keadilan” itu?

      By RedaksiSeptember 26, 202301 Min Read
      Recent

      Di Mana Letak “Keadilan” itu?

      September 26, 2023

      Di Balik Pohon Besar Rawamangun

      March 20, 2023

      Manusia Dengan M Besar

      March 20, 2023
    • PUAN MAHARDIKA

      Mengenal Lebih Jauh Peran Perempuan dalam Pergerakan dan Revolusi

      March 8, 2023

      Perempuan Sebagai Korban

      February 21, 2023

      Dua aktivis Thailand Mogok Makan Tuntut Pencabutan Pasal Karet dan Pembebasan Tahanan Politik

      February 12, 2023

      Aksi Solidaritas Untuk Bam dan Tawan

      February 12, 2023
    • SUARA MAHARDIKA

      Refleksi Transisi Demokrasi 25 Tahun Reformasi

      May 22, 2023

      Diskusi Terbuka LP3ES: Membongkar Demokrasi Viralisme

      March 22, 2023

      Berani Berkata ‘Tidak Benar’ pada Hoaks

      February 12, 2023

      Yang Patah Tumbuh, Yang Hilang Wiji dan Rezim Berganti

      January 11, 2023
    • BANGSA MAHASISWA

      Mandeknya Keadilan Tragedi Semanggi ke-2

      September 24, 2023

      Dramaturgi Polarisasi Politik yang Seksi

      April 7, 2023

      Aksi Reformasi Universitas Udayana: Menolak Komersialisasi Pendidikan

      March 17, 2023

      Sebuah Catatan In the Shadow of Silent Majorities or, The End of the Social and Other Essays

      March 17, 2023

      Soe Hok Gie : Pemuda Indonesia Yang Mencintai Alam, Bacaan, dan Kemanusiaan

      February 23, 2023
    BangsamahardikaBangsamahardika
    Home » Memahami Lingkaran Setan Hutang Pemerintah: Uang Riba dan Kutukan Inflasi
    POLITIKA

    Memahami Lingkaran Setan Hutang Pemerintah: Uang Riba dan Kutukan Inflasi

    RedaksiBy RedaksiMarch 20, 2023Updated:March 22, 2023No Comments7 Mins Read
    Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Email
    Share
    Facebook Twitter LinkedIn Pinterest Email

    Penulis: Afrizal Adinur

    Siapa sangka bahwa di balik kenikmatan soto ayam yang kita santap, tersimpan suatu kisah kompleks tentang kebijakan moneter? Ketika kita menikmati kuah hangat dan daging ayam yang empuk, mungkin kita tidak pernah berpikir tentang bagaimana harga soto ayam ini bisa meningkat 50 kali lipat seiring berjalannya waktu. Tulisan ini akan mengajak Anda menelusuri perjalanan rupiah yang terus menyusut, di tengah sistem ekonomi yang penuh teka-teki dan intrik.

    Setelah sepuluh tahun terjun dalam dunia akademis dan jurnalisme, ternyata hanya segelintir orang yang benar-benar memahami kebijakan moneter—bahkan di kalangan akademisi dan profesional ekonomi. Saat bicara tentang moneter, kita sering dijejali istilah-istilah rumit dan angka-angka besar. Namun, pernahkah kita berpikir tentang sisi lain dari kebijakan moneter yang jarang dibahas? 

    Kebijakan Moneter dan "Obfuscation" 

    Filsuf Prancis Michel Foucault pernah menyebut taktik "Obfuscation": menggunakan istilah rumit untuk membingungkan dan mengendalikan pemikiran orang. Konsep ini sangat relevan dalam konteks kebijakan moneter, di mana banyak istilah teknis dan konsep kompleks dapat membuat masyarakat awam merasa terintimidasi dan bingung. Obfuscation dalam kebijakan moneter sering membuat kita lupa bahwa di balik istilah-istilah tersebut, ada masalah yang lebih mendasar yang perlu kita pahami dan diskusikan secara terbuka.

    Salah satu masalah inti yang jarang disoroti dalam kebijakan moneter adalah sistem moneter Fiat yang kontroversial. Sistem ini menggunakan uang yang tidak didukung oleh komoditas berharga, seperti emas atau perak, melainkan oleh kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah yang mengeluarkannya. Akibatnya, pemerintah memiliki kekuasaan yang besar untuk mencetak uang dan mempengaruhi ekonomi melalui kebijakan moneter. Namun, kebijakan ini seringkali tidak transparan dan sulit dipahami oleh masyarakat umum, yang pada akhirnya membuat kita terjebak pada dampak langsung seperti kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) atau inflasi. Padahal, penting bagi kita untuk mengevaluasi sistem moneter Fiat itu sendiri, dan mempertanyakan apakah sistem ini benar-benar menguntungkan bagi masyarakat atau hanya menjadi alat pengendalian ekonomi oleh pihak-pihak tertentu. Dengan demikian, penting bagi kita untuk menggali lebih dalam dan memahami inti masalah dalam kebijakan moneter, serta melihat dampak yang lebih luas dari kebijakan ini pada kehidupan kita sehari-hari.

