Penulis: Faisal M (anggota Serikat Merdeka Sejahtera)
Generasi Z sering disebut tidak mau berusaha dan tidak sungkan untuk pindah kerja. Banyak stereotip yang melabeli mereka sebagai generasi yang manja dan nekat sehingga tidak akan betah di satu perusahaan. Namun apakah stereotip itu sesuai dengan kenyataan? Apakah hanya itu faktor yang membuat Generasi tersebut suka pindah-pindah kerja?
Generasi Z, yang juga sering disebut sebagai Gen Z, adalah generasi pekerja terbaru yang masuk ke dunia industri. Terlepas dari jiwa muda yang mereka bawa ke tempat kerja, mereka juga sering menjadi korban dari stereotip negatif. Bahkan tidak sedikit orang melabeli mereka sebagai "generasi lemah" atau "generasi strawberry". Salah satu kritik paling umum yang ditujukan kepada Gen Z adalah bahwa mereka tidak akan berpikir panjang untuk meninggalkan pekerjaan ketika dihadapkan dengan ketidaknyamanan atau tantangan.
Namun, stereotip ini sebenarnya tidak adil dan terlalu menyederhanakan kompleksitas atau masalah yang ada di tempat kerja. Penting untuk mempertimbangkan alasan di balik kecenderungan Gen Z untuk resign, karena banyak dari alasan tersebut terkait dengan masalah yang sering ditemui di dalam tempat kerja itu sendiri.
Salah satu masalah paling mendesak yang dihadapi oleh pekerja Gen Z di Indonesia adalah pengawasan dan penerapan aturan terkait ketenagakerjaan. Terlepas dari adanya undang-undang yang melindungi hak-hak pekerja, banyak pengusaha terus melanggar peraturan ini, memeras pekerja habis-habisan seperti kain pel. Sejatinya, pengawasan ketenagakerjaan merupakan kewajiban pemerintah, yang sayangnya sampai saat ini masih sangat loyo. Namun seringkali pengawas dari pemerintah tidak dibekali dengan sumber daya yang cukup untuk melaksanakan tugasnya, atau bahkan melakukan pembiaran terhadap pelanggaran yang mereka tahu.
Kenyataan di lapangan banyak pekerja Gen Z mungkin mengalami jam kerja yang panjang, istirahat yang tidak memadai, upah yang tidak layak, dan kondisi kerja yang beresiko tinggi merusak kesehatan fisik dan mental pekerja. Tidak jarang juga terdengar adanya diskriminasi, pelecehan, dan intimidasi dari kolega atau atasan mereka, yang membuat lingkungan kerja menjadi sangat tidak kondusif.
Masalah lain yang dihadapi oleh pekerja Gen Z adalah kurangnya keamanan kerja. Di pasar kerja yang berubah dengan cepat saat ini, tidak jarang perusahaan melakukan "efisiensi" atau mengorbankan hak pekerja untuk memangkas biaya. Hal ini dapat sangat menghancurkan bagi pekerja muda yang baru memulai karir mereka, karena mereka mungkin mendapati diri mereka menganggur dan berjuang untuk memenuhi kebutuhan.
Terlepas dari tantangan ini, banyak dari pekerja Gen Z tidak takut untuk angkat bicara, atau bahkan pindah kerja untuk mencari kondisi kerja yang lebih baik. Atau yang terbaru, belum lama ini muncul istilah seperti "quiet quitting" atau "job coasting". Hal ini mungkin tidak begitu populer pada generasi sebelumnya.
Jadi, sebelum menyalahkan Gen Z karena meninggalkan pekerjaan mereka, penting bagi kita semua untuk melihat kondisi kerja secara keseluruhan dan kontekstual. Apakah kondisi kerja kita sudah layak dan manusiawi? Apakah setidaknya, hak normatif pekerja sudah diberikan? Apakah semua pekerja diperlakukan dengan manusiawi dan bermartabat?
Hanya dengan mengatasi masalah-masalah inilah kita dapat menciptakan tempat kerja yang benar-benar inklusif dan supportif untuk semua generasi. Dengan menciptakan lingkungan kerja yang lebih baik, kita tidak hanya dapat meningkatkan taraf hidup pekerja Gen Z, tetapi juga memberikan contoh positif bagi generasi mendatang.
Editor: Syahdan