Penulis: Miftahul Choir
Kiri ke kanan: Tawan, Bam. Sumber: Thai Lawyers for Human Rights
Sejak 16 Januari 2023 lalu, dua aktivis muda Thailand, Tawan Tuatalunon (Tawan, 21) dan Orawan Phuphong (Bam, 24) ditahan oleh pengadilan Thailand setelah keduanya mencabut kembali jaminan atas pembebasan bersyarat mereka, yang berarti mereka harus ditahan oleh pengadilan Thailand. Keduanya menuntut pemerintah Thailand untuk mereformasi sistem yudisial, membebaskan tahanan politik, serta mencabut Pasal 112, pasal karet di Thailand yang memidanakan kritik terhadap kerajaan.
Tidak hanya membatalkan jaminan pembebasan bersyarat, Bam dan Tawan juga memutuskan untuk melakukan aksi mogok makan dan minum terhitung 16 January 2023. Hingga saat ini, kondisi keduanya memburuk dan telah dipindahkan ke Rumah Sakit Universitas Thammasat.
Ditengah represi pemerintah Thailand yang sangat keras, tentu menjadi pertanyaan: mengapa mereka begitu berani untuk melakukan aksi ini? apa yang menjadi motivasi mereka? bagaimana mereka melihat dampak aksi ini terhadap hidup mereka? Karena yang mereka korbankan adalah nyawa, bukan lagi soal material.
Meskipun saya tidak sempat bertemu dengan Bam dan Tawan, saya mencoba memahami pemikiran mereka berdua melalui enam orang teman Bam dan Tawan yang saya temui. Mereka menjadi teman keluh kesah, diskusi, curhat sehingga mampu memberikan sedikit gambaran apa yang ada dipikiran Bam dan Tawan untuk melakukan aksi ini. Atas permintaan mereka, nama narasumber tidak akan dicantumkan dan rekaman hanya digunakan untuk kebutuhan pencatatan. Diluar dari penuturan teman-teman Bam dan Tawan, saya juga mengutip beberapa pernyataan dari media, NGOs, serta Facebook milik Bam dan Tawan yang saat ini digunakan untuk mengabari status mereka.
Tawan, merupakan mahasiswa hukum di Universitas Ramkhamhaeng. Dirinya memutuskan untuk kuliah di jurusan hukum agar dapat menjadi hakim di Thailand. Tawan datang dari keluarga yang boleh dikatakan cukup berada. Ayahnya merupakan seorang dosen, dan Tawan sendiri sempat sekolah di Singapura, hingga tahun 2021 lalu memutuskan kembali ke Thailand.
Sekembalinya ke Thailand, Tawan mengikuti berbagai protest pro-demokrasi yang ada di Bangkok. Ditengah Covid, dia melihat penanggulangan yang buruk, kesenjangan, serta protes pada Oktober 2020 lalu yang membuat banyak warga harus ditahan hanya karena membuat postingan Facebook atau berada di parade kerajaan.
Tawan bergabung dari satu kelompok ke kelompok yang lain. Dari pengalaman tersebut juga Tawan menyaksikan bagaimana banyak permasalahan didalam kelompok aktivis dan dirinya merasa terkekang jika harus bergabung dalam satu grup. Akibatnya, Tawan memutuskan untuk bergerakan secara independent. Solo Activism. Dia memercayai bahwa tidak akan ada yang membantu atau mendukung dia, dan dirinya pun tidak harus menggantungkan diri pada orang lain. Bergerak sendiri adalah satu-satunya cara untuk merealisasikan idealismenya.
Berbalik dengan Tawan, Bam, 24 tahun, datang dari keluarga dengan perekonomian sulit. Bam sempat berkuliah jurusan theater di salah satu perguruan tinggi swasta di Bangkok namun harus berhenti karena kesulitan ekonomi. Bam pertama kali ikut protest di tahun 2020, dalam demonstrasi menolak pemberhentian Perdana Menteri Prayuth Chan-O-Cha.
Radikalisasi politik Bam merupakan hasil dari pengalaman ayahnya yang merupakan supir taksi dan hidup di pinggiran kota Bangkok. Seperti kota-kota lainnya di Asia Tenggara, pembangunan di Thailand tersentralisasi di Bangkok sementara kota-kota lainnya tidak menyediakan lapangan pekerjaan atau fasilitas yang layak.