    Ekonomi Hutang: Ajaib atau Jahat? 

    Mari kita lihat contoh sederhana: Joko, Ali, dan Budi menabung Rp. 50.000.000 di bank. Bank kemudian meminjamkan Rp. 100.000.000 kepada Rudy untuk membeli rumah. Ajaibnya, saldo Joko, Ali, dan Budi tetap Rp. 50.000.000! Bank seolah menciptakan uang dari udara, dan ini adalah hasil dari sistem "Fractional Reserve". Sistem ini memungkinkan bank untuk menggandakan jumlah uang yang beredar dengan hanya menyimpan sebagian kecil dari dana nasabah. Dalam jangka pendek, sistem ini dapat meningkatkan likuiditas dan pertumbuhan ekonomi, namun dalam jangka panjang, praktik ini dapat menimbulkan risiko yang serius.

    Salah satu risiko utama dari sistem "Fractional Reserve" adalah kemungkinan terjadinya Bank Run. Jika nasabah tiba-tiba kehilangan kepercayaan pada bank dan semua orang mencoba menarik uang mereka sekaligus, bank akan menghadapi kesulitan untuk memenuhi permintaan tersebut, mengingat mereka hanya menyimpan sebagian kecil dari dana nasabah. Contoh nyata dari fenomena ini adalah kasus Bank Run di Silicon Valley Bank beberapa hari lalu. Ketika nasabah panik dan berbondong-bondong menarik dana mereka, bank tersebut tidak mampu memenuhi permintaan, yang akhirnya menyebabkan runtuhnya bank.

    Krisis moneter bisa terjadi karena bank-bank saling berhutang dan berada dalam sistem yang sama. Jika satu bank runtuh, efek domino yang dihasilkan dapat menyebabkan bank-bank lainnya mengalami kesulitan yang sama. Krisis ini dapat mengakibatkan dampak negatif yang signifikan pada ekonomi secara keseluruhan, termasuk peningkatan pengangguran, penurunan investasi, dan bahkan resesi. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah dan otoritas moneter untuk memahami risiko yang melekat pada sistem "Fractional Reserve" dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya Bank Run dan krisis moneter lainnya yang mungkin timbul sebagai akibatnya.

    Hutang Pribadi vs. Hutang Pemerintah 

    Hutang individu dan hutang pemerintah merupakan dua konsep yang berbeda dalam dunia ekonomi. Pada satu sisi, hutang individu melibatkan individu dan bisnis yang meminjam uang dari bank untuk memenuhi kebutuhan mereka, seperti membeli properti atau mengembangkan bisnis. Bank menciptakan uang melalui pemberian kredit asalkan mereka masih memiliki cadangan minimum yang diwajibkan oleh otoritas moneter. Peminjam kemudian diharapkan mengembalikan hutang mereka kepada bank beserta bunga yang telah disepakati.

    Di sisi lain, hutang pemerintah terkait dengan pembiayaan kegiatan dan proyek pemerintah yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam rangka membiayai kegiatan ini, pemerintah mengeluarkan instrumen keuangan seperti obligasi, yang dibeli oleh investor dan institusi keuangan, termasuk Bank Sentral. Bank Sentral seringkali bekerja sama dengan pemerintah dalam kebijakan moneter, seperti "Quantitative Easing" (pelonggaran kuantitatif), di mana Bank Sentral mencetak uang baru untuk membeli obligasi pemerintah, yang pada akhirnya akan meningkatkan jumlah uang beredar dalam ekonomi.

    Cantillon Effect dan Lingkaran Setan Hutang 

    Cantillon Effect merupakan fenomena di mana uang baru yang dicetak oleh Bank Sentral cenderung lebih dulu menguntungkan individu dan kelompok yang berada dekat dengan kekuasaan atau sumber penciptaan uang tersebut. Hal ini terjadi karena mereka memiliki akses lebih awal terhadap uang baru ini dan mampu menggunakan uang tersebut untuk berinvestasi atau mengkonsumsi sebelum harga-harga naik akibat inflasi. Ketika uang baru ini akhirnya mencapai masyarakat umum, harga barang dan jasa sudah meningkat, sehingga masyarakat umum merasakan dampak inflasi.

    Untuk mengatasi masalah hutang dan inflasi yang diakibatkan oleh pencetakan uang, pemerintah memiliki beberapa opsi. Salah satunya adalah dengan menerapkan kebijakan fiskal, seperti menaikkan pajak untuk meningkatkan pendapatan pemerintah dan mengurangi pengeluaran, terutama pada sektor-sektor yang kurang produktif atau efisien. Kebijakan fiskal ini bertujuan untuk mengurangi defisit anggaran dan mengurangi kebutuhan pemerintah untuk terus-menerus mencetak uang.

