Muhammad Riszky – Tim Komunikasi Jaring Nusa KTI
Penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 (PP 26/2023) tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut merupakan sebuah kemunduran dalam perlindungan dan keberlanjutan ekosistem pesisir, laut dan pulau kecil. Setelah 20 tahun dilarang, ekspor pasir laut kembali dibuka di masa-masa akhir pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Jika menilik ke belakang, ekspor pasir laut yang dilarang sejak tahun 2002 di masa pemerintahan Megawati. Hal ini dituangkan melalui Instruksi Presiden (INPRES) Nomor 2 Tahun 2002 tentang Pengendalian Penambangan Pasir Laut, lalu Keputusan Presiden (KEPPRES) Nomor 33 Tahun 2002 tentang Pengendalian dan Pengawasan Pengusahaan Pasir Laut.
Hal tersebut juga diperkuat dengan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 117/MPP/KEP/2/2003 Tahun 2003 tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut.
Dalam siaran pers yang dikeluarkan oleh Jaring Nusa KTI di Hari Lingkungan Hidup Sedunia menjelaskan jika kaburnya penjelasan mengenai pasir laut dan sedimentasi, PP ini dapat digunakan untuk melegalkan penambangan dan penjualan pasir laut dengan alasan pengambilan sedimentasi.
Selain itu, PP ini juga merupakan cara pemerintah melepaskan tanggung jawab perusahaan terhadap dampak sedimentasi yang ditimbulkannya dan mengundang perusahaan lainnya untuk berbisnis lumpur dan pasir. Jaring Nusa KTI dengan tegas mengatakan jika aturan menjadi hanya akal-akalan pemerintah untuk melegalkan kembali ekspor pasir laut melalui nama sedimentasi
Lahirnya PP ini menunjukkan tidak adanya komitmen dari pemerintah untuk mempertahankan kelestarian lingkungan di Indonesia. Khususnya mempertahankan dan memulihkan sumber daya pesisir dan laut yang telah banyak mengalami degradasi dengan berbagai faktor.
Noir Primadona Purba, Dosen sekaligus peneliti kelautan dari Universitas Padjadjaran mengungkap setidaknya terdapat 6 dampak yang merupakan dengan adanya ekspor pasir laut yang dirilis oleh The Conversation Indonesia. Diantaranya yakni (1) kerusakan ekosistem mangrove, lamun dan karang; (2) terangkatnya endapan limbah di pesisir yang berdampak fatal bagi biota laut.
Selanjutnya (3) Mengganggu ekosistem dasar laut; (4) Ancaman kawasan terhadap konservasi laut. Bagi kehidupan masyarakat di pesisir dan pulau kecil tentunya berdampak pada (5) abrasi dan tenggelamnya pulau kecil; (6) eksploitasi warga pesisir dan nelayan kecil.
Dampak Buruk Tambang Pasir Laut di Perairan Spermonde
Spermonde merupakan gugusan pulau-pulau kecil yang membentang dari Kabupaten Takalar hingga Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan. Terdapat kurang lebih 121 pulau kecil.
Tambang pasir laut yang dimulai sejak tahun 2016 hingga 2017 di perairan Galesong, Kabupaten Takalar telah menyebabkan kerusakan mulai dari ekosistem laut, penghidupan nelayan hingga abrasi yang sangat parah terjadi.
WALHI Sulawesi Selatan mengungkap setidaknya terdapat 250 nelayan yang beralih profesi. Selain itu ada 6.474 nelayan yang mengalami penurunan pendapat mencapai 80%. Belum lagi abrasi pantai yang sangat parah terjadi di pesisir Galesong.
Tidak hanya itu, pasca proyek tambang pasir laut di perairan Galesong untuk proyek Center Point of Indonesia (CPI) selesai, tambang pasir laut kembali dilakukan pada tahun 2020 untuk proyek Makassar New Port (MNP) yang masuk Proyek Strategis Nasional (PSN). Tercatat sejak Februari hingga Oktober 2020 dampak tambang pasir laut telah menyebabkan kerugian yang sangat besar bagi nelayan, perempuan dan anak di Pulau Kodingareng.
Hasil riset Koalisi Save Spermonde yang dituangkan dalam Panraki Pa’boya-Boyangang: Oligarki Proyek Strategis Nasional dan Kerusakan Perairan Spermonde mencatat jika telah terjadi perubahan dari segi lingkungan yakni perubahan arus dan ketinggian ombak, kekeruhan air laut, kerusakan terumbu karang dan batuan dasar laut hingga ancaman abrasi.
Dari segi ekonomi, perubahan lingkungan telah menyebabkan penurunan drastis tangkapan nelayan yang berdampak terhadap kehidupan sebagian besar masyarakat di Pulau Kodingareng. Catatan Akhir Tahun 2020 WALHI Sulawesi Selatan mengungkap jika total kerugian materil akibat tambang pasir laut mencapai 80,4 miliar rupiah.
Jaring Nusa KTI Mendesak Pemerintah Batalkan PP 26/2023
Dinamisator Jaring Nusa KTI, Asmar Exwar menjelaskan jika masyarakat pesisir dan pulau kecil khususnya di Kawasan Timur Indonesia sangat rentan terhadap perubahan iklim yang belum dapat terselesaikan.
Naiknya permukaan air laut yang menyebabkan banjir rob dan abrasi, cuaca ekstrim, hingga pemutihan karang. Hal ini diperparah dengan industri ekstraktif yang menyasar laut dan pulau kecil semakin memperparah kehidupan masyarakat dan ekosistem laut.
“PP ini justru dapat bertentangan dengan kaidah pengelolaan serta perlindungan wilayah pesisir yang seharusnya integratif dan berkelanjutan. Terdapat pengaburan makna untuk kegiatan usaha pengambilan sedimentasi dan penambangan pasir laut,” terang Asmar.
“Wilayahnya bisa ditentukan dimana saja dan tentu ini merupakan ancaman serius bagi keberlangsungan wilayah kelola masyarakat pesisir maupun kawasan konservasi serta memperparah dampak perubahan iklim yang telah terjadi khususnya bagi masyarakat pesisir dan pulau kecil di KTI. Oleh karena itu PP ini harus segera dibatalkan oleh pemerintah,” tambahnya.
Pada siaran pers Jaring Nusa KTI, terdapat 4 poin desakan kepada pemerintah, yaitu:
- Membatalkan PP 26 tahun 2023 tentang Pengelolaan Sedimentasi di Laut.
- Menyelesaikan permasalahan kasus-kasus kerusakan lingkungan di pesisir dan pulau kecil, khususnya yang terkait dengan aktivitas proyek pembangunan infrastruktur, reklamasi, pertambangan, pencemaran laut, IUU Fishing serta tambang pasir laut.
- Mengeluarkan skema kebijakan jaminan perlindungan bagi masyarakat pesisir dan pulau kecil dari berbagai macam ancaman seperti perubahan iklim maupun oleh kegiatan pembangunan yang berisiko bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat.
- Melaksanakan mandat UU No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam.
Editor: Syahdan