Penulis: Miftachul Choir
RKUHP memang sudah disahkan dan menambah panjang daftar tuntutan-tuntutan aktivis pro-demokrasi yang justru diingkari oleh pemerintah. Namun, baiknya kita tidak terlalu menghakimi kekurangan-kekurangan yang dilakukan oleh para aktivis.
Kampanye yang dilakukan oleh aktivis pro-demokrasi sudah lebih luar biasa jika disituasikan dengan kondisi sosial-politik Indonesia. Jangkauan media yang sudah luas — dari Instagram sampai Tiktok dan mencakup berbagai kelompok sosial masyarakat, penggunaan fitur-fitur yang unik sehingga membuat lebih partisipatif dan secara langsung menunjukan apa sebetulnya dampak-dampak yang ditimbulkan oleh kebijakan pemerintah terhadap masyarakat serta siapa yang sebetulnya diuntungkan.
Memang sayangnya, aktivisme, baik yang professional maupun tidak, merupakan pekerjaan yang sungguh sulit. Rezim Soeharto benar-benar telah melakukan pembodohan terhadap rakyat Indonesia sehingga kita tidak mampu berpikir. Lebih parahnya lagi, kita tidak mampu bertanya atau bergerak. Pengetahuan kita telah dikolonialisasi oleh Soeharto. Adanya mobilisasi massa ditengah warisan tersebut, seharusnya dapat dikatakan sebagai pencapaian.
Hal ini juga kemudian yang membuat gerakan sosial di Indonesia sulit untuk diprediksikan menggunakan paradigma-paradigma dominan gerakans sosial. Jika perubahan sosial butuh fenomena pemicu layaknya di Tunisia sebelas tahun yang lalu, lantas bagaimana menjelaskan pihak-pihak yang masih menormalisasi tragedi Kanjuruhan? Pendekatan lain juga berargumen bahwa demokrasi Indonesia ‘kurang rusak’ seperti di Thailand atau Myanmar, sehingga masyarakat masih santai. Tapi jika melihat tren saat ini, sepertinya akan sering kita lihat orang-orang yang akan mendukung Jokowi tiga periode atau tidak ada partai oposisi di parlemen.
Sekiranya terdapat dua implikasi atas fenomena yang sebelumnya telah dijelaskan. Pertama, yang terjadi di Indonesia adalah perjuangan yang bersifat naratif atau diskursif. Tidak jelas musuhnya siapa, tidak ada sosok seperti monarki di Thailand, atau junta militer di Myanmar. Yang jelas kita butuh meyakinkan orang-orang bahwa situasi sedang tidak baik-baik saja. Kedua, banyak sekali hal-hal yang perlu kita dekonstruksi: feminisme tidak hanya sekedar angkat galon; korupsi tidak hanya sekedar calo; RKUHP tidak hanya sekedar pasal bermasalah.
Mengingat pengetahuan kita telah dikolonisai oleh Soeharto, maka tugas utama kita seharusnya adalah untuk dekolonialisasi diri dari pengaruh Soeharto. Aktivitas ini bukan lagi sekedar meningkatkan kesadaran, tetapi memproduksi pengetahuan baru. Belajar dari pengalaman aktivisme di Amerika Latin (Zapatismo, MST), ini merupakan proses pendidikan ulang yang membutuhkan belasan tahun jika bukan decade. Proses ini melibatkan apropriasi atas pemikiran-pemikiran universal, mahzab politik-demokrasi tertentu dan kearifan lokal sehingga memproduksi pengetahuan yang bersifat orisinal.
Apa yang membedakan?
Kampanye raising awareness memang sudah cukup kreatif dan berhasil membuat konten-kontennya untuk relevan dan resonan dengan keresahan yang ada di masyarakat. Sejauh pengamatan awam saya, kampanye ini lebih banyak fokus mengenai bagaimana suatu informasi dideskripsikan dan didesiminasi secara luas. Kreativitas dan komunikasi menjadi dua komponen penting.
Namun, yang perlu menjadi perhatian adalah kita tidak menggunakan bahasa yang sama dengan masyarakat yang ingin kita tuju. Aktivis mungkin menggunakan diskursus HAM, Marxisme atau ism-ism lain dalam membahas keadilan, sedangkan kelompok masyarakat tertentu menggunakan prinsip-prinsip agama dalam membahas keadilan — tidak ada yang salah dalam kedua hal tersebut.