Pemikir-pemikir filsafat seperti Marx, Kant, atau isme-isme lainnya bukanlah menjadi sumber radikalisasi politik Bam dan Tawan. Pemikiran politik mereka bermula juga dari apatisme politik masyarakat Thailand. Menurut penuturan teman-temannya, Bam juga kesal dengan betapa apolitisnya warga-warga lain Thailand; bagaimana mereka bisa dengan mudah pergi ke konser, hidup dengan mudah, bersenang-senang, menganggap politik tidaklah penting dan tidak ada hubungannya dihidup mereka. Bahkan teman-teman Bam sendiri tidak peduli dengan politik. Menurut Bam, posisi mereka yang serba privilege membuat banyak orang tidak sadar dengan realita kesenjangan Bangkok dengan non-Bangkok, maupun jumlah warga yang ditahan akibat berbicara tentang kerajaan.
Menurut kedua aktivis ini, salah satu akar apatisme Thailannd adalah Artikel 112 yang membuat pembicaraan soal monarki harus yang bagus-bagus saja. Di rumah mungkin mereka dapat berbicara berbagai hal tentang kerajaan dengan catatan jangan dibawa keluar. Tentu saja hal tersebut menjadi pertanyaan kenapa tidak boleh? Sayangnya, pemikiran kritis kenapa tidak dialami oleh generasi Bam dan Tawan. Facebook dan sosial media lainnya kemudian menjadi kanal mereka mempelajari demokrasi, politik, eksposur terhadap hal-hal tabu di Thailand seperti pembantaian Thammasat 1973 hingga persoalan politik global.
Bam dan Tawan memiliki menyadari betul betapa rusaknya masyarakat Thailand dan aktivis lain pun tidak sepenuhnya bisa diandalkan. Mereka tidak bisa menunggu orang lain, harus melakukan sesuatu secepatnya. Teman-teman mereka sering mendengar bagaimana Bam dan Tawan selalu mengatakan wy not me? Mereka tidak percaya orang lain akan menolong. Yang mereka Yakini adalah jangan berhenti bicara. Demonstrasi harus dimulai dari satu orang, organic, tidak perlu menunggu figur tertentu. Mereka ingin menunjukan bahwa tiap orang memiliki kekuatan dan jika ada yang tidak puas dengan hal tertentu, ya langsung bergerak saja sendiri.
Mereka juga memiliki satu prinsip yang sama dan sederhana yaitu mereka tidak takut terhadap pemerintah, atau pun diktaktor, dan mereka tidak suka dihentikan. Mereka telah melihat orang-orang dari protest tahun 2020 tidak lagi muncul. Dari pemikiran tersebut, mereka berdua beranggapan bahwa jika tidak ada yang lagi yang melanjutkan protest, maka resistensi akan berhenti. Dibandingkan menunggu adanya figure lain, masing-masing dari Bam dan Tawan memutuskan untuk bergerak sendiri.
Bam dan Tawan bertemu di aksi polling publik terkait parade kerajaan yang dilaksanakan di pusat perbelanjaan Siam Paragon. Aksi tersebut dipromosikan melalui sebuah postingan Facebook dan siapa pun yang melihat dan tertarik dapat bergabung. Polling yang dimaksud disini adalah dengan cara membawa papan seukuran badan dengan kalimat-kalimat seperti “apakah monarki harus direformasi” serta berbagai kalimat lainnya seringas orang yang lewat akan menempelkan label di bagian setuju atau tidak setuju.
Bam dan Tawan kebetulan mendapat papan kalimat yang sama. Tawan pun kemudian melakukan live broadcast dalam aksi tersebut dan mengajak penonton mempertanyakan parade kerajaan. Pasca aksi tersebut, Bam dan Tawan dianggap melakukan penghinaan terhadap kerajaan dan mendapat laporan Pasal 112. Sebelum ditahan, rumah Bam sempat didatangi dua orang yang mengaku berasal dari kepolisian dan alamat rumahnya tersebar di internet serta dituduh sebagai aktor kerusuhan di Thailand. Selain Bam dan Tawan, kedua teman mereka, Sopon Surariddhihamrong (Get, 24) dan Nutthanit Duangmusit (Baipor, 21) juga ditahan dan dibebaskan bersyarat. Mereka berempat ditahan hanya karena menempelkan stiker dalam polling.
Pasal karet ini dapat dilaporkan oleh siapa pun, dari mana pun. Apabila laporan datang dari Utara Thailand dan terlapor ada di Bangkok, maka dia harus pergi ke lokasi dilaporkan.
