Penulis: Maulana Malik Ibrahim
"Pembentukan kebijakan memerlukan pengujian/validasi dan tanggapan bertujuan membentuk opini publik yang rasional dari masyarakat agar tidak terjadi “pragmatisme politik semu”
Akhir-akhir ini media sosial digemparkan oleh kemunculan sebuah video berdurasi kurang lebih satu menit memperlihatkan pernyataan Bambang “Pacul” Wuryanto (Ketua Komisi III DPR RI 2019-2024) yang sedang menanggapi pertanyaan dari Mahfud MD mengenai percepatan perumusan dan pengesahan produk politik undang-undang perampasan aset.
Namun, tak disangka-sangka oleh publik, pernyataan Pacul malah tidak menggambarkan mengenai progress ataupun substansi produk politik tersebut, malahan berbicara mengenai “restu” pembuatan undang-undang oleh para ketua umum partai politik. Pernyataan itu segera menjadi boomerang dan “bola panas” untuk Pacul, partai politik, dan khususnya para ketua umum partai politik. Para aktivis, Non-Govermental Organizations (NGOs), mahasiswa, dan seluruh elemen pro-demokrasi mengecam pernyataan itu sebagai manifestasi kebobrokan sistem politik di Senayan.
Lantas, sebetulnya para wakil rakyat dalam rapat-rapat pembuatan kebijakan mewakili siapa? Rakyat? Penguasa prominen? Atau adakah relasi kepentingan antar-politisi dengan para pemberi modal mayoritas dalam kontestasi pemilu (skema klientelisme)?
Politisi, Opini Publik, dan Power Paradox
Keterwakilan rakyat di parlemen menjadi sebuah sorotan tajam di tengah buruknya proses legislasi yang berjalan di Indonesia. Banyak produk politik mendapatkan respon dari masyarakat secara negatif lewat gelombang demonstrasi berjilid-jilid, namun tetap disahkan menjadi undang-undang oleh DPR. Output sistem politik ini bertentangan dengan pendapat Gabriel Almond dan David Easton dalam the Theory of Political System yang mana produk politik harus dihasilkan lewat diskursus masyarakat agar keberpihakan kebijakan dapat diketahui secara luas dan umum.
Beberapa produk politik yang memiliki output bermasalah dapat diindentifikasi seperti UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), UU Mineral dan Batu Bara (Minerba), UU Mahkamah Konstitusi (MK), Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dan terbaru ialah UU Cipta Kerja (Ciptaker) yang dinyatakan oleh MK sebagai produk inkonstitusional bersyarat, namun pemerintah mengebut peraturan tersebut lewat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu), dan telah disahkan kembali menjadi UU meskipun terdapat banyak penolakan dari banyak koalisi masyarakat sipil.
Fenomena praktik pengesahan produk politik tanpa diskursus masyarakat dapat dilihat dari perspektif Jurgen Habermas mengenai opini publik pada ruang publik politis. Dalam sebuah buku yang berjudul Jurgen Habermas: Senjakala Modernitas dijelaskan bahwa pembentukan kebijakan—pengesahan undang-undang- memerlukan pengujian/validasi dan tanggapan bertujuan membentuk opini publik yang rasional dari masyarakat agar tidak terjadi “pragmatisme politik semu”. Masyarakat sebagai konstituen pemilu seharusnya bukan hanya menjadi komoditas politik, melainkan substansi politik itu sendiri.
Kesangsian akan “pragmatisme politik semu” nyatanya termanifestasikan lewat ucapan Bambang “Pacul” pada Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi III DPR tempo hari yang menyatakan bahwa setiap pembuatan kebijakan perlu menunggu instruksi ‘bos masing-masing’. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat diabaikan begitu saja dalam proses pembuatan kebijakan, dan menandakan bahwa telah mengakarnya fenomena Power Paradox dalam sistem politik Indonesia.
Dalam bukunya Dacher Keltner The Power Paradox: How We Gain and Lose Influence menjelaskan sebuah fenomena psikologis “individu” atau “para politisi” setelah terpilih dalam kontestasi politik, mereka tidak menunaikan janjinya seperti yang dijanjikan pada “masa kampanye berlangsung”, seperti mengakomodasi aspirasi-aspirasi yang berkembang lewat gelombang demonstrasi. Fenomena tersebut dapat diindikasikan bahwa sistem politik sebuah negara secara tidak langsung sedang dikooptasi dan dikendalikan oleh kekuatan besar lain diluar masyarakat, selain konstituen pemilu. Lalu pertanyaan yang mendasar ialah siapakah dan apakah kekuatan besar tersebut?
Ketua Partai Politik dan Skema Klientelisme Pemilu
Pernyataan Pacul yang menyebutkan menunggu arahan atau instruksi “bos masing-masing” dalam mengesahkan sebuah kebijakan membuat publik bertanya-tanya mengenai siapakah sosok “bos” itu. Dalam kajian filsafat semiotika, jika dianalisis lebih mendalam; penulis ingin mencoba mengidentifikasi bahwa diksi “bos” adalah simbol-simbol politik tingkat tinggi yang dapat diasosiasikan kepada “para ketua umum partai politik” dan “broker politik” penyumbang dana kampanye mayoritas bagi para politisi.
Edward Aspinall dan Ward Berenschot dalam bukunya Democracy for Sale: Elections, Clientelism, and the State in Indonesia menjabarkan mengenai fenomena klientelisme di Indonesia yang menjangkiti para politisi Indonesia selama musim kontestasi politik, dan hal ini menyebabkan para politisi menghamba modal politik kepada para “broker” lalu menukarnya dengan produk-produk politik yang dikehendaki oleh para “bos”. Pertukaran politik ini yang akhirnya mengakibatkan para politisi terjangkit power paradox.
Dugaan itu merupakan analisis politik penulis dalam melihat skema pertukaran kapital dengan produk politik yang biasanya terjadi menjelang masa-masa pemilihan di Indonesia. Tugas para ketua umum partai, jika ditinjau lebih jauh ialah mengarahkan dan mengomando para politisinya untuk bergerak sesuai dengan keinginan partai dan “broker politik”. Fenomena ini dapat diafirmasi lewat ketegangan yang terlihat antara para politisi-politisi di Senayan. DPR mengesahkan produk-produk politik yang tidak sejalan dengan aspirasi koalisi masyarakat pada umumnya—contoh produk politik telah dijelaskan di atas.
Pada akhirnya masyarakat Indonesia dapat menilai bagaimana DPR bekerja. Lewat fenomena-fenomena terkini diharapkan pada Pemilu 2024 nanti masyarakat dapat memilih para politisi-politisi yang menghamba pada “bos”nya masing-masing atau yang akan mengakomodasi kepentingan “rakyat”. Semoga kesalahan-kesalahan memilih dalam pemilu sebelumnya tidak terulang dan tidak menghasilkan pembusukan politik atau “political decay” dalam sistem politik di Indonesia.
Editor: Syahdan