“Pemaknaan kedaruratan demokrasi dapat dilihat dari pengambilan-pengambilan kebijakan oleh pemerintah serta badan legislatif yang acap kali tidak memihak kepada aspirasi masyarakat, melainkan memiliki kecenderungan dalam mengakomodasi kepentingan elite politik”
Pra-kondisi demokrasi di Indonesia telah melewati titik jenuh pasca reformasi 1998. Tumbangnya kekuasaan rezim Soeharto telah membalikkan sistem politik Indonesia dari otoritarianisme ke arah demokrasi. Perubahan sistem politik ke arah demokrasi memberikan peluang bagi terciptanya semangat keterbukaan dan transparansi pemerintahan; dari proses hingga hasil akhir. Schumpeter dalam bukunya yang berjudul “Capitalism, Socialism, and Democracy” menyebutkan bahwa demokrasi perlu dijalankan bukan hanya lewat semangat keterbukaan dan transparansi, melainkan perlu ditambahkan “arena kompetitif” bagi masyarakat dalam berpartisipasi di ruang publik, bukan hanya sebagai objek, namun sebagai subjek kritis dalam gelanggang demokrasi.
Arena kompetitif dalam demokrasi dapat dimaknai sebagai gerbang penjagaan demokrasi di suatu negara. Karena tanpa adanya kompetisi dalam negara demokrasi, maka negara tersebut akan terjebak dalam pseudo-demokrasi dan mengakibatkan kemunduran ke arah hegemoni kekuasaan. Dalam konteks ini, partai politik memegang peranan penting untuk mencerna dan menganalisis situasi politik di sebuah negara, agar peran-peran di luar kekuasaan tetap terjaga. Robert Dahl menyatakan bahwa negara demokrasi ideal ialah yang memiliki oposisi atau kekuatan di luar kekuasaan yang berimbang, agar tercipta kondisi check and balances.
Di Indonesia sendiri, pasca Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 praktis partai-partai politik melakukan rekonsiliasi atapun merapat pada kekuasaan, tanpa mempertimbangkan konstituen dan aspirasi masyarakat, terhitung hingga tulisan ini dibuat, hanya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang masih melakukan kerja-kerja oposisi dalam mengawal dan menjaga muruah demokrasi. Lantas, apa yang terjadi pada istilah “Koalisi Besar Partai Politik” serta pencederaan demokrasi di Indonesia?
Koalisi Besar Partai Politik dan Matinya Resistansi Oposisi
Marcus Mietzner dalam tulisannya berjudul “The limits of autocratisation in Indonesia: Power dispersal and elite competition in a compromised democracy” menjelaskan bahwa kedaruratan demokrasi di Indonesia dapat dipahami mulai dari penurunan indeks demokrasi yang disampaikan oleh Freedom House dan The Economist Intelligence Unit. Dua organisasi yang mengamati perkembangan demokrasi di berbagai macam belahan dunia tersebut, memberikan label “Partly Free” dan “Flawed Democracy”. Istilah-istilah yang ada menjadi perhatian serius bagi para pengamat demokrasi di Indonesia, khususnya Thomas Power dan Eve Warburton dalam bukunya yang berjudul “Demokrasi di Indonesia: Dari Stagnasi ke Regresi ?”. Pemaknaan kedaruratan demokrasi dapat dilihat dari pengambilan-pengambilan kebijakan oleh pemerintah serta badan legislatif yang acap kali tidak memihak kepada aspirasi masyarakat, melainkan memiliki kecenderungan dalam mengakomodasi kepentingan elite politik. Mietzner menambahkan dalam konteks kompromi demokrasi di Indonesia, dirancang sebuah skenario negara tanpa oposisi, agar kepentingan-kepentingan elite poltik dapat terealisasi dengan cepat.
“Koalisi Besar Partai Politik” merupakan sebuah istilah penggabungan partai-partai dalam satu wadah besar yang menghendaki pencalonan-pencalonan aktor politik lewat mekanisme di dalamnya. Hal ini telah terlihat dari pencalonan Prabowo-Gibran dalam kontestasi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, yang mendominasi dengan 261 kursi di DPR, Anies-Cak Imin 167 Kursi, serta Ganjar-Mahfud 147 Kursi. Dalam Politik, pembentukan koalisi merupakan hal yang wajar, namun penggunaan peta koalisi di atas ternyata memberikan sebuah domino effect bagi pemilu-pemilu lanjutan di tingkat daerah –disebut Pilkada, sehingga mayoritas partai-partai yang ada menyatukan kekuatan tanpa memberikan arena kompetitif bagi proses penyelenggaraan Pilkada.