Bam dan Tawan kemudian ditahan, tanpa proses pengadilan dan pemeriksaan. Bam dibebaskan secara bersyarat setelah membayar jaminan sebesar 100,000 Baht dan diwajibkan menggunakan electronic monitoring (EM). Dana tersebut terkumpul dari berbagai donasi aktivis yang tergabung di Sidhi-Issara Foundation. Keterbatasan dana membuat Tawan harus ditahan dan melakukan mogok makan selama 37 hari, sampai dibebaskan dengan jaminan yang sama.
Menggunakan EM berarti setiap pergerakan Bam dan Tawan dipantau oleh pemerintah. Saat tidur, kerja, sekolah, saat sedang dugem. Mereka tidak diperbolehkan meninggalkan Thailand dan selama beberapa waktu sekali harus melaporkan diri ke pengadilan. Mereka juga tidak diperbolehkan mengikuti aksi demonstrasi. Dalam kasus Tawan, dirinya diwajibkan berada di rumah selama 24 jam, sebelum akhirnya diberlakukan batas malam hingga pukul 10 malam setelah mengajukan permohonan ke pengadilan. Jika melanggar aturan tersebut, maka jaminan mereka dapat dicabut. Menurut teman-teman mereka, posisi Bam dan Tawan sudah seperti tahanan rumah yang dialami oleh Aung San Suu Kyi.
Sejak 2020, semakin banyak aktivis Thailand yang ditangkap akibat 112 dan dipaksa menggunakan EM. Mungkin hal tersebut yang membuat frekuensi demontrasi di Thailand berkurang selama dua tahun kebelakang. Namun, Bam dan Tawan terus mengikuti berbagai aksi mulai dari pameran, aksi melepas EM, hingga demonstrasi menolak APEC 2022 pada bulan November lalu. Dalam demonstrasi tersebut, Bam dan Tawan menuntut Xi Jinping untuk membebaskan Hongkong serta pembantaian di Uyghur.
Pasca demonstrasi APEC 2022, Get dan Baipor, yang juga sempat ditahan akibat Pasal 112 dan mendapat pembebasan bersyarat yang sama, mendapat panggilan dari pengadilan akibat aktivitas mereka berdua di protest APEC yang dianggap melanggar persyaratan pembebasan. Pada 9 Januari 2023, Get dan Baipor dinyatakan telah melanggar kebebasan mereka dan kembali ditahan.
Bam dan Tawan juga mengikuti demonstrasi APEC 2022. Tawan sempat dipanggil bersama Get dan Baipor, namun pengadilan memutuskan untuk menunda investigasi terhadap Tawan. Sehingga, Tawan terbebas dari penahanan. Menurut aktivis Thailand, ini merupakan salah satu strategi pecah belah dan psikologis yang lazim dilakukan oleh pemerintah Thailand.
Disaat kedua teman mereka, Get dan Baipor, secara tidak adil ditahan, Bam dan Tawan memutuskan untuk bersolidaritas terhadap mereka. Pada 16 January 2023, Bam dan Tawan datang ke Ratchada Criminal Court dan mengumumkan mereka berdua akan menarik kembali jaminan pembebasan bersyarat yang telah mereka dapatkan. Selain bentuk solidaritas terhadap Get dan Baipor, Bam dan Tawan juga menuntut pencabutan 112 dan pembebasan tahanan politik. Dalam kata lain, secara sukarela mereka memutuskan untuk kembali ke penjara. Pernyataan tersebut dilanjutkan dengan membasuhi tubuh mereka dengan cat merah.
Dua hari setelah mereka berdua ditahan, Bam dan Tawan memutuskan untuk memulai mogok akan dan minum. Per artikel ini ditulis (31/1), sudah 14 hari Bam dan Tawan tidak mengkonsumsi apapun. Menurut berbagai penelitian, manusia hanya bertahan selama satu minggu tanpa makan dan minum. Melalui aksi ini, Bam dan Tawan mengorbankan diri mereka sendiri demi demokrasi di Thailand. Mereka menyandera pemerintah Thailand agar tuntutan mereka terpenenuhi. Jika mereka meninggal, itu merupakan kejahatan pemerintah Thailand dan dunia harus tahu hal tersebut.
Kondisi Bam dan Tawan terus memburuk hari per hari mereka mogok makan, namun pengacara dan publik tidak menuntut mereka berhenti, justru mendukung. Pada 22 Januari 2023, Tawan tidak sadarkan diri dan kepalanya menabrak lantai. Tawan kemudian dibawa ke rumah sakit yang berada di tahanan, namun menolak CT Scan dan infus. Keduanya mengalami penurunan yang cukup drastis, hingga 5 kilograf. Kondisi keduanya memburuk hingga tidak mampu lagi berjalan atau bahkan duduk secara tegak. Salah satu pengacara mengatakan bahwa mereka harus bersandar satu sama lain. Saat ini, mereka berdua tengah dirawat di rumah sakit Universitas Thammsat.
Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, keputusan untuk mogok makan bukanlah pertama kalinya. Pada Maret 2021 lalu, Tawan sempat ditahan akibat membuat polling online dan live broadcast parade kerajaan di Facebook. Setelah mogok makan selama 37 hari, Tawan dibebaskan secara bersyarat dengan membayar jaminan sebesar 100,000 Baht dan diwajibkan untuk menggunakan EM yang dapat memantau lokasi mereka.
Tawan memutuskan untuk melakukan aksi mogok makannya yang pertama dua hari setelah penahanannya. Dia melihat aktivis-aktivis di tahun 2020 seperti Penguin dan Rung juga melakukan hal yang sama dan dirinya melihat hal tersebut bisa dilakukan untuk memberi tekanan kepada pemerintah. Keputusan untuk mogok makan dibuat oleh dirinya sendiri; kembali lagi pada prinsip bergerak secara independent, Tawan tidak peduli dengan himbauan orang lain.
Dirinya kemudian mengkomunikasikan keputusan untuk mogok makan tersebut ke pengacaranya. Awalnya, Tawan berencana untuk mogok makan sepenuhnya, namun kemudian menerima untuk hanya minum satu kotak susu dan air mineral dalam satu hari setelah dibujuk oleh pengacaranya. Pengacara Tawan kemudian mengkomunikasikan rencana mogok makan ini ke Get, tahanan politik lainnya akibat kasus aktivitas polling publik. Get kemudian memutuskan untuk melakukan aksi mogok makan yang sama. Beberapa kemudian, Baipor, yang ditahan akibat kasus yang sama, juga melakukan aksi mogok makan.
Pengalaman mogok makan pertama tersebut tentu saja memberikan dampak besar bagi Tawan. Permohonannya untuk dibebaskan dengan jaminan ditolak berkali-kali oleh pengadilan sehingga aksinya harus terus lanjut. Dirinya pun mengetahui cepat atau lambat mungkin fisiknya tidak mampu bertahan. Didalam sel berisi 20 tahanan dan hanya dapat tidur di ukuran dua lantai, Tawan memutuskan untuk melanjutkan aksinya.
Saya tidak memiliki pengalaman dengan aksi-aksi revolusionis yang dilakukan oleh Bam dan Tawan. Agak sulit untuk memahami kenapa keputusan untuk kembali ke penjara dan mogok makan dapat dibuat dengan mudah. Banyak pertanyaand muncul: bagaimana dengan orang tua? Bagaimana dengan masa depan dan karir mereka? Salah satu teman mereka mengatakan bahwa Tawan benar-benar mengatakan “ya kalau gw meninggal ya gapapa”. Teman-teman mereka pun tidak menyuruh mereka berhenti, bahkan mendukung dan memberikan bantuan yang dibutuhkan.
Berbeda orang-orang tua di Thailand yang cenderung konservatif dan pro-diktator, orang tua Bam dan Tawan mendukung keputusan untuk mogok makan. Walaupun kenyataannya orang tua mereka baru mengetahui setelah berita tentang mogok makan tersebar di media. Dukungan kedua orang tua membuat Bam dan Tawan tidak perlu lagi untuk membujuk-bujuk dan merasionalisasi keputusan mereka.
Bam sempat bekerja di klinik kecantikan sampai dirinya dipecat akibat kedapatan memiliki EM. Tempat kerjanya yang lama memecat Bam dengan alasan takut akan menakuti pelanggan. Setelah pemecatannya, Bam tidak mendapat pekerjaan tetap, dan bergantung dengan membantu toko kopi atau menjual bir pada acara-acara tertentu. Pada November 2022 lalu, Bam menulis surat kepada pengadilan untuk memohon pencabutan EM karena dapat menyulitkan pencarian pekerjaan. Namun, Bam tetap memiliki keyakinan bahwa pasti akan ada tempat kerja yang akan menerima mereka.
Selama proses mogok makan kali ini serta protes-protest lainnya, Bam dan Tawan mendapat banyak serangan dari masyarakat Thailand. Banyak yang mengatakan demonstrasi yang mereka lakukan akan membuat turisme di Thailand akan menurun sehingga perekonomian juga akan buruk. Sementara masih banyak juga yang menormalisasi kriminalisasi terhadap kritikus monarki.
