Narasi kelekatan masyarakat adat dan lingkungan sekitarnya tengah berkembang luas di media, sastra, dan naskah akademik. Pengetahuan adat menegaskan relasionalitas manusia dan alam berlandaskan etika, timbal balik dan tanggung jawab yang diwariskan dari generasi ke generasi. Dengan demikian, entitas selain manusia punya nilai intrinsik sebagai dasar etis praktik konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan dan didukung aturan yang hidup (living law) di dalam masyarakat. Sayangnya, sistem politik lingkungan membuat pengetahuan, aturan etis, dan penghormatan luhur terhadap kemuliaan alam hanya terbatas di dalam komunitas adat itu sendiri.
Landasan hukum signifikan yang membatasi praktik ajaran tradisi masyarakat adat adalah UU No. 35 tahun 2024 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU KSDAHE). UU ini merupakan revisi peraturan sebelumnya, UU No.5 tahun 1990 yang dianggap tidak efektif dalam mencegah kerusakan ekologis kawasan lindung. Alih-alih berubah, revisi undang-undang justru tidak menjawab tuntutan inklusivitas pengelolaan kawasan konservasi dan penentuan kawasannya.
UU ini juga berpotensi melanggengkan greenwashing dan penyalahgunaan karbon. Pasal 26, misalnya, menempatkan panas bumi (geothermal) sebagai jasa lingkungan yang diperbolehkan dalam pemanfaatan kondisi lingkungan Kawasan Pelestarian Alam. Kenyataannya, panas bumi berpotensi mencemari kualitas air dan udara, meningkatkan risiko seismik (gempa bumi) dan gangguan kesehatan masyarakat lokal.
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan advokat yang tergabung dalam Koalisi untuk Konservasi Keadilan mengkritisi bahwa peraturan ini melihat masyarakat adat sebagai stakeholder, bukan rightsholder (subjek hukum). Meski masyarakat adat menjadi subjek yang harus terlibat aktif, UU KSDAHE yang baru masih menekankan sentralisasi. Pasal 5A, misalnya, menyebutkan bahwa hanya menteri bidang kehutanan dan perikanan yang boleh menetapkan kawasan konservasi dengan pengelolaan berdasarkan peraturan nasional terkait sistem pengelolaannya. Selanjutnya, hanya Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah yang berwenang memberikan izin pemanfaatan jasa lingkungan.
Masyarakat adat tidak punya hak free, prior, dan informed consent (FPIC), prinsip untuk menolak atau memberikan persetujuan, terhadap proyek yang dapat memengaruhi alam sekitarnya. Kerja-kerja masyarakat adat tidak lebih hanya menjalankan tradisi, tanpa bisa turut dalam pengambilan keputusan dan terbatas pada Areal Preservasi.
Ada pun kritik lain dilontarkan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) dan Forest Watch Indonesia (WFI) sejak UU masih dalam rancangan. Mereka mendapati bahwa UU ini tidak menjawab inti persoalan konservasi terkait kolaborasi wewenang dan area lahan yang tumpang tindih.
Etika Pelestarian dari Masyarakat Adat
Cara pandang masyarakat adat menjadikan tanah, sungai, hutan, dan laut bukan hanya sekadar sumber daya alam, melainkan tempat sakral. Sistem konservasi kolonial membagi area tanpa partisipasi masyarakat lokal atau adat sehingga hasil pemetaannya memisahkan masyarakat dari tempat dan situs vitalnya.
Ada pun spesies endemik hutan tertentu punya makna vital bagi masyarakat adat. Harimau dianggap sebagai pelindung dan pemberi kesaktian dalam tradisi Minangkabau. Masyarakat Iban menganggap orangutan sebagai pengajar dan pernah memiliki kontrak etis dengan leluhur. Etika relasional ini menjadikan masyarakat adat punya dasar normatif yang mendorong pelestarian secara sukarela.
Oleh karena itu, memberikan status badan hukum dan rightsholder pada masyarakat adat adalah langkah inklusif yang sepatutnya diambil dalam keputusan konservasi. Mereka berpeluang mengupayakan hak-hak alam (rights of nature) dengan dasar normatifnya. Pengabaian rekognisi dan perlindungan agensi masyarakat adat berarti juga pelanggaran pemerintah atas komitmen praktik konservasi dan nature-based solutions masyarakat adat dalam Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework dan COP29.