Disamping itu pula, Presiden Joko Widodo memberikan izin serta restu kepada seluruh partai-partai politik untuk melakukan hal tersebut, dan partai politik akan mendapatkan imbalan “jatah” kekuasaan di periode pemerintahan selanjutnya. Mitzner dalam bukunya terbaru “The Coalitions Presidents Make: Presidential Power and Its Limits in Democratic Indonesia” sekali lagi menjelaskan bahwa kondisi yang hari ini diciptakan oleh pemerintah (Re: Rezim Joko Widodo) semata-mata untuk memberikan keuntungan terhadap diri dan keluarganya setelah tidak menjabat lagi sebagai presiden Republik Indonesia. Manuver-manuver politik dalam skala kecil hingga besar masih tetap dilakukan untuk membentuk peta kekuatan koalisi besar partai politik, demi mengamankan serta melanggengkan pengaruhnya. Ekses Politik yang terjadi hari ini, belum pernah terjadi sebelumnya dalam periode transisi demokrasi di Indonesia. Namun, sejak peta kekuatan politik di Indonesia mengembang secara besar, maka dapat dipastikan kekuatan oposisi akan semakin kecil dan hal tersebut memberikan preseden buruk bagi demokrasi di Indonesia.
Secara status quo, setelah Pemilu 2024 hanya tersedia PDI-P yang tidak bergabung dengan koalisi besar pemerintahan, yang menandakan bahwa sekali lagi partai tersebut akan menjadi salah satu oposisi untuk menandingi kekuatan pemerintah. Secara historis, penampilan PDI-P dalam menjadi oposisi tidak perlu diragukan lagi karena militansi menumbangkan orde baru telah menjadi ujung tombak sejarah merobohkan otoriatarianisme Soeharto. PDI-P pada saat itu merupakan partai yang bersuara paling lantang untuk menjatuhkan Soeharto dari tampuk kekuasaannya sehingga terjadi peralihan sistem politik dari otoriter ke demokrasi hingga hari ini. Namun, apakah dalam keadaan seperti ini partai politik PDI-P selaku satu-satunya partai politik oposisi mampu untuk resisten dan menjaga muruah demokrasi?
Buruknya Demokrasi Indonesia: Sebuah Refleksi Melawan Otoritarianisme
Dalam tulisannya “Democratic Regression in Comparative Perspective” Larry Diamond mencoba untuk memaparkan sebuah bentuk komparasi demokrasi di berbagai negara yang ditelitinya. Diamond menjelaskan bahwa salah satu penjagaan terbaik bagi upaya pengikisan oposisi ialah menahan diri dari godaan kekuasaan penguasa pada saat itu. Hal ini didukung dengan tesis Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam “How Democracies Die” bahwa upaya-upaya pembunuhan demokrasi di awali dengan pengebirian partai politik yang ditukarkan dengan kepentingan/kekuasaan. Sehingga, partai politik kehilangan citra untuk memberikan kompetisi dalam konteks pemilihan umum. Para calon-calon yang maju akan dikendalikan dari dalam sehingga aktor politik tidak memiliki legitimasi yang kuat serta kedaulatan apabila tidak didukung koalisi partai besar tersebut.
Buruknya demokrasi di Indonesia bukan hanya tercermin lewat besarnya koalisi partai politik pendukung pemerintah. Namun, tercermin dari banyak hal; mulai dari politisasi institusi negara, penggunaan aparatus untuk menekan oposisi, politisasi regulasi—UU KPK, UU KUHP, UU Minerba, UU Omnibus Law, hingga penggunaan kewenangan presiden untuk mendukung salah satu pasangan calon dalam Pemilu 2024. Kesangsian akan mundurnya demokrasi menuju otoritarianisme ini dapat dilawan dengan menggunakan skema gerakan civil society yang massif. Dalam sejarah tumbangnya orde baru, partai politik berfusi dengan masyarakat untuk menciptakan gerakan-gerakan untuk menggoyang tampuk kekuasaan, serta memastikan proses check and balances berjalan apabila badan legislative tidak dapat menjalankan fungsinya.
Selain itu, dalam melihat buruknya demokrasi di Indonesia dalam beberapa fenomena terakhir, khususnya “Koalisi Besar Partai Politik”. Masyarakat perlu mengkritisi setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah ataupaun badan legislatif untuk memastikan tidak ada pembajakan terhadap aturan negara atau “Capture State” hanya untuk kepentingan-kepentingan sekelompok koalisi partai yang duduk sebagai penguasa. Karena menurut Mietzner dalam “Sources of Resistance to Democratic Decline: Indonesian Civil Society and Its Trials” gerakan civil society memberikan daya kejut bagi pemerintahan dan memiliki pengaruh yang besar dalam kalkulasi politik pemerintahan. Sehingga, apabila hal ini dapat diwujudkan, maka pemerintah akan mendengarkan kehendak rakyat, bukan hanya kehendak sekumpulan partai politik dan menumbuhkan arena kompetitif bagi pemilihan apapun kedepannya.
Masyarakat perlu mewujudkan gerakan kolektif bersama partai politik yang tersisa untuk menjaga muruah demokrasi di Indonesia. Dari hal itu lah, nadi demokrasi dapat dirawat dan masih akan tetap hidup. Serta seluruh aktor politik menghentikan setiap upaya yang mencederai demokrasi.
Penulis: Maulana Malik Ibrahim
(Direktur Eksekutif Indonesia Social-Politic Review Institute & Mahasiswa S2 PPKN Universitas Negeri Jakarta)