Pergulatan jejak historis Sumpah Pemuda 1928 melalui tantangan yang besar pada setiap episode dalam tiap sirkulasi pergantian rezim kekuasaan. Jejak tersebut telah diuraikan secara panjang-lebar oleh Keith Foulcher seorang peneliti sastra modern dan sejarah kebudayaan Indonesia dalam sebuah buku yang berjudul “Sumpah Pemuda: Makna dan Proses Penciptaan Simbol Kebangsaan Indonesia”. Dalam tulisannya tersebut, Foulcher tidak sedang menggugat keabsahan identitas sejarah bangsa Indonesia, melainkan ia mencoba mengkritisi identitas tersebut yang dijadikan sebagai simbol-simbol ideologis dalam melakukan konsolidasi kekuasaan hingga pembungkaman sistematis.
Kritik yang disasar oleh Keith bukan hanya secara kontekstual, melainkan secara tekstual menggunakan pendekatan linguistik-historis dengan mengandalkan dokumen-dokumen penting saat berjalannya Kongres Pemuda I (1926) dan Kongres Pemuda II (1928). Dari dokumen-dokumen tersebut ditemukan sebuah kejanggalan mengenai spirit kebahasaan awal dalam proses tercetusnya ikrar Sumpah Pemuda. Mulai dari kompleksitas bahasa yang digunakan saat rapat, keikutsertaan representasi organisasi seluruh Indonesia, hingga implementasi pasca ikrar tersebut. Ilustrasi perjalanan panjang dari terbentuknya Sumpah Pemuda diartikan oleh Keith sebagai hasil akumulasi nilai-nilai yang terikat satu sama lain dan memiliki visi politik kebangsaan. Di samping telah adanya nilai dan visi politik, hal tersebut juga didorong karena adanya elite-elite terpelajar yang memperoleh pendidikan lanjutan di Pulau Jawa dan mendirikan organisasi-organisasi pemuda-daerah.
Elite Terpelajar dan Simbolisasi Bahasa Perlawanan
Tidak dapat dipungkiri bahwa terbentuknya organisasi-organisasi pemuda-daerah merupakan hasil dari adanya pendidikan pada Bumiputera. Hal ini terlihat pada medio sebelum 1930-an secara radikal dan sporadis organisasi seperti Jong Java (1915), Jong Sumatranen Bond (1917), Jong Celebes (1918), Jong Minahasa (1918), Sekar Roekoen (1919), dan Jong Bataks Bond (1925) mulai terbentuk dan bertumbuh subur. Umumnya seluruh anggota perkumpulan terdiri dari laki-laki dan perempuan muda yang berasal dari keluarga dengan status sosial tinggi dan berpendidikan. Namun, secara gamblang Benedict Anderson dalam bukunya “Immagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism” menjelaskan bahwa kesamaan dari tujuan para pemuda dalam organisasi tersebut merupakan akar sosial dan budaya nasionalisme yang dimiliki Indonesia pada saat itu.
Para elite terpelajar menurut Anderson mulai mencari kerangka yang dapat menyatukan bukan hanya untuk kaum muda, melainkan seluruh rakyat Indonesia dalam sebuah spektrum politik nasional. Pembentukan Kongres Pemuda I (1926) memberikan angin segar bagi persatuan Indonesia, namun dalam peristiwa tersebut belum menghasilkan sebuah kristalisasi simbol persatuan yang kuat—bahkan simbol kebahasaan. Menurut catatan Var der Plas, rapat umum ataupun kongres masih berjalan menggunakan bahasa Belanda yang dominan—karena kebanyakan anggota organisasi merupakan lulusan sekolah Belanda. Gagap bahasa dalam peristiwa-peristiwa penting menjelang Sumpah Pemuda merupakan sebuah indikasi bahwa semangat persatuan belum terajut secara mengakar sebagai dalih penyatuan seluruh rakyat Indonesia. Selain itu, catatan penting yang digarisbawahi oleh Keith ialah mayoritas anggota rapat umum atau kongres secara diam-diam melakukan penolakan atas penggunaan bahasa Melayu atau Indonesia.
Pasca dilakukannya Kongres Pemuda I tanpa menghasilkan apapun sebagai simbol persatuan, gelaran lanjutan dari Kongres Pemuda II menghasilkan beberapa kristalisasi simbol persatuan penting, di antaranya lagu Indonesia Raya dan Ikrar Sumpah Pemuda 1928. Ikrar Sumpah Pemuda 1928 tersebut berbunyi:
KAMI POETERA DAN POETERI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH-DARAH JANG SATOE, TANAH INDONESIA.KAMI POETERA DAN POETERI INDONESIA MENGAKOE BERBANGSA JANG SATOE, BANGSA INDONESIA.KAMI POETERA DAN POETERI INDONESIA MENDJOENDJOENG BAHASA PERSATUAN, BAHASA INDONESIA. |
Setelah adanya ikrar tersebut, menurut Hilmar Farid dalam bukunya yang berjudul “Perang Suara: Bahasa dan Politik Pergerakan” menjelaskan bahwa ikrar tersebut tidak mendapatkan sambutan yang luas oleh kaum Bumiputera ataupun pers Belanda. Namun, hal ini tetap menjadi monumen awal proyek pembangunan identitas bangsa Indonesia.
