Penulis: Revin Muhammad Alsidais, Weltri Bakara Febian, Nadia
Gerak-Bergerak-Pergerakan-Penggerak. Kata-kata tersebut tidak lagi terdengar asing, namun untuk menggagas arti pastinya, seringkali seseorang harus menebak-nebak. Apa itu pergerakan? Mengapa harus bergerak? Kemanakah arah gerakan ini? Secara sederhana, sebuah pergerakan memiliki tiga elemen dasar; status-quo, proses perubahan, dan tujuan. Pergerakan selalu dimulai oleh ketidakpuasan terhadap suatu keadaan. Misalnya, saat seseorang beranjak dari kasur, pergerakan dapat dimaknai sebagai ketidakpuasannya untuk terus merebah sepanjang hari. Pergerakan adalah kodrat manusia itu sendiri — sejarah menunjukan bahwa tidak ada status-quo yang berlangsung selamanya. Para penggerak sering melakukan kekeliruan dengan menyatakan bahwa ada satu tujuan yang final dari pergerakan. Tujuan yang final — kami rasa — tidak akan pernah tercapai, karena saat tujuan tersebut tercapai, tujuan tersebut menjadi status-quo baru yang akan kembali mengalami perubahan.
Pada sejarah Indonesia, mahasiswa menjadi bagian yang integral dari pergerakan dan perubahan. Dimulai dari Boedi Oetomo, dilanjutkan oleh Sumpah Pemuda. Mahasiswa kemudian berperan aktif dalam mengakhiri kekuasaan Orde Lama dan Orde Baru. Gerakan mahasiswa tidak berhenti di sana — pergerakan mahasiswa pada Era Reformasi terus berjalan sampai hari ini. Sesuai dengan sifat pergerakan yang tidak dapat mendefinisikan tujuan finalnya, gerakan mahasiswa juga mengalami perubahan makna dan identitas. Kami berpendapat bahwa gerakan mahasiswa pada hari ini, meskipun bergerak dalam bingkai demokrasi konstitusional, tengah mengalami disorientasi. Demokrasi Reformasi ternyata memberikan berbagai disrupsi yang membuat gerakan mahasiswa kehilangan identitas dan peranannya. Disorientasi ini menimbulkan gerakan yang cenderung hanya performatif alih-alih progresif. Oleh karena itu, untuk menjadi penggerak perubahan, kami mencoba untuk mencari identitas dan makna yang hilang dari gerakan mahasiswa itu sendiri.
Dekonstruksi Identitas Klasik Mahasiswa
Kami mengidentifikasi lima peranan tradisional mahasiswa yang disematkan oleh negara dan masyarakat: agen perubahan (agent of change); kontrol sosial (social control); iron stock; kekuatan moral (moral force); dan penjaga nilai (guardian of value). Sadar atau tidak, peran-peran ini membentuk pemahaman identitas mahasiswa secara intersubjektif, baik pemahaman internal mahasiswa terhadap dirinya sendiri maupun pemahaman eksternal negara dan masyarakat sebagai struktur sosial dan politik terhadap mahasiswa. Sebagaimana identitas suatu agen sosial dapat mempengaruhi perilakunya, identitas seorang mahasiswa tentunya juga akan mempengaruhi gerakan dan aktivisme yang ia perjuangkan. Oleh karena itu, perlu peninjauan ulang peranan mahasiswa demi membentuk gerakan mahasiswa yang ideal.
Berdasarkan lima peran yang telah disinggung di atas, kami merangkum kekuatan moral, penjaga nilai, serta kontrol sosial menjadi satu. Hal ini disebabkan kekuatan moral sendiri diartikan sebagai peran mahasiswa dalam menjadi “contoh” moral bagi lingkungan sekitarnya berdasarkan nilai-nilai moral yang sudah ada — sementara nilai moral yang ada tidak selalu netral, melainkan dibentuk oleh nilai-nilai dinamis dan tidak steril dari relasi kuasa. Pada akhirnya, peranan ini memiliki kesamaan yang besar dengan peran penjaga nilai yang menekankan peran mahasiswa untuk menjaga nilai-nilai sarat relasi kuasa tersebut. Kedua peranan ini kemudian direalisasikan dalam fungsi mahasiswa sebagai salah satu agen dalam mekanisme kontrol sosial. Oleh karena itu, sintesis peran klasik social control mahasiswa berarti mahasiswa seharusnya berperan sebagai agen kontrol sosial yang berusaha mewujudkan konformitas agen-agen lainnya terhadap nilai-nilai moral dan norma status-quo yang tertanam pada struktur sosial di tingkat kampus, masyarakat, dan negara.
