Penulis: Faisal M (anggota Serikat Merdeka Sejahtera)
Teman-teman pekerja pasti sudah tidak asing atau bahkan mungkin pernah mendengar langsung di area kerjanya kalimat sakti "kita ini keluarga" yang diungkapkan oleh atasan atau bos. Banyak yang menyebut kalimat ini berbahaya, meski ada juga yang tetap merasa bahwa asas kekeluargaan dalam hubungan kerja itu penting. Tapi emang, kenapa sih kalimat itu problematik?
Analogi atau ungkapan bahwa "kita ini keluarga" dalam sebuah perusahaan itu udah kayak red flag aslinya. Kalimat ini sering dipakai untuk menciptakan ilusi palsu bahwa perusahaan dan karyawan adalah keluarga, dengan menafikan relasi kuasa yang timpang di antara kedua belah pihak itu. Meskipun gagasan perusahaan sebagai "keluarga" mungkin sekilas keliatan menarik, penting untuk diingat bahwa keluarga seringnya tidak dijalankan secara demokratis. Dalam keluarga, orangtua atau orang yang secara usia lebih dewasa memiliki otoritas lebih sebagai pembuat keputusan untuk anggota keluarga lainnya.
Demikian pula, dalam sebuah perusahaan, manajemen atau pemilik perusahaan dapat mengambil keputusan yang berdampak besar pada kehidupan para pekerja. Sayangnya, tidak jarang keputusan yang diambil merugikan pekerjanya. Dengan memposisikan perusahaan sebagai "keluarga", manajemen dapat menggunakan analogi ini untuk membenarkan praktek eksploitatif seperti upah rendah, tunjangan yang tidak memadai, hingga kondisi kerja yang tidak layak.
Lebih jauh lagi, analogi keluarga juga dapat digunakan untuk menciptakan budaya loyalitas di kalangan karyawan, di mana para pekerja diharapkan untuk mendahulukan kepentingan perusahaan di atas kepentingan mereka sendiri. Hal ini dapat menyebabkan pekerja menerima perlakuan yang buruk dan bekerja dalam kondisi yang tidak aman, karena mereka merasa bahwa mereka adalah bagian dari "keluarga" dan karena itu memiliki rasa kewajiban terhadap perusahaan.
Selain itu, analogi keluarga juga dapat digunakan untuk membungkam pekerja yang berbicara menentang penindasan, pencurian hak, atau diskriminasi. Mereka mungkin diceramahi untuk "urusan keluarga ya diselesaikan di dalam keluarga", atau bahwa mereka harus berterima kasih atas "keluarga" yang mereka miliki atau sudah memberi mereka kesempatan di perusahaan itu.
Masalah lain dengan analogi "kita ini keluarga" adalah bahwa hal itu dapat menciptakan rasa aman yang palsu di kalangan pekerja. Dalam keluarga yang baik, anggota keluarga seharusnya saling memberikan dukungan baik itu emosional maupun finansial. Tetapi di perusahaan, pekerja bergantung pada pemberi kerja untuk penghidupan mereka. Hal ini dapat menyebabkan pekerja takut untuk speak up menentang perlakuan buruk atau diskriminasi karena takut kehilangan pekerjaan dan terputus dari "keluarga".
Penggunaan analogi "kita ini keluarga" juga dapat menyebabkan minimnya akuntabilitas dari pihak manajemen dan para pemilik. Ketika sebuah perusahaan memposisikan dirinya sebagai "keluarga", hal itu dapat menimbulkan ekspektasi bahwa para pekerja akan mengabaikan kesalahan atau keputusan buruk yang dibuat oleh manajemen atau para pemilik. Hal ini dapat menyebabkan kurangnya akuntabilitas, yang pada akhirnya tidak hanya bisa merugikan pekerja, namun juga perusahaan secara keseluruhan.
Kesimpulannya, meskipun analogi sebuah perusahaan sebagai "keluarga" mungkin tampak menarik, namun hal itu bisa menimbulkan masalah dan bahkan berbahaya bagi para pekerja. Ini dapat digunakan untuk membenarkan praktik eksploitatif, menciptakan budaya nrimo walaupun ora didum, dan menciptakan rasa aman yang fana. Penting untuk diingat bahwa perusahaan adalah bisnis, dan tujuan utama bisnis adalah menghasilkan laba. Pekerja tidak boleh dibebani ekspektasi untuk mengorbankan kesejahteraan, waktu luang, atau hak hidup mereka demi "keluarga perusahaan". Perusahaan harus berusaha untuk menciptakan budaya saling menghormati dan bertanggung jawab, daripada menggunakan senjata analogi problematik seperti "kita ini keluarga". Sementara itu, pekerja harus mengupayakan perlakuan yang adil, upah yang adil, dan kondisi kerja yang aman.
Kalau kalian besok di area kantor pernah mendengar kalimat ajaib seperti "kita kan keluarga" lebih baik dipastikan dulu tipe keluarganya, apakah keluarga yang sehat atau keluarga yang broken home.
Editor: Syahdan