Penulis: Raihan Muhammad, mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Negeri Semarang
Pelacuran intelektual merupakan salah satu kejahatan dalam dunia akademik yang mengerdilkan moral dan daya nalar intelektualitas. Hal tersebut juga bentuk penghambaan terhadap nafsu dan kepentingan-kepentingan individu yang menjerumuskan diri ke dalam kesenangan serta kepentingan pribadi maupun segelintir orang. Acapkali kampus—tempat yang mulia dan terhormat—dijadikan sebagai tempat pelacuran intelektual oleh para pelacur intelektual.
Istilah pelacuran intelektual digunakan oleh seorang aktivis mahasiswa Universitas Indonesia, Soe Hok Gie, pada tulisannya yang dimuat di surat kabar Sinar Harapan pada 21 April 1969. Istilah ini merupakan reaksi Gie terhadap tulisan Prof. Emil Salim, Sadli, Suny, serta Sutjipto Wirojosuparto yang berjudul “Pelacur-Pelacur Intelektual” yang dimuat di Harian Indonesia Raya pada era Sukarno.
Sikap pelacuran intelektual yang dilakukan oleh para akademisi, khususnya pejabat-pejabat kampus (rektor dan sebagainya) yang sering memberikan (baca: mengobral) doktor kehormatan alias doctor honoris causa (Dr. (H.C.)) ataupun profesor kehormatan kepada orang-orang yang sebetulnya tidak (baca: belum) berjasa dalam bidang pendidikan, seperti politikus, pejabat negara, dan sebagainya.
Banyak pihak yang menilai bahwa pengobralan tersebut dilakukan demi kepentingan politik maupun kepentingan pragmatis yang mana seleksi penilaiannya tidak transparan. Sikap pembodohan semacam ini perlu diputus supaya pendidikan Indonesia tidak tercemar oleh kepentingan-kepentingan tertentu yang tidak ada korelasinya terhadap kemajuan pendidikan Indonesia.
Fenomena semacam ini sebetulnya mengkhianati pengorbanan para akademisi, khususnya dosen, yang selama bertahun-tahun mengabdi dan meneliti agar mendapatkan gelar profesor (sebagai motivasi) serta untuk memajukan pendidikan Indonesia. Namun, kalah dengan kepentingan pragmatis politikus ataupun pejabat negara yang dengan mudahnya mendapatkan profesor kehormatan. Hal ini tentu memperlihatkan betapa rendahnya moralitas pendidikan di Indonesia.
Pelacuran intelektual merupakan pengkhianatan terhadap tridarma perguruan tinggi: pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengembangan, serta pengabdian kepada masyarakat. Di perguruan tinggi diajarkan pentingnya proses, tetapi dengan seringnya pejabat kampus memberikan “jalan pintas” kepada para politikus ataupun pejabat negara berupa gelar akademik penghormatan menimbulkan perspektif bahwa para (oknum) akademisi sedang melakukan pelacuran intelektual.
Beberapa waktu lalu, para dosen UGM menolak pemberian gelar guru besar (profesor) kehormatan kepada tokoh nonakademik. Pada hakikatnya, profesor merupakan jabatan akademik yang seharusnya dijabat oleh orang-orang yang bekerja di bidang akademik, sehingga sudah sepatutnya menolak orang-orang yang berada di sektor nonakademik untuk mendapatkan gelar profesor kehormatan.
Sikap yang dilakukan oleh para dosen UGM perlu diapresiasi setinggi-tingginya serta diikuti oleh perguruan tinggi lain untuk mencegah terjadinya pelacuran intelektual. Harga diri pendidikan Indonesia mesti dijaga kualitasnya dari para pelacur intelektual yang membuat citra pendidikan menjadi buruk. Pemerkosaan terhadap intelektual harus dilawan demi terwujudnya cita-cita bangsa Indonesia, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa.
Kampus bukan tempat pelacuran intelektual sehingga perlu diisi oleh manusia-manusia mulia yang berintegritas dan menjunjung tinggi moralitas. Bangsa Indonesia didirikan oleh para pencinta buku, ilmu dan pengetahuan menjadi tumpuan para founding father untuk berupaya memerdekaan Indonesia dari kungkungan kebodohan dan pelacuran moral. Oleh karena itu, segala bentuk pelacuran intelektual harus dilawan.
Betapa hebatnya Indonesia, suatu negeri yang didirikan oleh para pencinta buku yang melawan: melawan kebodohan, ketidakadilan, dan kemunafikan. Sejatinya pelacuran intelektual merupakan pengkhianatan terhadap moralitas bangsa, pemerkosaan akal pikiran, serta pembodohan yang mengutamakan kepentingan. Hanya ada satu kata untuk melawan pelacuran intelektual: lawan!
Referensi
Gie, S.H. (2005). Zaman Peralihan. Jakarta: GagasMedia.
Wicaksono, P. (2023, Februari 16). Sejumlah Dosen UGM Tolak Pemberian Gelar Profesor Kehormatan, untuk Siapa?. TEMPO.CO. Diakses dari https://tekno.tempo.co/read/1692085/sejumlah-dosen-ugm-tolak-pemberian-gelar-profesor-ke hormatan-untuk-siapa.
Purnandaru, A.P. (2023, Februari 15). Ditolak Dosen, Siapa Pejabat yang Akan Diberi Gelar Profesor Kehormatan UGM?. kumparan. Diakses dari https://kumparan.com/kumparannews/ditolak-dosen-siapa-pejabat-yang-akan-diberi-gelar-pro fesor-kehormatan-ugm-1zqBUf6jyyI/full.