Poinnya adalah, HAM, sebagaimana yang tertuang dalam ICCPR, UDHR atau kerangka PBB lainnya, bukanlah menjadi satu-satunya kerangka dalam membahas isu kesejahteraan, keadilan, dan lainnya. Perlu diingat bahwa bahwa konsep HAM bukanlah sesuatu yang universal, tetapi maknanya dapat dibahasakan dengan konteks dan pengetahuan lokal. Menurut ICCPR, pemerintah mempunyai tanggungjawab. Menurut Islam, penguasa tidak boleh dzalim.
Namun, jangan disalahartikan bahwa ini hanyalah permasalahan pembahasaan — bagaimana kita menggunakan kata-kata yang mudah dipahami segala kalangan masyarakat. Proses pembuatan pengetahuan baru berusaha mengaprosiasi nilai-nilai eksternal dan mengkontekstualisasikan dengan budaya dan kearifan lokal. Hasil dari apropriasi tersebut adalah munculnya konsep baru untuk menjelaskan keseharian dan keresahan yang dialami oleh masyarakat.
Selayaknya teori, pengetahuan baru akan membantu kita mendeskripsikan, memprediksi, mengeksplanasi fenomena-fenomena sosial yang ada. Pengetahuan baru akan membantu kita dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat. Di Kamboja melalui Sombath Somphone, pengetahuan lokal memberikan arahan untuk pertanian. Begitu juga dengan konsep Agroecology yang diterapkan diberbagai negara Amerika Latin.
Pengetahuan baru juga merupakan sebuah budaya politik dan sosial — tentang bagaimana organisasi, perekonomian, diatur. Bagaimana masyarakat yang ideal harus dan dapat tercapai serta norma-norma yang berlaku.
Bagaimana Pengetahuan Dapat Diproduksi?
Saya tidak tahu banyak soal budaya Indonesia (atau istilah berbasis etnis lainnya) sebelum era Soeharto. Dari beberapa pembacaan, saya berasumsi bahwa sudah adanya ekspresi orientasi seksual yang beragam sebelum Orde Baru. Musyawarah dan mufakat mungkin lebih dari sekedar konsultasi dan mendengarkan arahan pemimpin selayaknya yang diajarkan di buku pelajaran PKN. Mungkin warga sudah membenci korupsi sejak sebelum era kolonial.
Disatu sisi, mungkin saat ini memang masyarakat akan mendukung RKUHP karena mengandung pasal antipornografi dan norma-norma timur. Namun yang menjadi permasalahan apakah jangan-jangan pengetahuan lokal yang kita miliki sebetulnya ditutupi oleh kolonialisme, feodalisme, dan otoritarianisme Orde Baru? Mungkin kita tidak benci LGBT, tetapi kolonialisme dan Orde Baru yang membuat narasi demikian.
Poinnya adalah, mungkin masyarakat kita sudah mengenal liberalisme sebelum istilah liberalisme itu sendiri muncul. Dengan bahasa, istilah, atau praktik-praktiknya sendiri. Hal ini yang kemudian menjadi ‘sisi universal’ dalam membahas isu keadilan dan kesejahteraan dan menjadi pintu utama untuk menarasikan konsep-konsep HAM atau demokrasi melalui istilah lokal.
Selanjutnya, pengetahuan juga dapat diproduksi melalui keresahan-kerasahan yang dialami oleh masyarakat itu sendiri. Sebetulnya kita tidak perlu Marxisme untuk membuktikan bahwa hidup kita sengsara. Pengalaman masyarakat adalah teori dan konsep itu sendiri. Melalui keresahan tersebut, masyarakat memiliki imajinasi atas hidup seperti apa yang tidak sengsara? Hidup seperti apa yang adil dan apa itu kemakmuran?
Dari dua hal di atas, menarik untuk diketahui bagaimana sebetulnya masyarakat membicarakan korupsi? Bagaimana masyarakat membicarakan ada orang ditangkap oleh polisi secara semena-mena? Apa pengetahuan lokal kita atas demokrasi? Kita semua membenci kedua hal yang telah disebutkan itu, perlu ada upaya untuk mengkonsepkannya menjadi pengetahuan.