Peran mahasiswa sebagai iron stock memiliki arti bahwa mahasiswa adalah “calon penerus bangsa” yang nantinya akan menduduki jabatan-jabatan strategis di segala bidang. Jika peran iron stock ini direalisasikan bersama dengan peran kontrol sosial, akan timbul realitas di mana mahasiswa belajar di perguruan tingginya untuk menjadi calon-calon pelanggeng tatanan sosial status-quo. Kami melihat kontradiksi dua peranan klasik ini dengan peranan klasik ketiga; mahasiswa sebagai agen perubahan. Jika peranan agen perubahan diartikan sebagai agen-agen yang menghendaki dan mengusahakan terjadinya perubahan pada tatanan sosial, maka peranan kontrol sosialtentunya akan menghambat atau bahkan bertabrakan dengan perubahan yang coba diwujudkan oleh agen perubahan.
Kontradiksi yang muncul pada peran-peran mahasiswa di atas perlu dikontekstualisasikan dengan sejarah pergerakan mahasiswa itu sendiri. Pasalnya, label kontrol sosial, iron stock, serta agen perubahan merupakan label yang dikonstruksikan oleh pemerintahan Orde Baru.¹ Labelisasi tersebut mengonstruksikan peran mahasiswa sebagai penghuni menara gading yang hanya gerakannya terbatas berupa performative activism. Pada akhirnya, gerakan mahasiswa akan terus terjebak dalam hegemoni nilai serta norma status-quo yang sama karena tidak memiliki imajinasi sosiologi dan politik. Label-label tersebut juga menjebak mahasiswa pada romantisasi heroisme palsu yang membatasi perannya sebagai salah satu elemen masyarakat sipil. Padahal, pengaruh mahasiswa dalam relasi kuasa negara-rakyat tidak besar.
Reapropriasi Peran Mahasiswa
Kami berpendapat bahwa ketiga label peranan mahasiswa yang telah dikritisi tersebut, meskipun memiliki nilai-nilai yang kontradiktif, dapat direapropriasi serta diklaim kembali oleh mahasiswa itu sendiri. Reapropriasi ini akan dilakukan dalam tiga langkah. Pertama, rekonstruksi peranan mahasiswa. Kedua, penyesuaian peranan tersebut agar dapat menjadi dasar gerakan yang progresif dan bermanfaat. Ketiga, mengonstruksikan gerakan mahasiswa di tengah dikotomi gerakan moral dan politik.
Pertama, dalam merekonstruksi identitas mahasiswa, kami berpendapat bahwa peran kontrol sosialdan agen perubahan merupakan dikotomi yang perlu dilampaui. Di sisi lain, konsep iron stock klasik sendiri dapat dilihat sebagai usaha elite dalam menahan mahasiswa dalam menara gadingnya. Jika kita melihat mahasiswa sebagai iron stock, maka perubahan yang ia kehendaki seharusnya dilakukan pada saat ia sudah lulus dan memegang jabatan yang ‘memungkinkannya’ untuk mewujudkan perubahan yang ia kehendaki saat menjadi mahasiswa. Permasalahan muncul saatmahasiswa sebagai agen sosial, meskipun nantinya akan memegang jabatan sebagai elit, akan terus dibatasi oleh struktur yang menaunginya.² Oleh karena itu, perubahan tidak dapat dilakukan secara individual, melainkan secara kolektif dan struktural.
Jika ia mengidentifikasikan dirinya sebagai kontrol sosial dan iron stock, maka mahasiswa akan kehilangan kesempatannya dalam melakukan perubahan sebagai agent of change. Sebagai contoh, agen kontrol sosial seharusnya menyikapi isu kekerasan seksual berdasarkan nilai dan norma patriarkis yang ada karena fungsinya untuk mewujudkan konformitas terhadap status-quo. Iron stock seharusnya menyikapi UU Cipta Kerja dengan pasif dan menunggu waktunya memegang kekuasaan untuk melakukan perubahan. Lantas, kami berpendapat bahwa peran mahasiswa yang ideal adalah sebagai agen perubahan yang mendorong terjadinya perubahan-perubahan sosial politik secara strategis tanpa terjebak dalam konformitas nilai dan norma status-quo. Tidak hanya itu, peran sebagai kontrol sosial juga perlu direapropriasi sebagai kontrol politik (political control)serta kelompok penekan (pressure group) yang bergerak bersama-sama sebagai lapisan masyarakat sipil dalam menyikapi kebijakan-kebijakan yang merugikan masyarakat — mengingat apabila perubahan yang dikehendaki ini terjadi secara struktural, maka peran mahasiswa sebagai iron stock tidak lagi menjadi masalah, sebab struktur yang akan mereka tempati akan memiliki nilai dan norma yang sejalan dengan arah gerakan mahasiswa itu sendiri.
