Penulis: M Hakim (Ruang Ekspresi, Labuhanbatu Selatan, Sumatera Utara)
Pengusungan capres untuk 2024 mendatang merupakan suasana yang perlu ditelaah oleh publik. Susan Sontag dalam bukunya On Photography (1972) menjelaskan bahwa keadaan yang sedang terjadi di dalam sosial, itu merupakan simulasi dari pikiran yang sedang diutarakan. Meskipun itu tidak menampilkan keadaan keseluruhan namun telah membuat kesan tertentu.
Dalam buku tersebut, Sontag juga menguraikan bahwa publik kita terlalu fokus pada hal-hal yang tidak penting, seperti hiburan dan keindahan visual. Sehingga Kecenderungan fokus itu dapat mengabaikan hal-hal yang lebih penting dalam kehidupan publik, seperti kesehatan, kebahagiaan, dan hubungan antar sesama makhluk hidup. Begitulah, koherensi antara uraian Sontag dengan apa yang mau saya maksudkan tentang tulisan yang berjudul: demam politik.
Penetapan capres adalah kesimpulan statis dari kesepakatan yang telah ditentukan dengan sedemikian rupa sehingga ajang pilpres tersebut menjadi babak yang perlu ditinjau seperti apa oleh publik. Jika dicermati lebih mendalam, Pilpres 2024 mendatang bukan hanya sekadar urusan memperbarui pemimpin semata, melainkan untuk mempertebal kembali eksistensi bangsa Indonesia agar terus semakin baik.
Memang sulit rasanya untuk tidak menyaksikan gambaran kebencian maupun kesukaan yang hiperealitas dalam setiap pemilu, apalagi menyangkut Pilpres. Bagaimana kalau ingatan kolektif kita diaktifkan dan melihat suasana Pilpres tahun 2019. Saat itu, Jakarta menjadi membara pada 20-21 Mei 2019. Ada 400 orang yang diamankan karena dituduh membuat kericuhan di depan gedung Bawaslu, belum lagi kencangnya penyebaran berita palsu. Lalu, politik uang dan tragedi KPPS. Itu semua berlangsung dalam potret Pemilu 2019.
Hal tersebut dapat direpresentasikan sebagai indikasi dari demam politik atau tingginya suhu politik yang dikarenakan sedang tidak normal. Jika dianalogikan, hal itu seperti tubuh manusia yang lagi terkena infeksi. Sehingga harus membutuhkan perawatan. Kalaupun diabaikan itu dapat membuat imun tubuh semakin melemah dan akibatnya dapat menjadi penyakit. Oleh karena itu, dibutuhkan ramuan penawar untuk mengatasi imun tubuh yang melemah. Dalam politik, ramuan penawar tersebut berupa gagasan yang dapat ditinjau publik dengan mekanisme keterbukaan sehingga publik menjadi lebih berkesempatan luas untuk mengidentifikasi penawar-penawar gagasan yang dikemukakan oleh pihak-pihak yang berkontestasi dalam ajang politik.
Setiap obat penawar memiliki kriteria dosis tertentu, persoalannya, dengan cara apa penawar obat itu diramu. Gagasan harus menjadi bahannya sebab bangsa ini harus mengonsumsi vitamin untuk menghadapi kondisi rentan Serang-menyerang dalam setiap pemilu adalah hal wajar. Tetapi apabila menggunakan gagasan itu akan tampak lebih substansial. Tampak sederhana, namun gagasan itu harus diterbitkan melalui proses pembelajaran. Jikalau serang menyerang melalui hal-hal yang eksistensi, itu akan mengundang penyakit. Misalnya, dengan menyerang agama, suku.
Mendorong Pemimpin
Arena demokrasi memang membuka ruang terbuka bagi siapa pun yang berhasrat mau memimpin. Meskipun konsekuensi dapat menghasilkan pemimpin yang demagog. Kendati demikian, fasilitas yang disediakan oleh demokrasi itu sangat canggih untuk menghalangi seorang demagog tidak terpilih dalam hal pemilu. Tantangannya, apakah orang-orang yang mengisi instrumen lembaga negara punya kesehatan pikiran? Jika iya, maka ia dengan mudah mencoret para calon pemimpin yang dari tindakan awalnya sudah sakit. Namun, jika ia tidak sehat, maka para calon yang sakit dengan mudah akan bertengger meraih puncak kekuasaan dengan segala caranya. Termasuk menyuap lembaga negara tersebut.