Bahkan, aktivis pro-demokrasi juga mempertanyakan keaslian mogok makan yang dilakukan Bam dan Tawan. Masih banyak yang pertanyaan seperti kenapa mereka masih hidup? Ketika ditanya mengapa masih ada aktivis yang berpikir demikian, teman-teman Bam dan Tawan hanya berkata they are just fucked up, no other explanation.
Menurut penuturan teman-teman mereka, Bam dan Tawan tidak memikirkan masa depan mereka. Bukan dalam artian mereka pemalas atau tidak peduli, tetapi beranggapan bahwa jika terlalu banyak memikirkan masa depan, maka mereka akan takut.
Mereka memang tidak memikirkan diri sendiri, kebebasan di Thailand adalah yang ada di pikiran mereka. Seperti orang-orang lain di usia 20 tahunan, Bam dan Tawan juga ingin datang ke konser musik, kehidupan malam, dan bersenang-senang. Mereka juga jelas mengetahui bahwa masih banyak yang perlu dituntut dari pemerintah: upah rendah, transportasi mahal, peraturan soal gaya rambut. Mereka memercayai bahwa demokrasi di Thailand akan berdampak pada semua orang, termasuk pendukung kerajaan atau pun pihak yang melaporkan mereka.
Hal lain yang sulit dimengerti dari Bam dan Tawan adalah keyakinan mereka pro-demokrasi akan menang di Thailand. Meskipun kenyatannya dan seperti yang sering mereka pikirkan, masyarakat Thailand sangat apolitis, kekuatan militer sangat kuat dan kerajaan Thailand telah berdiri selama ratusan tahun. Ketika saya bertanya apakah keyakinan mereka tidak realistis, langsung dibantah walaupun dengan nada pesimis.
Keyakinan bahwa pro-demokrasi akan menang seakan seperti agama. Mungkin keadan semakin mengecewakan, tidak realistis, tetapi itulah yang membuat mereka tetap hidup dan terus berjuang hingga sekarang. Bam dan Tawan memegang prinsip this has to end in our generation sehingga anak cucu mereka tidak perlu lagi ditahan atau mendapat represi akibat memperjuangkan hak-hak mereka sendiri. Menurut penuturan teman-teman mereka, hal tersebut lah yang kemudian menjadi motivasi mereka untuk mengorbankan diri mereka sendiri.
Sama seperti aktivis lainnya, tentu dalam satu titik mereka merasa kalah. Namun, mereka juga memiliki keyakinan bahwa setiap bangun di pagi hari, selalu ada hal baru dapat dilakukan, tidak perlu menunggu bantuan orang lain, semua dapat dilakukan sendiri.
Banyak hal yang dapat dipelajari dari pengalaman Bam dan Tawan. Aktivisme seharusnya tidak sulit, akan sulit jika kita overthink dan terlalu mengambil pusing tanggapan orang lain. Bagi mereka, keputusan untuk membatalkan pembebasan bersyarat adalah keputusan mudah, tidak perlu kalkulasi strategis, politis atau lainnya. Juga tidak perlu menunggu orang lain untuk memulai. Revolution won’t be televised. Kalau ramai ya bagus, kalau tidak ya tidak apa-apa. Selagi ada yang bisa dilakukan, apapun akan mereka lakukan.
Pengalaman mereka juga membantah berbagai penelitian dan pandangan akademis yang menganggap aktivisme di negara diktator akan sulit karena tertutupnya kanal politik. Aksi yang dilakukan Bam dan Tawan justru menunjukan bahwa mereka lah yang membuat kanal politik itu sendiri, tidak perlu bergantung pada pemerintah. Diktaktor akan terus menjadi diktaktor — justru rakyat yang harus menyandera mereka. Berkat aksi yang dilakukan oleh Bam dan Tawan, protest melawan Pasal 112 dan kerajaan Thailand yang sempat ramai di tahun 2020, melesu selama 2021–2022, akhirnya ramai kembali.
Namun, tulisan ini tidak mengajurkan aktivis di Indonesia untuk menjadikan apa yang dilakukan oleh Bam dan Tawan sebagai standar aktivisme. Tentu saja terdapat konteks dan latar belakang yang berbeda sehingga mungkin tidak dapat dilakukan di Indonesia. Terdapat berbagai cara yang dapat dilakukan melawan otoriter, jika anda mengetahui cara yang tepat dan yakin untuk itu, maka langsung lakukan tanpa perlu memikirkan tanggapan orang lain.
menumbangkan otoritarianisme di Asia Tenggara.
Penulis ada mahasiswa Indonesia yang tengah menjalani studi di Thailand. Dapat dihubungi melalui [email protected]