Setelah menemukan peranan yang sesuai dengan cita-cita progresif gerakan mahasiswa, kita perlu mengontekstualisasikannya ke dalam realitas yang ada. Oleh karena itu, perlu ditekankan bahwa mahasiswa adalah salah satu agen perubahan (an agent of change), alih-alih Sang Agen Perubahan (The Agent of Change). Mahasiswa adalah salah satu kelompok penekan (one of the pressure groups), bukannya Sang Kelompok Penekan (The Pressure Group). Hal ini dikarenakan pengaruh mahasiswa dalam perubahan sosial politik sebenarnya sangat terbatas. Peristiwa keruntuhan Orde Baru yang sering diromantisasi sebagai aksi heroik mahasiswa dalam meruntuhkan rezim tiran, misalnya, merupakan hasil dari perjuangan berbagai lapisan masyarakat sipil dan konsolidasi elit. Oleh karena itu, mahasiswa tidak dapat merasa jumawa dan elitis, melainkan perlu melebur, berjejaring, dan berkonsolidasi dengan agen-agen perubahan dan kelompok-kelompok penekan yang ada di lapisan masyarakat sipil untuk melakukan kontrol politik serta mewujudkan perubahan yang nyata.
Kita telah sampai pada langkah ketiga dalam merekonstruksi identitas gerakan mahasiswa. Sunyoto Usman pada tahun 1999 memberikan diagnosis yang cukup tajam mengenai arah gerakan mahasiswa.³ Ia mempertanyakan esensi dari gerakan mahasiswa; apakah gerakan mahasiswa adalah gerakan moral, ataukah gerakan politik? Gerakan moral “bersifat membela rakyat agar tidak dieksploitasi oleh rezim penguasa”, “menekankan pada membangun atensi”, serta melihat “energi mahasiswa seharusnya diletakan sebagai kekuatan penggerak perubahan ketika institusi birokrasi dan institusi politik tidak mampu melakukan peran sesuai dengan tuntutan sektor publik” dan “posisi mahasiswa berada di luar institusi birokrasi dan di luar institusi politik, namun tetap melakukan fungsi kontrol politik”.⁴ Di sisi lain, gerakan politik “lebih terarah pada upaya menciptakan aksi atas dasar kepentingan politik tertentu, serta mempertahankan kekuasaan dan kekuatan politik yang telah diraih atau dimilikinya”, serta melihat “energi mahasiswa harus ditempatkan sebagai kekuatan riil dalam percaturan politik” dan “posisi mahasiswa . . . sebagai aktor politik yang memiliki kemampuan menerapkan kebijaksanaan politik tertentu”.⁵
Kedua gerakan mahasiswa ini memiliki kelemahan dan kritiknya masing-masing. Gerakan moral, dikarenakan prinsipnya yang menekankan kemurnian niat mahasiswa yang anti-pamrih, seringkali memisahkan diri dari rakyat, tidak membangun basis massa dan aliansi, reaksioner, regresif, dan menghilangkan prinsip-prinsip radikalnya.⁶ Di sisi lain, gerakan politik, meskipun menekankan kewajiban gerakan mahasiswa untuk membangun jaringan dengan kelompok-kelompok masyarakat tertindas, rentan terjebak dalam vested interest elite dan kooptasi. Kedua prinsip gerakan ini perlu dipahami sebagai reaksi satu sama lain. Seperti yang diamati Edward Aspinall, kooptasi gerakan politik pada awal Orde Baru menghasilkan gerakan moral Gie dan Budiman.⁷ Ketidakpuasan gerakan ini kemudian menghasilkan gerakan politik yang menumbangkan Orde Baru.⁸ Pada era reformasi sendiri, gerakan politik lagi-lagi terkooptasi saat aktor-aktor gerakan kemudian pihak-pihak yang juga melanggengkan status-quo, sehingga gerakan mahasiswa kembali mengambil palingan moralis yang dimanifestasikan oleh organisasi moderat-reaksioner-religius.⁹