Sebagai contoh, dalam tulisan sebelumnya saya mencoba mendokumentasikan bahwa masyarakat Thailand mengkonsepkan keadilan dan anti kapitalisme melalui sebotol bir. Bir menjadi keseharian warga Thailand dan terdapat ancaman Ketika monopoli perusahaan bir berdampak pada sulitnya produksi bir lokal yang sarat dengan identitas mereka. Belakangan, saya dapat ke demonstrasi aktivis Myanmar dan mendengar kata-kata seperti ‘demokrasi’ terdapat dalam nyanyian mereka. Di Amerika Latin, Zapatismo dan MST menggabungkan teologi pembebasan, Marxisme, dan pengetahuan lokal untuk membentuk konsep demokrasi partisipatif.
Bagaimana dengan di Indonesia? Mungkin kita bicara soal masalah sehari-hari di warkop? atau keadilan adalah persoalan pertanian dan perairan? atau adakah identitas dan pengetahuan lokal yang akan membantu kita memahami keadilan dan kemakmuran atau HAM itu sendiri?
Pelajaran yang dapat diambil dari pengalam tersebut adalah konsepsi keadilan lahir dari pengalaman, perasaan termaginalisasi, teropresi, dan realita masyarakat. Human rights is not the only game in town. Dan yang terpenting, ada medium, identitas atau symbol yang menunjukan bahwa sebuah keadilan telah dilanggar atau merepresentasikan makna tertentu.
Lantas, bagaimana posisi HAM, Marxisme, dan pengetahuan eksternal lainnya? Pengetahuan tersebut masih sangat berguna sebagai referensi, motivasi, dan salah satu pintu untuk membahas suatu isu. Tanpa pandangan HAM, mungkin kita tidak sadar bahwa polisi tidak boleh brutal. Tanpa Marxisme, mungkin kita akan terjebak di gerakan apolitis. Referensi yang dapat diberikan pengetahuan eksternal berupa identifikasi atas apa yang seharusnya diterima warga, apa saja tanggungjawab negara, dan upaya-upaya yang dapat dilakukan.
Di Indonesia pasca-reformasi, sudah banyak usaha-usaha yang dilakukan untuk membuat pengetahuan baru melalui apropriasi konsep-konsep internasional. Bisa kita lihat bagaimana kita menyebut oligarki sebagai pangkal permasalahan, sebutan lord luhut, sindiran terhadap polisi. Itu adalah bentuk pengetahuan yang secara tidak sadar telah kita produksi.
Dalam riset yang saya lakukan, NGOs juga secara aktif melakukan pendidikan politik untuk mereproduksi konsep korupsi yang sesuai dengan situasi lokal. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan membawa studi kasus daerah, mendiskusikan dengan teman-teman dari daerah lainnya, analisa menggunakan konsep luar dan diintegrasikan dengan konteks lokal. Hasilnya adalah munculnya berbagai bahasa untuk menjelaskan korupsi: makan duit, kongkalikong, korupsi adalah haram.
Penutup
Masyarakat lokal sangat mungkin lebih paham dibanding kita Ketika membicarakan isu keadilan atau kesejahteraan. Belakangan saya menonont Sexy Killers lagi dan melihat bagaimana petani dan nelayan tergerak untuk melawan penguasa karena lahan tani, yang menjadi realita dan identitas mereka terancam. Hal ini kian menunjukan bahwa mereka tidak butuh HAM atau demokrasi atau ism-ism lainnya dalam memahami keadilan. Pengetahuan lokal membuat gerakan mereka lebih otomatis sehingga tidak membutuhkan lagi raising awareness.
Reproduksi pengetahuan dan pembentukan gerakan sosial juga hanya dapat terjadi apabila anggota gerakan memiliki kemampuan untuk mendengarkan. Sebagai aktivis yang berbasis di kota dengan berbagai pengalaman dan edukasi HAM, pemahaman yang kita miliki akan jelas berbeda dibandingkan apa yang sesungguhnya dialami smasyarakat.
Editor: Syahdan