Penulis: Miftahul Choir
Sejak Bam dan Tawan memutuskan untuk mencabut jaminan pembebasan bersyarat, kembali ke penjara dan memulai mogok makan, serangkaian aksi demonstrasi berlangsung di berbagai kota di Thailand. Di Bangkok, dua titik yang kerap menjadi lokasi demonstrasi adalah di Bangkok Arts and Cultural Center (BACC) dan Ratchada Criminal Court.
BACC, merupakan salah satu pusat kesenian yang dijadikan sebagai ruang untuk memamerkan film, seni lukis, musik, hingga teater. Letaknya di pusat kota Bangkok, BACC berdekatan dengan pusat perbelanjaan MBK Centre, Siam Paragon, Central World, Samyan Mirtown serta bertepatan dengan stasiun Bangkok Train System (BTS) National Stadium, Siam dan Ratchathewi membuat lokasi ini menjadi lokasi yang strategis untuk berdemontrasi. Wilayah ini merupakan salah satu wilayah yang sering dikunjungi oleh turis dan juga warga Bangkok. Belum lagi, tidak lebih dari 500-meter dari gedung tersebut juga terdapat Universitas Chulalongkorn.
Tepat dibawah jembatan penyebrangan dan tangga dari stasiun BTS National Stadium di plataran BACC para demonstran menampilkan berbagai wajah-wajah yang saat ini tengah ditahan atau pernah ditahan — tidak hanya Bam dan Tawan. Menurut Thai Lawyers for Human Rights (TLHR), pada bulan Desember 2022 terdapat 1,188 orang didakwa melanggar Pasal 112. Sebanyak 283 diantaranya merupakan anak-anak.
Poster membentang di pusat kota Thailand. Sumber: Dokumentasi Penulis
Salah satu massa aksi mengatakan bahwa solidaritas terhadap tahanan politik menurun dibanding di tahun 2020. Salah satu yang menyebabkan kemunduran tersebut selain represif pemerintah adalah massa aksi 2020 yang didominasi oleh mahasiswa sudah memiliki kesibukan lain dan ‘menyerah’ dengan situasi di Thailand. Aksi mogok makan Bam dan Tawan menjadi momentum untuk meningkatkan kembali kesadaran masyarakat.
Di saat Bam dan Tawan melakukan mogok makan, teman-teman di BACC memutuskan untuk menginap di pelataran BACC hingga Bam, Tawan, dan tahanan politik lainnya dibebaskan. Mereka rela berdemonstrasi di tengah pekan, mereka percaya bahwa kebebasan berpendapat merupakan hal yang fundamental di Thailand dan dapat menyelesaikan berbagai persoalan. Dengan berbicara, mereka berharap dapat menuntut pertanggungjawaban dari pengeluaran keuangan kerajaan.
Terdapat kamp sementara untuk massa aksi yang memutuskan untuk menginap di BACC. Beberapa tidur di pelataran BACC, dimana disediakan selimut dan karpet bagi mereka. Jelang malam tiba dan udara Bangkok semakin dingin, massa aksi menyiapkan makanan bagi siapapun yang menghampiri demonstrasi atau yang membutuhkan makanan, serta selimut dan terpal bagi yang ingin menginap di halaman BACC ini.
tata letak demonstrasi: panggung, camp terletak dibelakang panggung, dan dinding dengan potret dari tahanan politik.
Tidak ada susunan acara detail dalam demonstrasi ini. Sesekali, terdapat 1–2 orang (atau lebih) yang berdiri dengan membawa banner dan turis atau warga Thailand memfoto orang tersebut. Sesekali musik tradisional Thailand dimainkan dan secara spontan beberapa orang akan berdansa dengan musik tersebut. Terdapat juga lapak buku yang menjual novel, buku anak-anak, dan sedikit buku kiri atau politik. Di sore hari, biasanya digelar diskusi publik secara singkat. Dalam demonstrasi ini, tidak hanya aktivis muda, tetapi juga terdapat orang tua yang telah menyaksikan kudeta 2007 maupun pembantaian Thammasat 1973.