Dikotomi gerakan moral-politik dalam gerakan mahasiswa Indonesia merupakan diskursus yang belum selesai. Ketiadaan sintesis dari dilema gerakan mahasiswa sendiri berpotensi memecah belah gerakan mahasiswa dan mencegah terjadinya konsolidasi yang sangat dibutuhkan untuk menyiasati ketimpangan relasi kuasa dengan elite negara. Kami berpendapat bahwa dialektika tersebut dapat diatasi dengan melihat mahasiswa sebagai intelektual organik (organic intellectual). Intelektual organik, menurut Gramsci, memberi wawasan tentang bahasa pengetahuan dan bahasa ekspresi yang tepat agar masyarakat dapat mengartikulasikan hal-hal yang ia rasakan dan pikirkan.¹⁰ Intelektual organik dibedakan dengan intelektual tradisional, yaitu intelektual yang menempatkan dirinya sebagai strata yang terpisah dari masyarakat dan tinggal di menara gading.¹¹ Mahasiswa dapat dikategorikan sebagai intelektual karena memiliki kapital ekonomi, sosial, dan budaya yang lebih besar daripada masyarakat pada umumnya. Mahasiswa sejatinya memiliki privilese di atas 89% angkatan kerja yang tidak pernah mengenyam pendidikan tinggi.¹²
Dengan melihat gerakan mahasiswa sebagai gerakan intelektual organik, gerakan mahasiswa harus melampaui dikotomi gerakan moral dan politik. Gerakan mahasiswa tidak dapat bersemayam di menara gading serta ogah beraliansi dan berjejaring layaknya gerakan moral. Gerakan mahasiswa juga tidak boleh banyak berkompromi dengan kepentingan elit, karena kepentingan yang ia perjuangkan adalah kepentingan masyarakat tertindas. Gerakan mahasiswa adalah gerakan moral sekaligus gerakan politik, dengan tidak menafikan kenaifan karakteristik kedua gerakan tersebut.
Berdasarkan tiga langkah reapropriasi peran mahasiswa tersebut, kami menyimpulkan bahwa gerakan mahasiswa idealnya harus menjalin hubungan resiprokal dengan masyarakat, progresif, berkelanjutan, melakukan kontrol politik, dan menjadi agen perubahan dengan mendorong diskursus-diskursus alternatif sebagai kontra hegemoni. Gerakan mahasiswa ini, dengan mahasiswa serta organisasinya didalamnya, hanyalah satu dari sekian banyak gerakan-gerakan yang berfungsi sebagai kontrol politik dan berusaha mewujudkan perubahan sosial. Oleh karena itu, mahasiswa perlu menanggalkan kesombongan heroismenya, namun tetap menjalankan perannya untuk menyuarakan dan memperjuangkan hak-hak kaum tertindas.
Catatan Kaki
[1] Novianto, Arif. “Pergulatan Gerakan Mahasiswa dan Kritik Terhadap Gerakan Moral.” Indonesia Bergerak II, Yogyakarta: Pustaka Pelajar (2016): 195–196.
[2] Bhaskar, Roy. (1982). Emergence, Explanation, and Emancipation. Dalam Explaining human behavior: Consciousness, human action, and social structure. Beverly Hills: Sage Publications: 286
[3] Usman, Sunyoto. “Arah Gerakan Mahasiswa: Gerakan Politik Ataukah Gerakan Moral?.” Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 3, no. 2 (1999): 146–163.
[4] Ibid: 159–161.
[5] Ibid.
[6] Novianto, Arif. Op.cit: 194–227
[7] Aspinall, Edward. “Indonesia: moral force politics and the struggle against authoritarianism.” Student activism in Asia: Between protest and powerlessness (2012): 172.
[8] Novianto, Arif. Op.cit: 214–216.
[9] Ibid.
[10] Maulana, S. “Ruang Publik dan Intelektual Organik.” (2015): 124.
[11] Ibid: 123.
[12] Damanik, C. (2017, 21 Mei). Menristek Dikti Prihatin Jumlah Lulusan SARJANA Indonesia Kalah dari Malaysia. Diakses 22 Januari 2021 dari https://regional.kompas.com/read/2017/05/21/17445991/menristek.dikti.prihatin.jumlah.lulusan.sarjana.indonesia.kalah.dari.malaysia.
Editor: Syahdan