Parrhesia merupakan buku karya Michael Foucault yang diterbitkan Marjin Kiri pada Mei 2018 dengan tebal 209 halaman. Buku ini berisi panduan untuk mengenal jenis-jenis parrhesia ‘berkata jujur’ atau ‘keterusterangan’ berikut siapa saja yang dapat menggunakan Parrhessia. Foucault menganalisis Parrhesia dari teks-teks Yunani sepanjang abad ke-5 SM sampai abad ke-1 SM, yakni naskah-naskah Euripedes, Ioannes Khrysostomos, Sokratik, Platon, Pseudo-Xenophon, Dio Khrysostomos dan lain sebagainya. Teks tersebut merupakan catatan-catatan sejarah pada kebudayaan Yunani, Romawi dan Hellenistik. Foucault bertujuan untuk mengungkapkan masalah kebenaran sebagai sebuah aktivitas. Dengan demikian Foucault memilih proses ‘Problematisasi’ yaitu bagaimana dan mengapa hal-hal tertentu menjadi problem melalui pembacaan perilaku, gejala dan prosesnya. Menurutnya, problematisasi adalah jawaban untuk situasi konkret yang rill.
Parrhessia memiliki dua aspek utama. Aspek pertama merupakan siapa yang berhak menggunakan parrhessia dan aspek kedua yaitu krisis kebenaran itu sendiri. Aspek pertama merupakan analisis kelas yaitu status dan peran. Rakyat kecil yang tidak memiliki kuasa dan tidak menguntungkan dirinya dari apa yang dikatakan merupakan sebuah parrhessia. Begitu sebaliknya, raja yang memiliki kuasa dianggap tidak memiliki parrhessia karena ia tidak memiliki risiko apa-apa. Aspek kedua yaitu meninjau krisis parrhessia, yaitu kebenaran itu tidak bisa dimiliki semua orang melainkan orang-orang yang memiliki kualitas diri. Semua orang pun tidak bisa ditentukan siapa yang memiliki kualitas sehingga apa yang dikatakannya merupakan parrhessia. Dengan demikian, parrhessia memiliki kompleksitas pada individu penggunannya.
Pada konteks hari ini, pengetahuan mengenai parrhessia patut dimiliki untuk menghadapi orang-orang yang mendaku kebenaran melalui perkataanya. Perang hoaks di dunia maya menjadi bumbu-bumbu dalam merayakan pesta demokrasi ‘Pilpres dan Pilkada’ di tahun 2014 dan 2019. Tidak sedikit masyarakat meyakini berita-berita bohong dan palsu (hoaks). Hoaks bekerja dengan cara mengekploitasi emosi, dan mencari simpati. Masyarakat menjadi terpolarisasi dua kubu karena menjadi pendukung yang sedang berkontestasi di Pemilihan Umum. Dengan begitu, masyarakat yang terpolarisasi hanya ingin mendengar apa yang ingin didengar. Masyarakat pun mempercayai apapun yang datang baik menguntungkan pihak calon yang didukung maupun merugikan pihak lainnya.
Pemerintah sedang marak-maraknya mengkampanyekan anti-hoaks. Akan tetapi, menghukum pembuat hoaks belum dapat mencegah munculnya hoaks. Hoaks seperti idol, ia memiliki penggemar setianya sampai ke alam bawah sadar, yaitu orang yang tingkat literasinya rendah dan tidak kritis terhadap segala informasi yang diterima. Hal ini merupakan kesalahan pemerintah yang memiliki amanah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendekatan memerangi hoaks seperti membasmi sumber penyakit, tetapi tidak mengubah perilaku dan pola hidup yang menyebabkan sumber penyakit itu ada. Anggaran 20% untuk pendidikan belum dapat memberikan pendidikan yang memadai kepada masyarakat. Institusi pendidikan justru membuat ketimpangan karena me-liberalisasi banyak hal pada bidang pendidikan. Vokasionalisasi yang dilakukan pemerintah menyebabkan jongkoknya nalar kritis karena institusi dan peserta didik hanya berpaku pada kerja pasar dan pasar kerja.
Sebagai pengetahuan, Parrhessia sesuatu yang penting untuk dimiliki pada hari ini. Untuk mencari kebenaran dibutuhkan pengetahuan. Dengan banyaknya yang percaya hoaks menandakan masih banyaknya orang yang tidak berpengetahuan. Menurut Foucault, “Orang yang kehilangan Parrhessia berada dalam situasi yang sama seperti budak”. Oleh karena itu, dalam menghadapi segala kabar berita yang diterima patut ditinjau dan diperiksa kebenarannya. Epiktetos dalam Foucault memberi solusi dengan menyikapi diri sendiri dengan metafora ‘satpam malam’ dan ‘penukar uang’. Segala sesuatu yang datang kepada kita harus diperiksa apakah aman atau tidak, apakah asli atau palsu. Dengan demikian, buku ini patut dibaca untuk bekal menghadapi banjirnya informasi di kehidupan kita. Setelah mengetahuinya, kita perlu memiliki keberanian untuk berkata tidak benar pada hoaks yang kerap muncul di mana pun kita berada.