Untuk membayangkan bentuk ideal dari sistem konservasi berkeadilan dan inklusif dalam agensi masyarakat adat, kita dapat lihat pada Aotearoa-Selandia Baru dan Ekuador. Pada 2014, pemerintah Aotearoa-Selandia Baru mengesahkan UU Te Urewera (Te Urewera Act)yang menjadikan masyarakat adat Tūhoe representasi badan hukum kawasan konservasi Te Urewera. Ekuador, bahkan, lebih dulu lagi berkat konstitusi hak-hak alam pada 2008, di mana peraturan konservasi mengikuti konsep paradigma masyarakat adat yang menekankan harmoni relasional manusia dan alam.
Langkah Selanjutnya?
Dengan UU KSDAHE, negara telah abai dengan komitmen internasional untuk menjamin kedaulatan masyarakat adat. RUU Masyarakat Adat yang semestinya menjamin pemenuhan hak-hak adat pun tidak kunjung disahkan. Akibatnya, advokasi dan lembaga konservasi yang menekankan kedaulatan masyarakat harus menempuh jalur alternatif yang rumit dan, mau tidak mau, masyarakat adat berada di struktur paling bawah.
Sejak Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (UNDRIP) pada 2007 yang diikuti pelbagai resolusi dan deklarasi lainnya, lembaga konservasi mulai menekankan pendekatan nilai-nilai tradisional yang hidup di masyarakat lokal. Manajemen konservasi kontemporer pun membantu mendorong kembali praktik konservasi tradisional dan mendesak pemerintah daerah turut menjamin perlindungannya.
Zonasi Kawasan Konservasi Perairan Raja Ampat, misalnya, memiliki zona sasi dan pemanfaatan tradisional yang terus dikembangkan pelbagai LSM selama lebih dari satu dekade belakangan. LSM juga mendampingi dan mendorong masyarakat adat agar memetakan kawasan sasinya berdasarkan keinginan masyarakat.
Upaya ini pun didukung oleh Pemerintah Daerah yang saat itu memiliki perhatian terhadap kelestarian perairan demi mendukung pariwisata. Artinya, untuk mendukung kedaulatan masyarakat adat, LSM harus mencari titik yang mempertemukan agenda konservasinya dan agenda industri Pemda.
Kerangka ini bukanlah bentuk yang ideal. Semuanya mengandalkan kesamaan minat atau kemurahan hati pemerintah dan LSM. Intinya, selama masyarakat adat tidak punya kuasa, kedaulatannya dalam pelestarian lingkungan akan berbenturan dengan kepentingan lain dan masalah teknis.
Misalnya, dalam konteks Raja Ampat tersebut, masyarakat adat tidak punya kemampuan untuk menegakkan hukum hidupnya untuk memberi sanksi pihak luar yang merusak kawasan perairan. Segala urusan hanya dapat dicatat dan dilaporkan. Penanganannya hanya bisa dilakukan jika LSM memiliki sumber daya untuk tergerak.
Adapun gagasan Badan Usaha Milik Masyarakat Adat (BUMMA) yang kini terus berkembang sebagai pemberdayaan ekonomi mungkin dapat membantu. Konsep ini memungkinkan BUMMA memiliki modal untuk menguasai lahan untuk pengelolaan dan perlindungan berdasarkan etika adat. Bayangan imajinasi BUMMA yang lebih maju mungkin dapat membentuk LSMnya sendiri supaya punya peran sebagai rightsholder dan terlibat dalam pengambilan keputusan kawasan konservasi. Namun, tidak semua masyarakat adat dapat melakukannya karena faktor ekonomi, pendidikan, dan tantangan birokrasi yang panjang, serta ancaman sistem ekonomi neoliberal.
Singkatnya, memang ada banyak kerangka dan pendekatan teknis untuk mendukung kedaulatan adat. Namun, lagi-lagi, upaya ini membutuhkan sumber daya sangat panjang tanpa dukungan negara. Sembari upaya keadilan manajemen konservasi tengah berjalan, negara sepatutnya mempertimbangkan kembali peran serta kewargaan ekologis masyarakat adat.
Editor: Syahdan