Penulis: Miftahul Choir
Intergovrnmental Panel on Climate Change (IPCC), badan riset PBB mengenai asesmen saintifik perubahan iklim menyebutkan bahwa perubahan kian menjadi masalah mendesak. Pasalnya umat manusia harus menemukan solusi perubahan iklim dengan mencegah kenaikan suhu 1.5 celcius. Angka tersebut diungkapkan pada tahun 2018. Namun lima tahun kemudian, langkah dan upaya yang dilakukan untuk mencapai angka ideal dianggap jauh, dan masih dikatakan kurang.
Laporan IPCC menyebutkan bahwa kerusakan akibat perubahan iklim telah terjadi dan akan terus berdampak di masa yang akan datang. Aditi Mukherji, seorang peneliti dan panelis Assessment Report ke-6 menyebutkan bahwa masyarakat terdampak bencana iklim mencapai hampir dari setengah populasi manusia dunia di mana masyarakat marjinal merasakan dampak yang lebih parah.
Dalam laporan IPCC terbaru disebutkan bahwa kenaikan suhu sebesar 1.1 celcius dibandingkan dengan era pra-revolusi industri telah menyebabkan berbagai bencana di antaranya bidang kesehatan, akses masyarakat terhadap pangan, kerugian ekonomi dan sosial, maupun kerusakan lingkungan hidup manusia.
Temuan IPCC menjadi salah satu pertimbangan berbagai forum salah satunya adalah Group of Seven (G7) 2023 yang dilaksanakan pada Jumat 19 – 21 Mei 2023 di Jepang. Pertemuan G7 adalah forum negara-negara maju yakni, Jepang, Italia, Kanada, Prancis, Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan Uni-Eropa.
Selain negara-negara itu, G7 mengundang beberapa negara termasuk Indonesia. Jakartapost (22/05) memberitakan bahwa presiden Joko Widodo yang hadir dalam forum tersebut menagih janji para negara maju untuk memenuhi komitmen transisi ekonomi tradisional menuju ekonomi hijau yang terkesan lambat. Dalam forum tersebut, Presiden RI menggarisbawahi kapasitas pemerintahnya untuk menurunkan angka deforestasi dan rehabilitasi enam ratus ribu hektar lahan bakau.
Sebelumnya, Indonesia telah mengamankan pendanaan sebesar 20 milliar USD selama 5 tahun pada pertemuan G20 tahun lalu. Dana hibah transisi lingkungan dan pinjaman untuk tujuan transisi menuju ekonomi hijau merupakan bagian dari program Just Energy Transition Partnershio (JETP). Akan tetapi, Indonesia belum mendapatkan akses terhadap pendanaan tersebut.
Pada Jumat (19/05) aktivis iklim melakukan aksi di depan kedutaan besar Jepang merespon pelaksanaan G7 di Jepang. Aksi tersebut mengangkat isu pendanaan energi fosil dan kritik terhadap pendanaan energi fosil sebagai jalan keluar transisi.
Aksi depan kedutaan Jepang dipilih karena Jepang merupakan tempat G7 2023. Selain itu, Jepang sebagai salah satu negara anggota G7 mendapat sorotan pasalnya Fumio Kishida, Perdana Menteri Jepang, kerap mempromosikan co-firing ammonia dan hydrogen yang dianggap sebagai transisi iklim. Namun hal tersebut dinilai justru sia-sia dan cenderung melakukan greenwashing.
Abdul Ghofar, Juru Kampanye Walhi Nasional menyebutkan bahwa pendanaan transisi energi JETP harus menikberatkan dana hibah daripada skema pinjaman. Negara maju yang juga anggota G7 disebutkan memiliki jejak karbon lebih besar jika disbanding negara berkembang sehingga tidak seharusnya membuka jebakan hutang baru, ungkap Abdul Ghofar. Ditambah lagi, metode pembayaran hutang luar negeri masih bergantung pada industry ekstraktif yang identic dengan kerusakan lingkungan ditambah emisi karbon skala besar.
Editor: Syahdan