    Namun, kebijakan moneter seperti "Quantitative Easing" sering digunakan sebagai solusi jangka pendek untuk mengatasi masalah hutang pemerintah. Melalui kebijakan ini, Bank Sentral mencetak uang baru dan menggunakan uang tersebut untuk membeli obligasi pemerintah atau aset keuangan lainnya. Walaupun kebijakan ini mampu mengurangi beban hutang jangka pendek, "Quantitative Easing" juga dapat menciptakan lingkaran setan hutang dan inflasi. Dalam jangka panjang, pencetakan uang yang berlebihan dapat menyebabkan inflasi yang semakin tinggi, mengurangi daya beli masyarakat, dan mengakibatkan ketidakstabilan ekonomi.  

    Inflasi: Konsekuensi Logis

    Bayangkan saat Anda masih kecil, uang jajan yang Anda miliki bisa membeli soto ayam seharga Rp. 350. Tetapi, apakah sekarang Anda masih bisa menikmati soto ayam dengan harga yang sama? Tentu tidak. Harga soto ayam saat ini telah melonjak menjadi Rp. 17.500, yang berarti lima puluh kali lebih mahal daripada beberapa dekade lalu. Dalam konteks ini, nilai rupiah telah menurun sebanyak lima puluh kali jika dibandingkan dengan harga soto ayam.

    Fenomena ini adalah contoh dari inflasi, yang pada dasarnya merupakan penurunan daya beli uang seiring berjalannya waktu. Inflasi adalah bukti bahwa nilai uang yang dikeluarkan oleh Bank Sentral cenderung menurun sepanjang waktu. Lantas, ke mana nilai uang itu menghilang? Jawabannya adalah bahwa nilai uang akan terus menurun menuju nilai aslinya, yaitu nol—alias tidak berharga sama sekali.

    Kesimpulan: Uang Monopoli dan Dampaknya

    Sekarang kita tahu bahwa pemerintah dan Bank Sentral seolah berperan sebagai penyihir yang bisa mengubah kertas menjadi emas. Kita semua menggunakan uang ini untuk bertransaksi bukan karena kita percaya pada nilai intrinsik kertas tersebut, melainkan karena takut akan sanksi hukum.

    Uang Bank Sentral adalah uang monopoli. Dengan monopoli produksi dan kekuasaan, pemerintah terus mengendalikan cara kita melakukan transaksi ekonomi. Namun, kita perlu ingat bahwa inflasi merupakan konsekuensi logis dari sistem ini, dan nilai uang kita terus menurun seiring waktu.

    Dengan menyadari kenyataan ini, kita semoga bisa lebih kritis terhadap kebijakan moneter dan memahami dampaknya pada kehidupan kita sehari-hari. Setidaknya, kita bisa tersenyum pahit saat menyadari bahwa harga soto ayam yang kita nikmati kini harganya lima puluh kali lipat dari zaman dulu—semoga rasanya juga ikut meningkat lima puluh kali!

    Share. Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Email
    Redaksi
    • Website

    Related Posts

    Pemilu 2024 Antara Taktik dan Tujuan Akhir Pilihan Kita

    November 27, 2023

    Against The Wall: Kelompok Anarkis Yahudi di Israel Pro Palestina

    November 2, 2023

    Merebut Kembali Kedaulatan yang Terampas

    September 29, 2023

    Wajah Hukum Alat Legitimasi Kekuasaan

    August 2, 2023
    Add A Comment

    Leave A Reply Cancel Reply

    This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

    Editors Picks
    Top Reviews
    Bangsamahardika
    Instagram YouTube TikTok Twitter
    • Tentang BM
    © 2023 bangsamahardika.co.

    Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.

    Syarat & Ketentuan

    Bangsamahardika menerima tulisan dengan ketentuan-ketentuan:

    1

    Ditulis dengan mengikuti Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD)

    2

    Panjang tulisan 1.500 hingga 2.500 kata, lebih dari itu bisa dibagi menjadi dua bagian.

    3

    Tulisan membahas berbagai macam jenis tulisan yang disediakan pada rubrik-rubrik yang terbagi di Website

    4

    Tulisan merupakan karya pribadi

    5

    Tulisan/artikel tidak berupa karya plagiarisme

    6

    Dokumen yang dikirimkan tidak berbentuk format PDF melainkan format .docx

    7

    Tulisan wajib merujuk pada fakta dan data dari sumber-sumber rujukan yang kredibel. Data dan rujukan harap dikutip menggunakan tautan langsung (hyperlink) dan/atau daftar referensi.

      OK