Penulis: Ubedillah Badrun (Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta)
DALAM catatan sejarah peradaban dunia, pergumulan pemikiran tentang bagaimana seharusnya negara dikelola sesungguhnya sudah ada sejak era Yunani Kuno ketika filsuf Plato (427-347 SM) menulis dua buku dari 28 karya dialogisnya yang menggambarkan pergumulan pemikiran tentang negara harus dijalankan oleh siapa dan seperti apa? Dua buku dialogis Plato yang berjudul Politeia (republik) dan Nomoi (hukum) menggambarkan dinamika pergumulan ide itu.
Secara singkat dapat dikemukakan bahwa dalam Politeia Plato menekankan pentingnya aktor yang baik dalam mengelola negara. Negara perlu dipimpin oleh para pemikir yang bijak (filosof), yang mengerti tentang publik, yang mau berfikir mendalam agar negara dipandu oleh akal sehat yang mengutamakan kepentingan publik. Sementara dalam Nomoi negara mesti dipimpin oleh aturan bersama yang disebut hukum yang diproduksi dengan mempertimbangkan aspirasi bersama, aspirasi orang banyak.
Perjalanan pemikiran Plato yang diurai secara singkat dalam pengantar diatas secara substansial menggambarkan betapa pentingnya negara dipimpin oleh para pemimpin yang berkualitas dan disaat yang sama jalanya negara harus taat terhadap konstitusi, taat pada hukum, diatur oleh aturan bersama yang mendengarkan aspirasi rakyat banyak. Karena itu kemudian Aries Toteles (384-322 SM) murid Plato yang terkemuka mengingatkan bahwa kekuasaan itu ada sesungguhnya untuk menghadirkan common good (kebaikan bersama) dan kebaikan bersama itu hanya mungkin terwujud ketika ada tindakan kolektif warga negara, ada aspirasi rakyat banyak yang didengarkan penguasa. Itulah spirit awal hadirnya negara.
Selanjutnya perkembangan pemikiran politik dan hukum mengalami pasang surut hingga kemudian mengalami kemajuan pada abad pertengahan dan selanjutnya hingga abad 20. Dari munculnya gagasan demokrasi konstitusional Immanuel Kant (1724-1804 M), gagasan negara hukum J.Stalh ( 1802-1861 M)l, hingga A.V Dicey (1835-1922 M) dan seterusnya yang menekankan pentingnya human rights, supremacy of law, Equality before the law dan Due Process of Law, dimana negara mesti dijalankan dengan panduan hukum yang partisipatif dan dipegang teguh dijalankan oleh kekuasaan yang bersikap adil Gagasan-gagasan merekalah yang kemudian mempengaruhi jalanya praktek negara hukum di Eropa Kontinental dan Anglo Amerika hingga saat ini, termasuk secara teoritik mempengaruhi negara - negara Asia seperti Indonesia.
Dengan mencermati perspektif diatas secara kontemplatif dan reflektif adalah sangat tragis jika negara dipimpin oleh orang yang tidak adil sejak dalam pikiran dan menjalankan negara dengan mengabaikan undang-undang, mempermainkan undang-undang, melabrak aturan yang disepakati bersama, dan mengabaikan aspirasi rakyat banyak. Secara substantif semuanya itu melukai rasa keadilan publik.
Bagaimana dengan Indonesia? Sehari setelah Indonesia merdeka, ketika Panitia Persiapan kemerdekaan Indonesia (PPKI) bermusyawarah pada tanggal 18 Agustus 1945 sepakat mencantumkan soal bagaimana negara Indonesia dikelola khususnya dalam bagian penjelasan di bagaian sistem pemerintahan negara. Dalam bagian penjelasan tersebut pada point (1) dinyatakan bahwa Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat) tidak berdasarkan pada kekuasaan belaka (machtstaat).
Dalam penjelasan UUD 1945 tersebut juga dikemukakan bahwa pemerintahan Indonesia itu berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar) tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas). Dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang telah diamandemen tahun 2002 juga disebutkan dalam batang tubuh pasal 1 ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi Negara Indonesia adalah negara hukum.
Sebelumnya ada ayat dalam pasal 1 ayat 2 berbunyi kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang Undang Dasar. Itu semua menunjukan pentingnya pemimpin yang demokratis karena kedaulatan ada ditangan rakyat (demokrasi) dan taat pada hukum yang telah disepakati bersama (rechtstaat). Hal itu menggambarkan spirit awal yang jelas bagaimana republik Indonesia berdiri dan seharusnya dijalankan.
Bagaimana Indonesia Menjadi Machtstaat?
Sejak awal Indonesia merdeka melalui perdebatan intelektual yang mencerahkan di BPUPK (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan) maupun di PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) para pendiri bangsa pada tanggal 18 Agustus 1945 akhirnya sepakat bahwa bentuk negara Indonesia adalah Republik. Hal ini tercantum dalam pasal 1 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan Negara Indonesia ialah negara kesatuan yang berbentuk Republik.
Konsep negara republik dipilih karena secara sadar para pendiri bangsa menginginkan Indonesia menjadi negara modern yang dikelola dengan cara-cara modern, mendengarkan aspirasi rakyat banyak termasuk cara-cara memilih pemimpinnya yang tidak dilakukan secara turun menurun (monarki) tetapi melalui musyawarah dan mendengarkan aspirasi rakyat, juga termasuk cara-cara mengelola negaranya harus mendengarkan aspirasi rakyat banyak (demokrasi) serta dibingkai dalam hukum dasar yang disepakati bersama dan ditaati bersama atau disebut konstitusi.