Selain di BACC, protes juga dilaksanakan di depan gedung Ratchada Criminal Court. Setiap hari saya melewati gedung tersebut di pagi hari dan selalu terpampang jelas poster-poster solidaritas terhadap Bam dan Tawan serta pencabutan artikel 112 masih terpajang di pagar gedung. Massa aksi biasanya mulai berdatangan ke lokasi mulai jam 10 pagi dan akan tetap berada di lokasi hingga pukul 7 malam. Lokasi Ratchada Criminal Court tidak seramai BACC, berlokasi 8 km dari pusat kota Bangkok dan tidak banyak pusat komersial. Tentu saja ada fungsi di balik dipilihnya lokasi ini, di sini massa aksi berhadapan langsung dengan apparatus pemerintah, mereka dapat mengirim surat ke kejaksaan, menunggu putusan pengadilan, atau orasi.
Demonstrasi di Ratchada Criminal Court. Sumber: dokumentasi penulis
Pada Minggu lalu (29/1), massa aksi berkumpul di stasiun BTS Siam, dan melakukan long march ke Ratchada Criminal Court, berjarak sekitar 18 kilometer. Aksi tersebut digelar oleh kelompok Bernama Resistant Citizen, yang berisi warga berusia diatas 40 atau 50 tahun, mulai dari supir taksi, ibu rumah tangga, tukang ojek, hingga pedagang asongan. Beberapa diantara mereka dalam hidupnya telah menyaksikan berbagai kudeta yang terjadi di Thailand, termasuk pembataian mahasiswa Thammasat di tahun 1973.
Bam dan Tawan bukanlah teman atau keluarga mereka, tetapi aksi solidaritas tetap mereka hadiri dan mereka dukung. Supophin (nama disamarkan), seorang supir taksi berusia 50 tahun yang berasal dari Isaan, salah satu wilayah termiskin di Thailand, mengatakan bahwa dirinya telah mengikuti protes sejak tahun 2007, satu tahun setelah pemerintahan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra diambil alih oleh militer. Bagi Supophin, demokrasi adalah kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan. Sehingga, meskipun Bam dan Tawan bukanlah teman secara personal, tetapi mereka adalah saudara dalam pergerakan pro-demokrasi.
Supophin. Sumber: dokumentasi penulis
Sebagai supir taksi dan seorang ayah, Supophin tidak pernah mendapat permasalahan ketika melakukan aksi-aksi protes. Pada hari Minggu (29/1) dirinya mengosongkan waktu selama beberapa jam hanya untuk duduk di depan Ratchada Criminal Court sambil mengalungkan banner pembebasan tahanan politik, sampai kemudian melanjutkan pekerjaannya. Sembari mengobrol, Supophin menunjukan cicinnya yang bergambar People Party, partai yang mendorong lahirnya demokrasi konstitusional di Thailand pada tahun 1932. Dirinya memercayai bahwa fenomena tersebut menunjukan people power dapat mengubah nasib Thailand.
Cincin yang digunakan Supophin
Di hari Minggu yang sama, kabar duka menghampiri massa aksi. Salah satu peserta di Ratchada Criminal Court, Phairot Chotisriphanporn, 67, meninggal dunia akibat serangan jantung. Phairot tiba-tiba tidak sadarkan diri, membentur jalan, dan langsung dibawa teman-temannya ke rumah sakit terdekat. Pada pukul 14:30 di Rumah Sakit Rajavithi, Uncle Phairot dinyatakan meninggal dunia.
Uncle Phairot adalah sosok yang familiar ditengah massa aksi Thailand. Dirinya telah bergabung dengan Gerakan Red Shirt, kelompok pro-demokrasi yang menolak kudeta terhadap Perdana Menteri Thaksin Shinawatra. Uncle Phairot akan dimakamkan di kampung halamannya, provinsi Pichit. Demonstrasi tetap berlanjut, dan kini foto Uncle Phairot turut mengisi dinding-dinding BACC dan Ratchada Criminal Court.
Phairot. Sumber: Prachathai
Di luar massa aksi di Thailand, terdapat berbagai solidaritas terhadap Bam, Tawan, dan berbagai belahan dunia. Di University of Madison Wisconsin, beberapa mahasiswa melakukan aksi solidaritas dengan membentangkan foto Bam dan Tawan. Peliputan media terdapat di berbagai negara Eropa Barat, Asia Selatan, dan Asia Tenggara seperti di Malaysia, Filipina, dan Singapura. Belum ada media Indonesia yang meliput aksi ini. Mantan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra juga memberikan solidirtas melalui akun Facebook nya.
