Kedatangan bulan Mei selalu diiringi oleh peringatan tentang peristiwa Reformasi 1998. Pasalnya pengumuman pengunduran diri Presiden Suharto pada tanggal 21 Mei 1998 dianggap menjadi momentum sejarah yang digunakan untuk refleksi proses transisi demokrasi. Pada 2023, Reformasi telah mencapai pada tahun ke-25.
Progress pemenuhan tuntutan Reformasi masih memiliki berbagai upaya pemenuhannya. Ketua Institute Harkat Negeri, Sudirman Said menyatakan bahwa enam tuntutan yang merupakan agenda reformasi selama 25 tahun terus dicoba dan dijalankan semaksimal mungkin. Dalam penegakan hukum banyaknya lembaga yang bersifat penguatan sistem hukum. Mengenai pemberantasan Korupsi dalam pembentukan KPK sampai mulai terjadi serangan pada era presiden SBY sampai saat ini makin lemah. Pengadilan mantan presiden terhambat keadaan fisik presiden. Soal amandemen konstitusi, undang-undang dasar dapat jadi partisipatif dan terbuka. Dwifungsi ABRI yang ditandai dengan penarikan tentara dari DPR. Sedangkan otonomi daerah memberikan kewenangan bagi daerah, meskipun efeknya tidak disertai dengan kemandirian fiscal.
Said menyebutkan bahwa masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo mendorong kemunduran agenda demokrasi. Kalau diurut, menurutnya keenam isu dari penegakan hukum, korupsi, dan otonomi daerah mengalami pembalikan. Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia menyatakan penurunan terburuk pada masa reformasi.
Ubaedillah Badrun, dosen sosiologi Universitas Negeri Jakarta menyatakan bahwa agenda demokratisasi, pemberantasan korupsi dan hak asasi manusia cenderung dekaden. Menurut dia, proses 25 tahun reformasi telah kehilangan semangat republikanisme. Semangat tersebut merujuk kenegaraan yang mengakomodir masyarakat sebagai subjek dan negara sebagai pelayan, ungkap Ubaedillah. Dia menyayangkan progress reformasi justru semakin jauh, ungkapnya dalam diskusi yang diadakan oleh BangsaMahardika (21/05).
Menurut Ubaedillah, tuntutan selama reformasi dapat disimplifikasi menjadi tiga aspek yakni, demokratisasi, otonomi daerah, dan pengadilan pelanggar hak asasi manusia. Perihal proses demokratisasi, sebagai besar proses hanya berhasil secara tekstual. Mengutip riset Economist Intelligence Unit (EIU), Indonesia menempati posisi 54 sebagai flawed democracy (demokrasi tidak sempurna) dengan nilai mencapai 6.71 pada 2022. Sedangkan otonomi daerah berhasil dengan kekurangannya yang bisa kita lihat sekarang.
Pelanggaran HAM dianggap sebagai pekerjaan rumah proses reformasi. Ubaedillah menyatakan bahwa actor pelanggar ham berat ada di lingkaran istana. “Pelanggaran HAM lama belum diselesaikan sedangkan pelanggaran HAM baru terus terjadi” ungkapnya mengenai proses 25 tahun Reformasi.
Editor: Syahdan