Itulah spirit Republikanisme, spirit mentaati konstitusi (rechtstaat), spirit menjamin kebebasan menyampaikan pendapat, spirit pembatasan kekuasaan, spirit demokrasi deliberatif (Johm Milton, Aeropagitica, 1644). Dengan merujuk pada awal pembentukan negara dan perspektif Republikanisme penulis mengambil kesimpulan bahwa Indonesia saat ini sesungguhnya memasuki episode Machtstaat (negara kekuasaan) yang sangat membahayakan masa depan Indonesia sebagai Republik.
Loh, kok bisa Indonesia menjadi machtstaat atau negara kekuasaan ? Secara empirik para ilmuwan dan akademisi ilmu sosial politik dan hukum yang masih independen dalam keilmuanya pada umumnya memberikan kesimpulan yang sama bahwa Indonesia pernah menjadi machstaat dan kini memasuki episode machtstaat yang paling membahayakan masa depan Indonesia sebagai negara Republik. Ada tiga episode Indonesia menjadi machtstaat , yaitu (1) episode machtstaat era Soekarno, (2) episode machstaat era Soeharto, dan (3) episode machtstaat era Jokowi.
Pada era Soekarno terjadi sekitar tujuah tahun di akhir kekuasaanya dari tahun 1959 hingga 1966. Pada era akhir kekuasaan Soekarno ini negara kekuasaan (machtstaat) sangat terlihat sejak dekrit Presiden 5 Juli 1959, kemudian Soekarno membubarkan parlemen hasil pemilu dan mengangkat anggota DPR-GR (1960), membubarkan Partai Masyumi dan PSI (1960), menerima diangkat sebagai Presiden seumur hidup oleh MPRS (1963), membubarkan Partai Murba (1965) dan seterusnya hingga kekuasaanya jatuh pada 1967.
Pada era Soeharto era machtstaat terjadi secara sistemik sejak dikeluarkanya 5 paket Undang-Undang politik pada tahun 1985. Sejak keluarnya paket Undang-Undang politik itulah kekuasaan Soeharto semakin kuat mengendalikan seluruh kekuatan politik (DPR/MPR, Partai, Ormas, dll), dan dipenghujung kekuasaanya praktek Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) semakin subur hingga jatuh pada 1998.
Pada era Jokowi machtstaat terjadi sejak tahun 2019 ketika Presiden bersama DPR tidak mau mendengarkan aspirasi ratusan ribu rakyat, mahasiswa, akademisi, para aktivis, buruh dll yang menolak revisi UU KPK hingga disahkan pada 17 September 2019. Melalui revisi UU KPK itulah KPK kini menjadi tidak independen lagi karena menjadi bagian dari lembaga eksekutif dibawah kendali Presiden. Disaat yang sama Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) masih terus merajalela. Negara kekuasaan juga terlihat ketika Presiden mengeluarkan Perpu No 1 tahun 2020 yang kemudian menjadi UU 2 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas sistem keuangan.
UU ini membuat Presiden memiliki kewenangan yang absolute karena sepanjang tiga tahun (2020-2022) Presiden dapat mengeluarkan APBN hanya berdasar Peraturan Presiden. Selain itu Keputusan yang didasari UU No.2 tahun 2020 ini tidak bisa menjadi obyek gugatan yang dapat diperkarakan di PTUN. Checks and balances hilang, apalagi koalisi pemerintah menguasai 80 persen lebih suara parlemen.
Negara kekuasaan juga semakin terlihat ketika pemerintah dan DPR tidak mendengarkan aspirasi rakyat yang menolak pengesahan Omnibuslaw UU Cipta kerja tahun 2020. DPR akhirnya mengesahkan UU Cipta Kerja Pada 5 Oktober 2020. Sebagai informasi UU Cipta Kerja ini dibuat atas inisiaif Presiden Jokowi, ada 79 undang-undang yang diringkas.
Mahkamah Konstitusi (MK) pada 25 November 2021 memutuskan bahwa Omnibuslaw UU 11/2020 tentang Cipta Kerja dinyatakan tidak konstitusional atau inkonstitusional bersyarat. Enam bulan kemudian DPR mengesahkan UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (P3) pada 5 Mei 2022, UU P3 ini yang menjadi landasan hukum atau semacam perlindungan hukum perbaikan UU Cipta Kerja.
Indonesia kini semakin menjadi Machtstaat karena intervensi kekuasaan tidak hanya terhadap legislatif tetapi juga pada lembaga yudikatif seperti terhadap Mahkamah Konstitusi. (MK), misalnya dalam kasus pemberhentian Aswanto seorang hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang diganti karena dinilai DPR Aswanto gagal mengamankan produk hukum yang dibuat DPR bersama pemerintah. Padahal MK itu wilayah yudikatif yang kemerdekaan kewenanganya dijamin konstitusi UUD 1945 untuk menguji suatau Undang-Undang produk DPR. Celakanya Presiden dengan senang hati melantik Guntur Hamzah pengganti Aswanto menjadi hakim Mahkamah Konstitusi (MK).
Mengapa episode machtstaat era Jokowi ini paling membahayakan masa depan Republik? Jawabanya rezim ini tidak hanya mengendalikan lembaga legislatif hingga hilang checks and balances nya tetapi juga mengendalikan lembaga yudikatif, dan lebih berbahayanya negara kekuasaan yang bersekongkol dengan oligarki ini telah menyusup dan merusak kedalam lebih dari 80 UU hanya dalam waktu tiga tahun kekuasaanya di periode kedua ini.
Pada akhirnya negara hukum (rechstaat) yang demokratis yang merupakan spirit utama negara republik yang dicita-citakan para pendiiri bangsa ini kini secara sistemik telah dirampas oleh machtstaat yang dijalankan pada episode Presiden Jokowi ini. Indonesia Machtstaat!