Dibalik solidaritas kelompok pro-demokrasi terhadap Bam dan Tawan, terdapat perbedaan politik diantara mereka: apakah kita harus menunggu pemilu? Thailand akan melaksanakan pemilihan umum untuk memilih anggota parlemen dan perdana Menteri pada 7 Mei mendatang. Beberapa berharap pemilu dapat menjadi momentum untuk membawa perubahan di Thailand.
Namun, teman-teman Bam dan Tawan beranggapan bahwa di tengah kondisi mereka yang kritis, dapat meninggal kapan pun, pemilu tidak dapat diharapkan. “How can we compromise when our friends are dying?”. Terlebih, sudah banyak pemilu di Thailand namun tetap berakhir pada kudeta militer. Salah satu partai yang dianggap progresif, Future Forward Party juga dibubarkan di tahun 2020, dan kini dilanjutkan oleh Move Forward Party. Selain itu, partai politik yang ada juga tidak secara konkrit mengatakan akan menghapus Artikel 112, melainkan hanya merevisi beberapa pasal. Menurut beberapa kalangan pro-demokrasi, hal ini tentunya tidak cukup.
Namun, bukan berarti mereka akan menolak pemilu sepenuhnya. Melainkan, menurut mereka yang perlu dilakukan adalah revolusi mental (familiar?). Dalam artian, perlu ada politisasi masyarakat Thailand. Kekuatan militer sangat besar, mereka bisa saja melawan seperti di Myanmar, tetapi warga Thailand tidak menginginkan hal tersebut. Mereka mencintai kedamaian, and it’s a bad thing. Selain itu, perlu juga membangun gerakan-gerakan bawah tanah dan membangun simpul-simpul dengan daerah lainnya di Thailand.
Mereka juga menyadari bahwa kekuatan konsolidasi mereka masih lemah. Mereka memiliki anggota tidak lebih dari 100, itu pun susah untuk menggerakkannya, apalagi lebih. Akan tetapi, mereka percaya bahwa waktu akan menguntungkan mereka — royalis dan boomer konservatif tidak akan hidup selamanya, namun Gen-Z tidak lagi percaya pada propaganda-propaganda pemerintah.
Meskipun banyak dukungan, terdapat juga kalangan aktivis yang mempertanyakan keputusan Bam dan Tawan untuk melakukan mogok makan. Salah satu aktivis senior menulis di laman Khaosod, media independent Thailand, mengatakan sudah seharusnya Bam dan Tawan mengakhiri aksi mereka yang membahayakan nyawa dan mendorong penggunaan cara-cara diplomatis. Juga terdapat pihak yang mengatakan aksi mereka mengancurkan gerakan serta adanya aktivis-aktivis ‘terkenal’ yang menurut teman-teman Bam dan Tawan namanya belakangan jarang muncul, namun kembali hadir dan berbicara banyak mengenai pemilu.
Menurut pendukung aksi Bam dan Tawan, mereka memercayai bahwa prinsip utama dalam demokrasi adalah siapa pun dapat berbicara. Jika tidak suka dengan pendapat seseorang, ya didebati saja. Bukannya di cancel. Mereka memahami bahwa jika ada orang yang kritik pandangan mereka, bukan berarti mereka harus langsung berhenti. Jika berhenti, mereka justru melakukan sikap yang anti demokratis.
Tidak ada yang mengetahui kapan Bam dan Tawan akan berhenti mogok makan, kapan Get, Baipor, dan tahanan politik lainnya akan dibebaskan, atau apakah 112 benar-benar akan dicabut. Yang jelas, tidak ada wajah dan nada pesimis dari peserta aksi. Mereka meyakini bahwa Bam dan Tawan akan baik-baik saja dan mereka bangga, mendukung penuh, mempercayai bahwa apa yang mereka lakukan berdampak besar pada demokratisasi Thailand.
Otoritarianisme ada di Asia Tenggara dan muncul dalam berbagai bentuk. Di Thailand dengan Pasal 112 dan aktivis yang benar-benar di tahan, di Indonesia kita mengalami pemberangusan kebebasan akademik, kriminalisasi terhadap kritik, dan lain sebagaimanya. Masyarakat pro-demokrasi Indonesia perlu bersolidaritas dengan aktivis Thailand untuk menumbangkan otoritarianisme di Asia Tenggara.
Penulis ada mahasiswa Indonesia yang tengah menjalani studi di Thailand. Dapat dihubungi melalui [email protected]
Editor: Syahdan