Penulis: Vivi Felayati
Masalah kekeresan terhadap perempuan terus meningkat dari tahun ke tahun. Namun, yang mengkhawatirkan adalah peningkatan yang terjadi dengan pelakunya berada atau merupakan bagian terdekat di lingkungan korban, termasuk ayah kandung, saudara kandung, dan bahkan kekasih korban. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mencatat, sebanyak 25.050 perempuan menjadi korban kekerasan di Indonesia sepanjang tahun 2022. Jumlah tersebut semakin meningkat 15,2% dari tahun sebelumnya sebanyak 21.753 kasus. Komnas perempuan pada Januari- November 2022 telah menerima 3.014 kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan.
Kekerasan Berbasis Gender (KBG) merupakan perilaku atau tindakan membahayakan yang dilakukan terhadap seseorang berdasar pada aspek sosial termasuk didalamnya yaitu gender yang dilekatkan oleh masyarakat membedakan antara laki-laki dan perempuan. Salah satu jenis Kekerasan Berbasis Gender (KBG) adalah kekerasan seksual yaitu tindakan ataupun percobaan seksual di luar kemauan seseorang misalnya pemerkosaan, penyerangan seksual, kekerasan seksual pada anak, eksploitasi seks oleh seseorang yang berkuasa atau dengan imbalan uang, jasa, atau barang. Selain itu, kekerasan fisik juga merupakan bagian dari Kekerasan Berbasis Gender (KGB), perbuatan kekerasan fisik yang bukan seksual sering terjadi dalam hubungan antarpasangan yang menimbulkan rasa sakit atau cedera fisik.
Di Indonesia, dalam periode enam tahun terakhir 2016 –2022 bahkan di awal tahun 2023 yang terpantau dari media massa, kasus kekerasan fisik berakhir dengan kematian yang dilakukan oleh pasangan (suami, pacar, atau selingkuhan). Bentuk kekerasan mulai dari memukul, menyiram dengan air keras, membakar korban hingga beragam cara lain yaitu dengan menggunakan kolset. Kasus pasangan suami isteri dipicu masalah ekonomi hingga cemburu. Ada juga laki-laki yang cintanya ditolak kemudian membalasnya dengan penganiayaan hingga berujung pada pembunuhan. Selain itu, masalah cedera janji dalam transaksi seks yang kontaknya melalui media sosial sering ditemukan kasusnya dengan pihak perempuan dibunuh di kamar kencan.
Maraknya pembunuhan terhadap perempuan dengan berbagai cara itu membuka kekhawatiran baru. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menengarai bahwa perempuan dengan kodratnya sebagai perempuan berisiko mengalami pembunuhan oleh laki-laki. PBB juga memperkenalkan istilah femisida (femicide) sejak 2017 yang diartikan sebagai pembunuhan terhadap perempuan karena ia perempuan dan bentuknya bermacam-macam. Bentuk femisida di antaranya pembunuhan terhadap pasangan, pembunuhan terhadap perempuan dengan tuduhan tukang sihir, honour kilings, pembunuhan dalam konflik bersenjata, dan pembunuhan karena mahar dan semuanya terjadi hampir di berbagai penjuru dunia.
Perbandingan jumlah kasus femisida yang dilakukan oleh anggota keluarga dan kerabat dengan yang dilakukan oleh orang tanpa ikatan kekerabatan di beberapa negara justru pelakunya orang terdekat jauh lebih tinggi. Inggris pada tahun 2009—2018 kasus femisida paling banyak dilakukan oleh kalangan terdekat, jumlah kasus femisida pada periode tersebut yaitu 1.435 kasus, 62% pelaku di antaranya adalah orang terdekat. Komisi Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat jumlah kasus femisida pada pasangan intim di Indonesia jauh lebih dominan dibandingkan femisida kategori lainnya. Data dari pantauan media per Juni 2021 hingga Juni 2022, Komnas Perempuan mencatat ada 307 kasus pembunuhan terhadap istri di berbagai daerah. Komnas Perempuan juga menyebutkan bahwa femisida penyebabnya adalah cemburu, ketersinggungan maskulinitas, menolak hubungan seksual, dan didesak bertanggung jawab atas kehamilan yang tidak dikehendaki (KTD).
Dari berbagai persoalan di atas merupakan dampak dari budaya patriaki, baik di negara berkembang ataupun negara maju. Alasan mendasar terjadinya pembunuhan terhadap perempuan adalah adanya ketimpangan historis hubungan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan sehingga mengakibatkan laki-laki dengan mudah mendominasi dan mengkriminalisasi perempuan. Peran gender yang dikontruksikan baik secara sosial dan budaya bahwa laki-laki jauh lebih superior dari pada perempuan yang diposisikan lebih inferior juga menjadi alasan mendasar adanya femisida. Motif pembunuhan yang juga dilihat secara garis besar berakar dari gagasan kepemilikan laki-laki terhadap perempuan, di mana perempuan dipandang sebagai properti dan selalu berada dibawah kendali laki-laki.
Selain kekerasan fisik bahkan sampai pada femisida, pemerkosaan kian hari juga semakin merajalela. Kekerasan seksual ini terjadi terhadap korban dari berbagai kategori usia mulai dari anak perempuan sampai perempuan dewasa. Pada tahun 2022 Komnas Perempuan mencatat terdapat 860 kasus kekerasan seksual di ranah publik/komunitas dan 899 kasus kekerasan seksual di ranah personal. Dan alasan mendasar yang juga menjadi akar dari adanya kekerasan seksual adalah tidak adanya edukasi seks yang mampu memberikan pemahaman yang mumpuni terhadap perempuan tentang perempuan memiliki hak penuh atas tubuhnya sendiri. Jangan sampai pemerkosaan justru menjadi budaya karena kita sendiri menganggap hal itu ada dan biasa. Anggapan itu terbukti dari seni yang kemudian dijadikan sebagai alat penyebaran gagasan yang mengandung unsur kekerasan seksual. Sehingga perempuan perlu untuk tidak membenci tubuhnya sendiri dan harus menolak penyalahan terhadap korban-korban pemerkosaan yang hanya didasarkan pada penampilan korban saja (victim bluming).
Edukasi untuk melahirkan kesadaran tersebut tidak hanya diprioritaskan untuk perempuan yang notabene selalu menjadi korban tetapi juga laki-laki sehingga perlu memastikan kembali pemahaman nilai kesetaraan gender di lingkungan pendidikan baik dari tingkat sekolah dasar ke tingkat perguruan tinggi. Begitu juga orang tua dan pendidik, dan di lingkungan masyarakat dirasa perlu untuk menerapkan Child and Women Selfguarding atau perlindungan anak dan perempuan dengan salah satu upaya yaitu mendukung penerapan sistem peradilan terhadap korban dan pelaku kekerasan khususnya terhadap perempuan.