Mendorong pemimpin untuk naik ke panggung dengan reputasi yang cemerlang, memang membutuhkan kolaborasi yang elementer. Hal ini menjadi penanda waktu yang akan bergulir di 2024 mendatang.
Kini, citra dan simbol para calon presiden untuk pemilu 2024 sudah tampil dilayar publik. Suatu pemaknaan telah dimulai. Harapan saya: publik harus jelih dan teliti dalam memilihnya. Karena 2019 yang lalu adalah garis demarkasi sejarah yang telah membekas. Ada makna dan peristiwa politik di situ, dan sejarah telah memberikannya konteks.
Bukan lupa ataupun mencoba untuk menjadi amnesia temporer. Sebagai refleksi, sudah saatnya partai politik harus tegas dan lugas dalam mengidentifikasi masalah di Indonesia. Bukan mengkultuskan, namun apa iya, persoalan bangsa ini nantinya dapat usai dengan menitikberatkan hanya dengan satu pemimpin? Itu sungguh melelahkan dan menjengkelkan bila menelaahnya.
Tetapi perlu dipertegas kembali, setiap bangsa memang harus ada simbolisasi pemimpin. Karena Ia adalah hasil dari berbagai pilihan publik, lalu diputuskan untuk melaksanakan fungsinya untuk membuat publik menjadi terlindungi, terhormati, dan terpenuhi sebagai warga negara.
Memang menerbitkan suatu pemimpin bagi suatu bangsa yang belum berumur ratusan tahun dan multikultural bukan aktivitas yang mudah. Meskipun Amerika Serikat sudah berumur 246 tahun sebagai negara demokrasi, akan tetapi pada pemilu di 2016, mereka justru menerbitkan pemimpin yang kontroversial seperti sosok Donald Trump.
Dibutuhkan akselerasi altruisme yang ekstra, sehingga dapat mengejar ketertinggalan atas pengabaian kesejahteraan di masa lalu.
Tiap-tiap pemimpin itu memang memiliki karakteristik tersendiri. Pernah dulu bagaimana di forum internasional, Sutan Sjahrir Perdana Menteri (1945-1947) pertama Indonesia berujar dengan lantang "Mana yang Anda percaya— mereka atau orang-orang beradab seperti kami.” Begitulah representasi pemimpin di awal kemerdekaan Republik Indonesia. Mereka berkompeten dan berbasis pada proses pembelajaran yang sungguh-sungguh, demi mewujudkan kebajikan untuk publiknya¹. Dan mereka juga mempelajari filsafat dan sastra secara mendalam. Ada Hatta, Sukarno, Natsir, Tan Malaka dan lainnya. Maksud pembelajaran di sini bukan semata hal yang teknis, berupa harus pernah sekolah dan mempunyai gelar semata, tetapi pembelajaran yang diperoleh dari proses memahami realitas.
Bagi saya pemimpin itu dikenang publik karena mencerahkan pandangan publik menjadi luas. Bukan menyempitkan. Apalagi sampai membutakan. Karena itu para pemimpin harus punya pemahaman dasar tentang hal-hal yang mendasar agar terbebas dari tawanan plutokrasi.
Sekarang, publik hari-hari ini sedang menunggu rotasi kepemimpinan. Puncaknya dapat dimanifestasikan di 2024 mendatang. Namun kadang kala, pada hari pemilu, publik memilih rancangan masa depan bangsa yang ditawarkan partai pemilu. Bukan sekadar memilih politisi populer. Meskipun tidak sempurna, semangat politik mirip begitu pernah hadir seperti dijelaskan pada paragraf sebelumnya (Ariel Heriyanto: Jatah. Kompas, 2022).
Kendati demikian, dalam panorama pemilu di 2024 mendatang, tentu kita akan menyaksikan baliho, poster, dan atribut lainnya. Seperti apa yang diuraikan Sontag tentang fotografi. Derasnya gambar-gambar yang akan berseliweran di ruang publik akan lekat menampilkan kesan: kebudayaan, keagamaan, kesosialan, demi meraih simpati publik. Demikian, semoga pemilu di tahun 2024 dapat nyata menghasilkan suatu kepemimpinan. Sehingga bangsa kasihan seperti prosanya Kahlil Gibran dapat diganti menjadi bangsa solidaritas.