Penulis: Fauzi
Bernama asli Wiji Widodo, dengan nama belakang ‘Thukul' disematkan saat Wiji aktif berteater di kelompok teater Jagat. Thukul memiliki arti tumbuh, Wiji Thukul berarti biji yang tumbuh. Seniman yang juga aktivis ini Lahir di Sorogenen, Solo 26 Agustus 1963. Rezim Orde Baru sensitif dalam pandangan Wiji tak ubahnya sebongkah tembok yang harus hancur. Kepemimpinan yang dianggap otoriter dan mematikan semangat demokrasi. Di sinilah perjalanan Wiji dimulai.
Dalam aktivitasnya, Wiji terlibat dalam advokasi kaum miskin dan buruh perkotaan. la juga merupakan Pimpinan Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (Jaker) organisasi yang bergerak melawan pemerintahan represif Orde Baru melalui jalur kesenian rakyat.
Tahun 1992 Wiji menentang pencemaran lingkungan oleh pabrik tekstil PT Sariwarna Asli Solo. Ia memimpin aksi petani di Ngawi, Jawa Timur dan di akhir tahun 1995 menjadi penggerak aksi besar protes karyawan PT Sritex yang membuat luka permanen di mata kanannya. Semenjak itu, Thukul diincar karena diduga sebagai dalang demonstrasi, puisi-puisinya dicurigai sebagai penggerak rakyat kecil melakukan protes.
Pada 22 juli 1996, Wiji ke Jakarta dan anggota Partai Rakyat Demokratik (PRD). Di struktural PRD, Wiji adalah Ketua Divisi Budaya PRD. Selang 5 hari tumbuh, organisasi ini diserang oleh kelompok pro-Soeharto. Soesilo Soedarman, seorang jenderal yang menjabat Menko Polkam saat itu, menegaskan bahwa PRD sebagai "partai terlarang.” Imbasnya, seluruh pentolan PRD diburu aparat keamanan. Wiji termasuk dalam daftar perburuan.
Aparat pemerintah lewat berbagai detasemen menyebar untuk menangkap Wiji. Hal tersebut mengharuskannya berpindah-pindah. Mulai dari peristiwa penggerebekan rumahnya di Solo membuat ia berpindah ke Jakarta lalu Bogor pada pertengahan Agustus. Setelah itu ia menuju Pontianak dibantu rekannya Martin. Awal tahun 1997, ia kembali lagi ke solo dan bulan Maret ia harus kembali lagi ke Jakarta dan kemudian tinggal di Bekasi. Pada tahun 1998, sejak itu, jejaknya hilang dan tidak lagi diketahui keberadaannya oleh kawan-kawannya bahkan oleh keluarganya sendiri.
Wiji meninggal di tempat dan waktu yang tidak diketahui, diduga hilang diculik, 27 Juli 1998 pada usia 34 tahun. Hingga kini, selain kasus wiji, banyak juga pelanggaran HAM masa lalu yang masih belum terungkap dan diadili. Kasus Wiji Thukul yang tidak terungkap ini merupakan salah satu bentuk pembuktian bahwa memperjuangkan demokrasi harus dibayar dengan nyawa pejuangnya.
Sosok Wiji Thukul memang sudah hilang, tapi kata-katanya masih tajam hari ini. Tapi keadilan di Indonesia tidak kunjung terang bagi para korban dan penyintas kejahatan kemanusiaan di masa lalu. Meski banyak aksi solidaritas dan pernyataan sikap, pemerintah masih mengabaikan kejelasan nasib dari mereka-mereka yang hilang di pergantian zaman.