Titik tolak penting ada pada simbolisasi bahasa dalam ikrar “menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”. Bahasa dengan sendirinya menjadi unsur penting bagi proyek pembangunan identitas bangsa Indonesia, hal ini karena berkaitan dengan demarkasi “Bahasa Belanda” dengan “Bahasa Indonesia” sebagai bahasa persatuan pergerakan politik untuk melawan kolonialisme. Beberapa elite terpelajar menganggap bahwa bahasa persatuan penting digunakan untuk menjelaskan secara sederhana konsep nation atau bangsa kepada khalayak luas agar dimengerti sebagai bagian dari solidaritas nasional. Namun, beberapa orang memiliki anggapan lain bahwa kohesivitas bahasa tidak terlalu penting karena dianggap ide kebangsaan dapat ditularkan lewat spirit persamaan senasib dan sepenanggungan.
Hingga pada akhirnya, Keith Foulcher menjelaskan penggunaan bahasa Belanda ataupun bahasa lokal yang kerap kali digunakan dalam pertemuan-pertemuan formal, perlahan mulai ditinggalkan dan mulai masuk dalam fase penggunaan bahasa Indonesia. Meskipun banyak organisator yang tidak memiliki kefasihan berbahasa Indonesia, namun ia tetap memaksakan untuk menggunakan bahasa tersebut sebagai simbol perlawanan dan persatuan. Akan tetapi, seiring pergantian zaman dan pemerintahan pemaknaan atas ikrar sumpah pemuda, terkhusus spirit ketiga sering kali disalahgunakan untuk menjadi alat ataupun senjata ideologis kekuasaan.
Sumpah Pemuda: Senjata Ideologis Kekuasaan
Evolusi simbol bahasa ke arah bentuk subversi—senjata ideologis kekuasaan- juga dijelaskan oleh Keith Foulcher dalam bukunya. Ia merangkum bahwa terjadi banyak sekali penekanan seta pembentukan simbol-simbol persatuan bangsa untuk meredam banyaknya aktivitas perlawanan; baik yang sifatnya kedaerahan ataupun nasional. Pada masa Orde Lama, Sukarno dan Moh. Yamin melakukan rekonstruksi sejarah Sumpah Pemuda 1928 untuk mempertahankan persatuan dari gangguan-gangguan pemberontakan daerah. Seperti misalnya, pada peringatan Sumpah Pemuda yang ke-30, tepatnya 28 Oktober 1958 Sukarno melakukan sakralisasi “janji suci” dengan mengembangkan proyek kebangsaan “Perayaan Sumpah Pemuda” sebagai komitmen terhadap sebuah negara kesatuan.
Tidak hanya berhenti di situ, Sukarno mempertajam hingga mengganti secara tekstual butir ketiga Sumpah Pemuda 1928 dari “menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia” menjadi “mengakui satu bahasa, bahasa Indonesia”. Kajian linguistik-historis Foulcher membedah serta membaca teks tersebut sebagai narasi yang telah disesuaikan, sejalan dengan kebutuhan yang mendesak atas sebuah simbol persatuan negara, di tengah banyaknya pemberontakan di Indonesia saat itu. Di tahun-tahun berikutnya, Sumpah Pemuda dijadikan sebagai alat untuk “menggebuk” gerakan-gerakan anti-kedaerahan, serta “me-Manipol-Usdek-an” Sumpah Pemuda sebagai bagian dari visi kampanye politis Sukarno—seperti perebutan Irian Barat, perlawanan terhadap Malaysia, hingga romantisasi sejarah Sriwijaya dan Majapahit.
Secara kultural-politis, agenda politik Sumpah Pemuda juga dilanjutkan oleh Orde Baru dalam cengkeraman Soeharto. Di masa itu, Soeharto mengedepankan penekanan mengenai konsep disiplin, stabilitas, penyeragaman, dan standardisasi. Hal itu dilakukan untuk melangsungkan kampanye politik Orde Baru untuk menyubordinasi kepentingan kelompok dan mendefinisikan negara sebagai pokok kepentingan nasional. Simbolisasi perayaan Sumpah Pemuda juga digunakan untuk “menggebuk” gerakan-gerakan laten Partai Komunis Indonesia (PKI) pasca G30S dan neokolonialisme di masa-masa awal pemerintahan Suharto. Berbanding lurus dengan itu semua, fakta historis Sumpah Pemuda coba direkonstruksi kembali demi kepentingan politik, dengan beredarnya berbagai bentuk naskah sejarah pada tahun 1928 dan 1978 saat Presiden melakukan pidatonya.
Hingga di tahun-tahun terakhir menjabat, Suharto masih menjadikan Sumpah Pemuda sebagai visi kampanye politik untuk memisahkan “nasionalis” dengan “anti-nasionalis”. Hal tersebut sebagai bukti bahwa keseluruhan dari sejarah Sumpah Pemuda tidak lepas dari konflik ataupun polemik yang berkepanjangan. Berakar dari adanya pembentukan Sumpah Pemuda di Gedung Oost Java Bioscoop, hambatan bahasa Indonesia sebagai media pemersatu dalam kongres-kongres kepemudaan, hingga dijadikannya alat ideologis kekuasaan pemerintahan dari masa ke masa. Sebagai penulis, Keith Foulcher mampu membedah keseluruhan analisis historis yang tajam dan bernas. Dari analisis ini, bangsa Indonesia perlu memantau dan membaca Sumpah Pemuda secara kontemporer agar tidak jatuh hanya sebagai acara seremoni, melainkan menjadi simbol persatuan yang holistik.